TUGAS
AKHIR
SILABUS
STUDI KEWIRAUSAHAAN
oleh :
JANUARI
CHRISTI
BAMBANG
RAHINO
F
A R I D
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS MERDEKA SURABAYA
2013
SILABUS STUDI KEWIRAUSAHAAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MERDEKA SURABAYA
PERTEMUAN
|
POKOK BAHASAN
|
SUB POKOK BAHASAN
|
1
|
BAB I : Pendahuluan
|
|
2
|
BABII:
Potensi Diri Dan Kerakter Wirausahaan Potensial
|
|
3
|
BAB III: Peluang-Peluang Usaha
|
|
4,5
|
BAB IV:
Aspek Pemasaran
|
|
6,7
|
BAB V : Aspek
produksi
|
|
UJIAN
|
TENGAH
|
SEMESTER
|
9
|
BAB VI :
Aspek Pengendalian Dampak Lingkungan
|
|
10,11
|
BAB VII : Aspek ORGANISASI Dan Manajemen
|
|
12
|
BAB VIII :
Aspek Keuangan
|
|
13
|
BAB IX :
Rancangan Usaha
|
|
14,15
|
BAB X :
|
|
UJIAN
|
AKHIR
|
SEMESTER
|
|
|
DAFTAR PUSTAKA :
|
SELALU
BERSEMANGAT DEMI KEMAJUAN DIRI SENDIRI, KELUARGA, DAN NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah
masyarakat
Indonesia dengan jumlah selalu meningkat membutuhkan sedikitnya 4,4 juta jiwa
wirausaha, namun jumlah wirausaha yang ada mencapai 400 ribu jiwa atau kurang
dari 1% populasi penduduk Indonesia, sementara menurut David McClelland bahwa
sebuah negara baru bisa maju jika jumlah wirausaha terdapat sebesar 2% dari
populasi penduduknya. Amerika Serikat misalnya, memiliki wirausaha 11,5% dari populasi
penduduknya.
Sedangkan
negara tetangga Singapura terdapat sekitar 7,2% warganya bekerja sebagari
wirausaha, sehingga negara kecil itu jauh lebih maju. Untuk menciptakan 4,4
juta jiwa wirausaha di Indonesia, paling tidak dibutuhkan waktu
sedikitnya 25 tahun. Jika
melihat jumlah kebutuhan wirausaha baru untuk memposisikan Indonesia sebagai
negara maju dan estimasi waktu yang cukup lama untuk mencapainya, maka saat ini
perlu segera diupayakan langkah-langkah agar jumlah wirausaha baru dapat
bertambah dengan waktu pencapaian yang relatif singkat. Salah satu langkah yang
dapat dilakukan penciptaan wirausaha baru yang berasal dari lulusan perguruan
tinggi. Hanya saja, data dan fakta telah membuktikan bahwa terdapat
kecenderungan bahwa umumnya mahasiswa yang saat ini menempuh pendidikan di
perguruan tinggi menginginkan pekerjaan yang mapan setelah mereka lulus menjadi
sarjana.
Fenomena
membludaknya pendaftar ketika pemerintah membuka pendaftaran pegawai negeri
sipil (PNS) dalam setiap tahun sebagai salah satu indikator. Meskipun setiap
tahun pemerintah membuka pendaftaran, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
sebagian besar dari mereka yang mendaftar mengalami kekecewaan karena tidak
berhasil lulus. Peluang untuk menjadi PNS semakin kecil lagi setelah pemerintah
memutuskan penundaan sementara (moratorium) tambahan formasi untuk penerimaan
PNS sejak 1 September 2011 hingga 31 Desember 2012. Keterbatasan terserapnya
lulusan perguruan tinggi di sektor pemerintah menyebabkan perhatian beralih
pada peluang bekerja pada sektor swasta, namun beratnya persyaratan yang ditetapkan
kadang membuat peluang untuk bekerja di sektor swasta juga semakin terbatas.
Satu-satunya
peluang yang besar adalah bekerja dengan memulai usaha mandiri. Hanya saja,
jarang kita temukan seseorang sarjana yang mau mengawali kehidupannya setelah
lulus dari perguruan tinggi dengan memulai mendirikan usaha. Adanya kecenderungan
yang demikian berakibat pada tingginya residu angkatan kerja berupa pengangguran
terdidik. Jumlah lulusan perguruan tinggi dalam setiap tahun semakin meningkat
tidak sebanding dengan peningkatan ketersediaan kesempatan kerja yang akan menampung
mereka.
Pembelajaran
kewirausahaan di perguruan tinggi merupakan salah satu solusi yang dapat
diambil untuk menekan terjadinya peningkatan jumlah pengangguran yang berstatus
sarjana. Meskipun pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi secara umum ditujukan
agar mahasiswa mampu menjawab tantangan dan memanfaatkan peluangpeluang yang
ada di sekitarnya dan tidak semata-mata ditujukan agar mahasiswa setelah lulus
nantinya dapat membuka usaha baru, namun dengan bekal pembelajaran kewirausahaan
setidaknya mereka telah memiliki bekal wawasan berwirausaha yang dapat dimanfaatkan
ketikamereka tidak terserap pada lapangan kerja yang telah ada. Bahkan dengan
mendirikan usaha baru, mereka justru dapat membantu dalam menekan meningkatnya
angka pengangguran dengan merekrut angkatan kerja yang belum terserap pada
lapangan kerja yang telah ada.
1.2 Defenisi dan Konsep Kewirausahaan
Penggunaan
dan pengertian atau terminologi kewirausahaan yang merujuk pada istilah entrepreneurship
di Indonesia cukup beragam. Olehnya itu, perbedaan ini kadang cukup
mengundang perdebatan yang tidak pernah ada habisnya. Jika kita hanyut dalam perbedaan
pendefenisian saja tentu hasilnya adalah polemik yang hanya bersifat semantik.
Dalam
pembelajaran ini kita tidak mengarahkan materi ke arah tersebut, namun dengan penyajian beberapa defenisi dan konsep
kewirausahaan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, minimal dapat
memperkaya pemahaman kita mengenai defenisi dan konsep kewirausahaan itu
sendiri. Perkataan kewirausahaan (entrepreneurship) berasal dari Bahasa
Perancis, yakni entreprendre yang berarti melakukan (to under take)
dalam artian bahwa wirausahawan adalah
seorang yang melakukan kegiatan mengorganisir dan mengatur. Istilah ini muncul di saat para pemilik modal dan para
pelaku ekonomi di Eropa sedang berjuang keras menemukan berbagai usaha baru,
baik sistem produksi baru, pasar baru, maupun sumber daya baru untuk mengatasi
kejenuhan berbagai usaha yang telah ada. Arti kata kewirausahaan berbeda-beda
menurut para ahli atau sumber acuan, karena adanya perbedaan penekanan. Richard
Cantillon (1725) mendefinisikan kewirausahaan sebagai orang-orang yang
menghadapi resiko yang berbeda dengan mereka yang menyediakan modal. Jadi definisi
Cantillon lebih menekankan pada bagaimana seseorang menghadapi risiko atau
ketidakpastian. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Blaudeu (1797) bahwa
kewirausahaan adalah orang-orang yang menghadapi resiko, merencanakan,
mengawasi, mengorganisir dan memiliki. Demikian halnya Albert Shapero 1975)
mendefenisikan sebagai pengambilan inisiatif mengorganisir suatu mekanisme sosial
ekonomi dan menghadapi resiko kegagalan.
Mendefenisikan
kewirausahaan dengan penekanan pada penciptaan hal-hal baru dikemukakan oleh
Joseph Schumpeter (1934) bahwa kewirausahaan adalah melakukan hal-hal baru atau
melakukan hal-hal yang sudah dilakukan dengan cara baru, termasuk di dalamnya
penciptaan produk baru dengan kualitas baru, metode produksi, pasar, sumber pasokan
dan organisasi. Schumpeter mengaitkan wirausaha dengan konsep yang diterapkan
dalam konteks bisnis dan mencoba menghubungkan dengan kombinasi berbagai sumberdaya.
Sejalan dengan penekanan pada penciptaan hal-hal baru dan resiko, Hisrich,
Peters, dan Sheperd (2008) mendifinisikan sebagai proses penciptaan sesuatu
yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung
resiko keuangan, fisik, serta resiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan
moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi.
Wennekers
dan Thurik (1999) melengkapi pendefenisian kewirausahaan dengan mensintesiskan
peran fungsional wirausahawan sebagai: "...kemampuan dan kemauan nyata
seorang individu, yang berasal dari diri mereka sendiri, dalam tim di dalam maupun
luar organisasi yang ada, untuk menemukan dan menciptakan peluang ekonomi baru
yang meliputi produk, metode produksi, skema organisasi dan kombinasi
barang-pasar serta untuk memperkenalkan ide-ide mereka kepada pasar, dalam
menghadapi ketidakpastian dan rintangan lain, dengan membuat keputusan mengenai
lokasi, bentuk dan kegunaan dari sumberdaya dan instusi".
Selain
menekankan pada penciptaan hal-hal baru dan resiko, defenisi yang dikemukakan
oleh Wennekers dan Thurik juga menekankan pada kemauan dan kemampuan individu.
Hal ini sejalan dengan defenisi yang tertuang dalam Inpres No. 4 Tahun 1995
yang mendefenisikan kewirausahaan sebagai semangat, sikap, perilaku dan
kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya
mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan
efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan/atau memperoleh
keuntungan yang lebih besar.
Dari
berbagai defenisi yang telah dikemukakan, tanpa mengecilkan berbagai pendapat
tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kewirausahaan merupakan kemauan dan
kemampuan seseorang dalam menghadapi berbagai resiko dengan mengambil inisiatif
untuk menciptakan dan melakukan hal-hal baru melalui pemanfaatan kombinasi
berbagai sumberdaya dengan tujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik
kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan memperoleh
keuntungan sebagai
konsekuensinya.
1.3 Wirausahawan Dilahirkan atau Diciptakan?
Pertanyaan
ini sudah sering dan sejak lama menjadi fokus perdebatan. Apakah wirausahawan
itu dilahirkan (is borned) yang menyebabkan seseoarng mempunyai bakat lahiriah
untuk menjadi wirausahawan atau sebaliknya wirausahawan itu dibentuk atau dicetak
(is made) pada dasarnya berkaitan dengan perkembangan cara pendekatan,
yakni pendekatan klasikal dan event studies. Pendekatan bersifat klasikal
menjelaskan bahwa wirausaha dan ciri-ciri pembawaan atau karakter seseorang
yang merupakan pembawaan sejak lahir (innate) dan untuk menjadi wirausahawan
tidak dapat dipelajari. Sedangkan pendekatan event studies menjelaskan
bahwa faktor-faktor lingkungan yang menghasilkan wirausaha atau dengan kata
lain wirausaha dapat diciptakan.
Sifat
wirausahawan merupakan bawaan lahir sebagaimana pendapat pakar yang menggunakan
pendekatan klasikal sebenarnya sudah lazim diterima sejak lama. Namun, saat
ini pengakuan tentang kewirausahaan sebagai suatu disiplin telah mendobrak
mitos tersebut dan membenarkan pendapat yang menggunakan pendekatan event
studies. Seperti juga disiplin-disiplin lainnya, kewirausahaan memiliki
suatu pola dan proses. Terlepas dari kedua pendapat dengan pendekatan yang
berbeda tersebut, pendapat yang lebih moderat adalah tidak mempertentangkannya.
Menjadi wirausahawan sebenarnya tidaklah cukup hanya karena bakat (dilahirkan)
ataupun hanya karena dibentuk.
Wirausahawan
yang akan berhasil adalah wirausahawan yang memiliki bakat yang selanjutnya
dibentuk melalui suatu pendidikan, pelatihan atau bergaul dalam komunitas dunia
usaha. Tidak semua orang yang memiliki bakat berwirausaha mampu untuk menjadi wirausahawan
tanpa adanya tempaan melalui suatu pendidikan/pelatihan. Kompleksnya permasalahan-permasalahan
dunia usaha saat ini, menuntut seseorang yang ingin menjadi wirausahawan tidak
cukup bermodalkan bakat saja. Ada orang yang belum menyadari bahwa dia memiliki
bakat sebagai wirausahawan, setelah mengikuti pendidikan, pelatihan ataupun
bergaul dengan di lingkungan wirausaha pada akhirnya akan menyadari dan mencoba
memanfaatkan bakat yang dimilikinya. Olehnya itu, tidak salah jika ada yang berpendapat
bahwa bila ingin belajar berwirausaha tidak perlu mengandalkan bakat, namun
yang terpenting adalah memiliki kemauan dan motivasi yang kuat untuk mulai belajar
berwirausaha.
1.4 Motivasi Berwirausaha
Salah
satu kunci sukses untuk berhasil menjadi wirausahawan adalah adanya motivasi
yang kuat untuk berwirausaha. Motivasi untuk menjadi seseorang yang berguna bagi
diri sendiri, keluarga dan masyarakatnya melalui pencapaian prestasi kerja sebagai
seorang wirausahawan. Apabila seseorang memiliki keyakinan bahwa bisnis yang
(akan) digelutinya itu sangat bermakna bagi hidupnya, maka dia akan berjuang
lebih keras untuk sukses.
Beberapa
manfaat yang dapat diperoleh melalui berwirausaha yang mungkin saja sulit atau
bahkan tidak dapat diperoleh jika memilih berkarir atau bekerja pada lembaga/instansi
milik orang lain atau pemerintah. Manfaat tersebut terdiri dari manfaat bagi
diri sendiri dan bagi masyarakat, sebagaimana yang diuraikan berikut ini:
1.
Memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan
potensi diri yang dimiliki Banyak
wirausahawan yang berhasil mengelola usahanya karena menjadika keterampilan/hobbynya
menjadi pekerjaannya. Dengan demikian dalam melaksanakan aktifitas pekerjaannya
dengan suka cita tanpa terbebani. Berwirausaha menjadikan diri kita memiliki
kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dengan menentukan dan mengontrol
sendiri keuntungan yang ingin dicapai dengan tanpa batas. Dengan adanya penentuan
keuntungan yang akan dicapai, kita juga memiliki kebebasan untuk mengambil
tindakan dalam melakukan perubahan-perubahan yang menurut kita penting untuk
dapat mencapainya.
2.
Memiliki peluang untuk berperan bagi masyarakat
Dengan
berwirausaha, kita memiliki kesempatan untuk berperan bagi masyarakat. Wirausahawan
menciptakan produk (barang dan/atau jasa) yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pemberian
pelayanan kepada seluruh masyarakat terutama konsumen yang dilandasi dengan
tanggung jawab sosial melalui penciptaan produk yang berkualitas akan berdampak
pada adanya pengakuan dan kepercayaan pada
masyarakat yang dilayani. Adanya
manfaat bagi diri sendiri dan masyarakat dalam berwirausaha dapat menjadi motivasi
tersendiri bagi kita tergerak untuk mulai berwirausaha. Perlu disadari bahwa pada
dasarnya kita bertindak sebagian besar dipengaruhi oleh motivasi, bukan karena terpaksa.
Kesuksesan atau ketidaksuksesan seseorang dalam karirnya sangat tergantung dari
motivasinya untuk menjalankan karirnya tersebut. Seandainya kita dapat memulai
menanamkan dalam hati kita bahwa dengan berwirausaha akan memberikan manfaat
bagi diri kita dan masyarakat, serta manfaat-manfaat lain yang akan diperoleh,
mungkin kita akan termotivasi untuk memulai berwirausaha.
Memperbanyak
alasan untuk tidak memulai sebenarnya adalah penghambat bagi kita untuk
termotivasi. Terkait dengan motivasi untuk berwirausaha, setidaknya terdapat
enam “tingkat” motivasi berwirausaha dan tentunya masing-masing memiliki
indikator kesuksesan yang berbeda-beda, yaitu:
1.
Motivasi material, mencari nafkah untuk memperoleh
pendapatan atau kekayaan.
2.
Motivasi rasional-intelektual, mengenali peluang dan potensialitas
pasar, menggagas produk atau jasa untuk meresponnya.
3.
Motivasi emosional-ekosistemik, menciptakan nilai tambah serta
memelihara kelestarian sumberdaya lingkungan.
4.
Motivasi emosional-sosial, menjalin hubungan dengan atau
melayani kebutuhan sesama manusia.
5.
Motivasi emosional-intrapersonal (psiko-personal), aktualisasi jatidiri
dan/atau potensipotensi diri dalam wujud suatu produk atau jasa yang layak pasar.
6.
Motivasi spiritual, mewujudkan dan menyebarkan
nilai-nilai transendental, memaknainya sebagai modus beribadah kepada Tuhan.
Umumnya
seseorang yang memulai berwirausaha termotivasi untuk mencari nafkah melalui
perolehan pendapatan dan untuk memperoleh kekayaan. Motivasi ini tidak salah, namun
jika fokus kita berwirausaha hanya untuk mengejar keuntungan dan kekayaan semata,
bisa jadi kita akan melakukan apa saja tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip etika
untuk mencapai keuntungan dan kekayaan. Kita perlu sepakat bahwa keuntungan dan
kekayaan yang dapat kita raih hanyalah merupakan konsekuensi dari kemampuan
kita untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada stakeholders kita.
Inilah alasan yang mendasari motivasi material menempati tingkatan yang
terendah.
Berbeda
halnya jika kita memulai berwirausaha sebagai modus beribadah kepada Tuhan,
apapun tindakan yang kita lakukan dalam berwirausaha senantiasa dilandasi dengan
nilai ibadah yang kita peroleh. Dengan motivasi spiritual yang kita miliki,
kita akan memaksimalkan pemanfaatan potensi diri kita sebagai bentuk rasa
syukur atas nikmat potensi yang diberikan tersebut sehingga kita tidak
dikategorikan sebagai orang yang mubazir. Dengan motivasi spiritual kita akan
memberikan pelayanan yang terbaik kepada
seluruh stakeholders dan
memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan pelayanan terbaik yang kita
berikan tersebut kita harus yakin akan memberikan keuntungan bagi kita. Dan
bukankah dengan melakukan tindakan-tindakan terbaik bagi diri kita, orang lain
dan lingkungan adalah perbuatan yang bernilai ibadah di sisi Tuhan? Inilah
alasan yang mendasar sehingga motivasi spiritual ditempatkan pada tingkatan
tertinggi.
1.5 Kewirausahaan Eksistensial
Konsep
ini memfokuskan pemahaman kewirausahaan yang berorientasi pada aktualisasi jati
diri dan potensi-potensi diri sebagai pembelajar kewirausahaan. Kata
eksistensial dalam hal ini memiliki tiga arti, yaitu: (1) keberadaan manusia
itu sendiri, atau, cara khusus manusia dalami menjalani hidupnya; (2) makna
hidup; dan (3) perjuangan manusia untuk menemukan makna yang konkrit di dalam
hidupnya, dengan kata lain, keinginan seseorang untuk mencari makna hidup.
Dalam
mempelajari kewirausahaan, para pembelajar perlu menyadari bahwa keberadaan
(eksistensi)nya selalu ditentukan oleh dirinya sendiri. Sebagai manusia dibutuhkan
kesadaran akan diri, tahu diri dan tahu menepatkan dirinya baik sebagai pribadi
maupun sebagai bagian dari masyarakatnya. Setiap manusia memiliki kebebasan
dalam memilih dari berbagai jenis pilihan yang dianggap benar untuk mencapai
kesempurnaan hidup.
Hidup
tidak bisa diterima sebagaimana adanya, karena hidup belum selesai sehingga
dapat diubah dan bahkan harus diubah ke arah yang lebih baik. Adanya kebebasan
untuk berbuat dan menjadi sesuatu yang diinginkan harus diiringi dengan tanggung
jawab atas kebebasan itu.
Di
dalam kebebasannya, setiap manusia bertindak senantiasa berdasarkan karakter, kecenderungan,
potensi dan pembawaannya masing-masing. Setiap manusia harus menyadari bahwa
Tuhan telah memberikan kelebihan-kelebihan kepada dirinya yang bisa jadi tidak
dimiliki oleh orang lain, dan jika kelebihan-kelebihan tersebut tidak digunakan
secara maksimal, berarti manusia yang bersangkutan kurang mensyukuri nikmat
yang telah diberikan oleh-Nya.
BAB II
POTENSI DIRI DAN
KARAKTER WIRAUSAHAWAN POTENSIAL
2.1 Sasaran Pembelajaran
Setelah
melalui proses pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah dapat mengenal
potensi diri yang dimiliknya dan mampu memproyeksikan potensi diri dengan karakter
wirausahawan potensial.
2.2 Mengenal Potensi Diri
Sebagai
seorang manusia biasa sudah pastilah kita memiliki hasrat dan keinginan menunjukkan
potensi-potensi diri yang kita miliki. Sebagai bentuk kesyukuran sebagai
seorang hamba atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan adalah dengan mau belajar memahami
segala bentuk karunia yang telah diberikan dan berupaya untuk meraih sukses dengan
memanfaatkan potensi yang diberikan. Masih banyak dari kita mungkin tidak dapat
mengenal bahwa di dalam diri terdapat potensi yang besar, karena kita tidak
mampu memahami siapa diri kita sebenarnya.
Cara berpikir yang terlalu sempit terhadap
diri sendiri dengan selalu menilai bahwa diri kita sederhana, mungkin saja
menjadi salah satu penyebab. Kalimat bahwa saya tidak mampu, saya tidak punya
potensi untuk itu, dia bisa karena dia punya segalanya...sedangkan saya, dan
kalimat-kalimat yang bernada meremehkan diri sendiri adalah contoh cara
berpikir sempit terhadap diri sendiri. Jika kita ingin mengawali perjalanan
hidup menuju kesuksesan, kita harus berani keluar dari cara berpikir yang
terlalu sempit. Jangan kita menyangka bahwa seseorang yang mencapai sukses itu
diraih dengan gampang, tanpa rintangan dan penuh suka cita.
Bisa
jadi orang yang sukses tersebut ketika memulai karirnya, kehidupan yang
dimiliki lebih memprihatinkan daripada diri kita atau mungkin saja dia memulai
karirnya dari kondisi minus, bukan dimulai dari nol. Bagaimana situasi dan
kondisi kekinian diri kita tidak terlepas dari apa yang telah kita lakukan dan
terjadi di masa lalu, demikian pula bagaimana kita di masa depan akan ditentukan
oleh apa yang kita lakukan di masa kini. Berangkat dari alasan tersebut, maka ada
baiknya jika kita mencoba kembali memutar “rekaman” masa lalu kita, yaitu masa sejak
lahir hingga dewasa seperti saat ini. Mungkin dengan cara ini, kita akan dapat menarik
hikmah atau pelajaran-pelajaran penting dari berbagai pengalaman hidup (suka dan
duka) yang pernah dialami di masa lalu.
Mengenang
kembali masa lalu bukan berarti kita harus larut dengan suka maupun duka yang
pernah dialami, tetapi setidaknya dari pengalaman tersebut kita dapat memahami
bagaimana diri kita saat ini dan mengapa kita bisa seperti saat ini. Hidup akan
terus kita jalani hingga batas akhir yang entah kita tidak tahu waktunya, namun
yang pasti kita akan mencapai titik akhir dari kehidupan ini.
Demikian
halnya dengan akhir kehidupan, apa yang akan terjadi terhadap diri kita di masa
yang akan datang segalanya penuh dengan ketidakpastian. Masa lalu yang pernah
kita jalani tidak mungkin terulang kembali, tetapi bukan berarti kita harus
melupakannya. Bisa jadi apa yang pernah kita alami dapat menjadi pelajaran
untuk meniti hidup ke masa depan. Hidup ini ibarat perjalanan dengan
mengendarai kendaraan, sesekali kita harus menengok ke belakang (melalui kaca spion
kendaraan) meskipun kita tetap melaju ke depan. Apa jadinya jika kita mengendarai
kendaraan tanpa sesekali memperhatikan ada apa di belakang kita? Meskipun demikian,
jangan pula perjalanan hidup menuju ke masa depan kita lakukan dengan selalu melihat
ke masa lalu, hidup didominasi oleh masa lalu seakan-akan kita hidup di masa
lalu.
Apa
jadinya pula jika kita mengendarai kendaraan dengan perhatian selalu tertuju ke
belakang? Ilustrasi perjalanan berkendaraan ini seperti apa yang dikatakan oleh
Art Linkletter, seorang motivator kelahiran Kanada, bahwa: “Saya belajar
dari kesalahan dan kegagalan saya, tapi setelah itu saya akan
meninggalkan mereka di belakang dan menguburnya dalam-dalam, agar mereka
tidak bisa menghalangi saya untuk maju di kemudian hari”.
Sebagai
langkah awal untuk memutar “rekaman” masa lalu kita adalah dengan mempertanyakan
pada diri kita sendiri dengan pertanyaan “Siapa Aku?”. Pertanyaan ini nampaknya
singkat dan cukup sederhana, namun mungkin ketika kita ingin menjawabnya, kita
mengalami kesulitan yang luar biasa. Tentu saja menjawab pertanyaan ini tidak
hanya sekadar menyebutkan nama kita, nama orang tua kita, alamat domisili kita.
Namun pertanyaan ini setidaknya dapat menjawab ada apa di balik diri kita dan
diri kita lebih dari sekadar mewarisi sifat-sifat keturunan dari orang tua.
Melalui pertanyaan ini kita harus menyadari bahwa diri kita terbentuk dari
rangkaian peristiwa dan pengalaman sepanjang perjalanan hidup kita sejak lahir
hingga menjadi dewasa seperti saat ini.
Sejak
kita lahir, kita dibesarkan oleh keluarga yaitu kedua orang tua kita, ayah dan ibu
kita. Namun tidak mustahil juga, ada di antara kita yang tidak dibesarkan oleh
orang tua kandung. Siapa pun yang membesarkan dan mendidik kita, merekalah
orang tua kita dalam fungsinya sebagai pengasuh dan pendidik kita. Siapa pun
mereka, tidak dapat dipungkiri bahwa merekalah yang membesarkan, mengasuh,
mendidik dan mempersiapkan diri kita agar suatu saat dapat melepaskan diri
sebagai manusia yang dapat menentukan sendiri tindakan dan langkah apa yang
dapat dilakukan untuki menuju ke masa depan dan tentunya bertanggung jawab
terhadap diri kita sendiri sebagai manusia dewasa.
Kedua
orang tua kitalah yang pertama kali memberikan pengalaman belajar dan
pengalaman hidup kepada kita yang mungkin sebagian dari pengalaman tersebut ternyata
berguna sebagai bekal dasar bagi pengembangan karir kewirausahaan yang akan
kita pilih. Ketika kita sudah mulai dapat berjalan dan memiliki keberanian
untuk keluar dari rumah, bergaul dengan anak-anak tetangga atau teman-teman
sebaya kita di sekitar rumah, di saat itulah kita memulai memasuki pendidikan
di luar rumah. Di masa-masa inilah kita menjalani
suatu proses pendidikan
informal. Ketika kita sudah menginjak usia sekolah, kita mulai disekolahkan,
mungkin dimulai dari taman bermain atau taman kanak-kanak, selanjutnya ke
sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan atas hingga saat ini
duduk di bangku perguruan tinggi. Masa pendidikan di sekolah ini merupakan masa
pendidikan formal kita.
Di
saat yang sama, mungkin kita mengikuti berbagai kegiatan ekstra kurikuler, semisal
pramuka, palang merah, olah raga, seni dan sebagainya. Saat yang sama pula kita
mengalami proses pembelajaran secara non-formal. Berbagai rentetan
peristiwa-peristiwa yang telah kita lalui di masa pendidikan tersebut, bisa
jadi kita dapat memperoleh pengalaman-pengalaman yang dapat membentuk karakter
kita dan mungkin saja menjadi penguat tekat kita dalam memilih karir sebagai wirausaha.
Sebagian
dari kita mungkin mulai bekerja mencari nafkah setelah lepas dari masamasa sekolah.
Tetapi tidak jarang pula, ada di antara kita yang telah melakoni sebagai pekerja
sambil bersekolah atau malah telah mulai bekerja sejak usia dini baik sekadar membantu
orang tua atau pun bekerja secara mandiri. Bagi yang telah bekerja sambil bersekolah
atau sejak usia dini, masa pengalaman mencari nafkah terjadi bersamaan atau menjadi
bagian dari proses asuhan dalam keluarga pendidik maupun proses pendidikan di luar
.
2.3 Karakter Wirausahawan Potensial
Pengertian
kewirausahaan yang berbeda-beda oleh para ahli menyebabkan pula beragamnya
pendapat terhadap karakter-karakter yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan
sukses. Kao (1983) dalam Tunggal (2008) menuturkan bahwa terdapat 11 karakteristik
seorang wirausahawan, yaitu:
1.
Total berkomitmen, menjadi penentu
dan melindungi
2. Memiliki dorongan untuk mendapatkan dan
bertumbuh.
3.
Berorientasi kepada kesempatan dan
tujuan.
4.
Mempunyai inisiatif dan tanggung
jawab personal.
5.
Pemecah persoalan secara terus
menerus.
6.
Memiliki realisme dan dapat
berbicara denan selingan humor.
7.
Selalu mencari dan menggunakan umpan
balik (feedback).
8.
Selalu berfokus pada internal.
9.
Menghitung dan mencari risiko.
10.
Memiliki kebutuhan yang kecil untuk
status dan kekuasaan.
11.
Memiliki integritas dan reabilitas.
Alma
(2007) dalam konteks karakter wirausahawan mengemukakan delapan anak tangga menuju
puncak karir berwirausaha yang terdiri atas :
1.
(Mau kerja keras (capacity for hard work)
2.
Bekerjasama dengan orang lain (getting things done with and through people)
3.
Penampilan yang baik (good appearance)
4.
Yakin (self confidence)
5.
Pandai membuat keputusan (making sound decision)
6.
Mau menambah ilmu pengetahuan (college education)
7.
Ambisi untuk maju (ambition drive)
8. Pandai berkomunikasi ability
to communicate)
Sedangkan
Gooffrey G. Meredith (2000) mengemukakan ciri dan watak wirausahawan, seperti
berikut:
1.
Percaya diri dengan watak keyakinan, kemandirian, individualitas
dan optimisme.
2.
Berorientasikan tugas dan hasil dengan watak kebutuhan akan
prestasi, berorientasi pada laba, memiliki ketekunan dan ketabahan, memiliki
tekad yang kuat, suka bekerja keras, energik dan memiliki inisiatif.
3.
Pengambil resiko dengan watak memiliki kemampuan mengambil
resiko dan suka pada tantangan.
4.
Kepemimpinan dengan watak bertingkah laku sebagai pemimpin,
bergaul dengan orang lain, suka terhadap[ kritik dan saran yang membangun.
5.
Keorisinilan dengan watak memiliki inovasi dan kreativitas
tinggi, fleksibel, serta bisa dan memiliki jaringan bisnis yang luas.
6.
Berorientasi ke masa depan dengan
watak persepsi dan memiliki cara pandang/carapikir yang berorientasi pada masa
depan.
7.
Jujur dan tekun dengan watak memiliki keyakinan bahwa hidup itu
sama dengan kerja.
Kasmir
(2007) mengemukakan ciri-ciri wirausahawan yang berhasil, sebagaimana yang diuraikan
berikut ini:
1.
Memiliki visi dan tujuan yang jelas. Hal ini berfungsi untuk
menebak ke mana langkah dan arah yang dituju sehingga dapat diketahui langkah
yang harus dilakukan oleh pengusaha tersebut
2.
Inisiatif dan selalu proaktif. Ini merupakan ciri mendasar di
mana pengusaha tidak hanya menunggu sesuatu terjadi, tetapi terlebih dahulu
memulai dan mencari peluang sebagai pelopor dalam berbagai kegiatan.
3.
Berorientasi pada prestasi. Pengusaha yang sukses selalu
mengejar prestasi yang lebih baik daripada prestasi sebelumnya. Mutu produk,
pelayanan yang diberikan, serta kepuasan pelanggan menjadi perhatian utama.
Setiap waktu segala aktifitas usaha yang dijalankan selalu dievaluasi dan harus
lebih baik dibanding sebelumnya.
4.
Berani mengambil risiko. Hal ini merupakan sifat yang harus
dimiliki seorang pengusaha kapanpun dan dimanapun, baik dalam bentuk uang
maupun waktu.
5.
Kerja keras. Jam kerja pengusaha tidak terbatas pada waktu, di
mana ada peluang di situ dia datang. Kadang-kadang seorang pengusaha sulit
untuk mengatur waktu kerjanya. Benaknya selalu memikirkan kemajuan usahanya.
Ide-ide baru selalu mendorongnya untuk bekerja kerjas merealisasikannya. Tidak
ada kata sulit dan tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan.
6.
Bertanggungjawab terhadap segala aktifitas yang dijalankannya,
baik sekarang maupun yang akan datang. Tanggungjawab seorang pengusaha tidak
hanya pada segi material, tetapi juga moral kepada berbagai pihak.
7.
Komitmen pada berbagai pihak merupakan ciri yang harus dipegang
teguh dan harus ditepati. Komitmen untuk melakukan sesuatu memang merupakan
kewajiban untuk segera ditepati dana direalisasikan.
8.
Mengembangkan dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak, baik
yang berhubungan langsung dengan usaha yang dijalankan maupun tidak.
Hubungan
baik yang perlu dlijalankan, antara lain kepada : para pelanggan, pemerintah,
pemasok, serta masyarakat luas. Secara sederhana, seorang wirausahawan dapat
didefenisikan sebagai orang yang menghasilkan suatu produk (barang/jasa) yang
ditujukan bukan untuk digunakan sendiri, melainkan untuk ditawarkan kepada
pihak lain yang membutuhkan dan bersedia untuk membelinya dengan tingkat harga
tertentu. Dari hasil penjualan tersebut, ia berhasil memperoleh pendapatan
untuk nafkah hidupnya serta memperoleh keuntungan untuk mengembangkan usahanya
lebih lanjut. Dalam pengertian ini, wirausahawan adalah sebagai peranan sosial
yang menjadikan ekonomi suatu komunitas dapat berputar.
Berdasarkan
pendefenisian wirausahawan secara sederhana tersebut, dengan tanpa bermaksud
mengabaikan pendapat para ahli mengenai karakter wirausahawan yang telah dikemukakan,
pada pembelajaran kewirausahaan ini menggunakan pengelompokan ciri dan karakter
wirausahawan sebagaimana yang dikemukakan oleh Suryana, A.S. (2007) yang
diuraikan berikut ini.
1.
Percaya
diri
Karakter
yang masuk dalam ciri percaya diri adalah optimis, mandiri, jujur berintegritas,
matang seimbang, berfokus pada diri, dan bertekad kuat. Dengan karakterkarakter
tersebut, seorang wirausahawan percaya bahwa dirinya memiliki
kemampuankemampuan tertentu yang dapat digunakan untuk mencapai sasaran-sasaran
yang hendak dicapainya. Ia juga tidak akan gorah menghadapi gangguan-gangguan
di tengah perjalanan untuk mencapai tujuan. Memiliki harga diri yang tinggi dan
tidak mudah menyerah pada kegagalan. Pada saat mengalami kegagalan, ia
menerimanya sebagai hambatan sementara dan sekaligus sebagai sumber belajar
untuk menentukan upaya-upaya yang akan dilakukan selanjutnya.
2. Berani
Mengambil Resiko
Ciri
berani mengambil resiko meliputi karakter pengambil resiko yang moderat dan dapat
diperhitungkan, mampu belajar dari kegagalan, toleran terhadap ketidakpastian, menyukai
tantangan dan agresif. Dengan karakter tersebut, seorang wirausahawan menyadari
bahwa tidak semua faktor yang mempengaruhi tercapainya hasil berada dalam pengendaliannya.
Karena itu, dalam setiap usaha untuk mencapai keberhasilan, padanya melekat
kemungkinan untuk gagal yang sering disebut sebagai suatu resiko. Nilai resiko bagi
seorang wirausahawan dapat diperhitungkan atau diperkirakan secara intuitif.
Bila
nilai kerugian dari resiko terlalu kecil, bagi seorang wirausahawan tidak
menarik untuk diambil, karena kurang menantang. Sebaliknya bila kemungkinan
untuk berhasil terlalu kecil, ia pun tidak akan nekad untuk menghadapinya.
Seorang wirausahawan hanya akan mengambil pilihan dengan resiko yang wajar dan
realistis.
3. Kreatif-Inovatif
Energik,
banyak akal (resourcefull),
pengetahuan dan keterampilan luas (versatile),
berdayacipta dan imajinatif dan luwes (fleksibel) adalah karakter yang menjadi
ciri kreatif dan inovatifnya seorang wirausahawan. Tidak menyukai kerutinan
maupun kemapanan yang menyebabkan seorang wirausahawan selalu kreatif menemukan
hal-hal baru(inovatif). Ia tidak menyukai jalan buntu dan akan menghadapi
segala situasi dan kondisi dengan sikap felksibel, serta selalu berupaya
menemukan sumber-sumber alternatif sesuai dengan dasar wawasannya yang luas.
4. Berorientasi
Tugas dan Hasil
Karakter
wirausahawan yang termasuk dalam ciri berorientasi tugas dan hasil meliputi
butuh prestasi (need for
Achievement/n-Ach), tekun dan teliti, berorientasi pada sasaran, efektif
dan produktif, serta berorientasi laba. Seorang wirausahawan bila memiliki ide/gagasan
senantiasa merasa perlu segera menentukan tindakan-tindakan untuk mewujudkannya.
Begitu ia telah memulai tindakan, perhatiannya semata-mata tertuju kepada hasil
yang hendak dicapainya. Dengan motivasi untuk berprestasi yang tinggi dan persediaan
energi yang cukup ia berupaya untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkannya.
5. Kepemimpinan
Ciri
kepemimpinan pada seorang wirausahawan dapat dilihat dari berbagai karakter yang
dimilikinya, yaitu: pengambil keputusan yang cepat dan sistematis, berinisiatif
dan proaktif, dinamis, tanggap terhadap kritikan dan saran, kepribadian yang
menarik dan mudah bergaul, kooperatif, bertanggung jawab, sadar
pengaruh/kekuasaan serta berorientasi pada pelayanan. Seorang wirausahawan yang
memiliki karakter-karakter tersebut dapat dilihat dari kemampuannya bergaul dan
membangun jejaring yang memiliki prospek yang saling menguntungkan. Terhadap
saran dan kritikan dari pemangku kepentingan (stakeholders) serta pihak-pihak lain ditanggapi secara positif,
bahkan dijadikan sebagai salah satu sumber informasi yang dapat dimanfaatkan
untuk pembentukan gagasan-gagasan dalam rangka perbaikan.
6. Sadar
Arus Waktu
Seorang
wirausahawan harus sadar arus waktu yang ditandai dengan adanya karakter berupa
memanfaatkan waktu dengan efisien, terarah ke masa depan, perspektif, menjalani
waktu kronos dan menghayati
waktu kairos. Dengan karakter
tersebut, seorang wirausahawan dapat menggunakan kesempatan yang ada (kairos) sebaik mungkin, karena ia
sadar bahwa waktu memiliki kurun obyektif (kronos) yang sama bagi setiap orang, tidak ada orang yang
memiliki lebih dari 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu dan 52 minggu dalam
per tahun.
BAB III
PELUANG-PELUANG USAHA
3.1 Sasaran Pembelajaran
Setelah
mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kulia diharapkan mampu
mengidentifikasi peluang-peluang usaha potensil yang ada disekitar
lingkungannya dan menetapkan gagasan usaha/produk yang dapat meningkatkan
kualitas hidup sesama manusia.
3.2 Peluang Usaha
Kewirausahaan
dalam perspektif ekonomi dapat dijelaskan dari aspek peluang. Sebagaimana
beberapa ahli mendefenisikan kewirausahaan sebagai tanggapan yang dilakukan
seseorang terhadap peluang-peluang usaha yang diwujudkan dalam berbagai tindakan
dengan berdirinya sebuah unit usaha sebagai suatu hasil dari tindakannya. Dalam
perspektif sosiologi kemampuan menemukan peluang sangat tergantung pada
interaksi antar-manusia untuk memperoleh dan mengakses informasi yang
dibutuhkan terkait dengan peluang yang ada. Sedangkan dalam perspektif
psikologi kemampuan seseorang dalam menemukan dan memanfaatkan peluang sangat
tergantung dari karakter kepribadian yang dimilikinya.
Jelas
kiranya bahwa salah satu faktor keberhasilan seorang wirausahawan adalah kemampuannya
dalam jeli melihat peluang dan memanfaatkannya sebelum dimanfaatkan oleh orang
lain. Kemampuan melihat peluang adalah modal dalam memunculkan ide awal untuk
berwirausaha. Tidak semua orang mampu melihat peluang apalagi memanfaatkannya,
demikian halnya kemampuan melihat peluang tidaklah sama antar setiap orang.
Seseorang
yang telah mengenal potensi diri yang dimilikinya lebih cenderung memiliki
kemampuan untuk melihat dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada.
3.3 Menemukan Peluang Usaha
Peluang
usaha bersumber dari adanya kebutuhan dari individu atau masyarakat. Oleh
karena itu jika ingin mulai mewujudkan berwirausaha, hendaknya terlebih dahulu menjawab
pertanyaan” “Apakah yang menjadi kebutuhan masyarakat atau kebanyakan anggota
masyarakat saat ini atau di masa yang akan datang?”.
Untuk memahami kebutuhan masyarakat diperlukan
suatu diagnosa terhadap lingkungan usaha secara keseluruhan, yang meliputi
faktor ekonomi, politik, pasar, persaingan, pemasok, teknologi, sosial dan
geografi. Lingkungan usaha senantiasa berubah setiap saat, bahkan perubahannya
cukup pesat dan seiring dengan itu terjadi pula perubahan kebutuhan masyarakat.
Untuk menemukan peluang usaha yang prospektif seharusnya kita sebagai wirausahawan
senantiasa mencari informasi yang terkait dengan perubahan lingkungan dan
kebutuhan masyarakat.
Sumber
informasi dapat diperoleh dari instansi/lembaga pemerintah, media
massa, pasar atau mungkin
melalui wawancara dengan konsumen. Jadi, peluang senantiasa ada karena
perubahan-perubahan terus berlangsung baik di tingkat individu, maupun ditingkat
masyarakat. Kemampuan kita melihat peluang sangat tergantung dari informasi yang
kita peroleh tentang faktor lingkungan usaha.
Berangkat dari pertanyaan di
atas dengan memanfaatkan potensi diri kita, maka
dalam menemukan peluang usaha
yang cocok, kita dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu:
1.
Pendekatan
in-side-out (dari dalam ke luar) bahwa keberhasilan akan dapat diraih
dengan memenuhi kebutuhan yang ada saat ini.
2.
Pendekatan
out-side-in (dari luar ke dalam) bahwa keberhasilan akan dapat diraih
dengan menciptakan kebutuhan
3.4 Memilih Lapangan Usaha dan Mengembangkan Gagasan Usaha
Setelah
mengetahui kebutuhan masyarakat dan berhasil menemukan berbagai apangan usaha
dan gagasan usaha, maka langkah berikutnya adalah menjawab pertanyaan: “Manakah
di antara lapangan usaha dan gagasan-gagasan usaha tersebut yang paling tepat
dan cocok untuk saya?” Pertanyaan ini sangat tepat, mengingat setiap orang
memiliki potensi diri yang berbeda-beda. Tentunya dalam memilih lapangan usaha
dan mengembangkan gagasan usaha, kita perlu menyesuaikan dengan potensi diri
yang kita miliki.
Kekeliruan
dalam memilih yang disebabkan karena ketidakcocokan atau ketidaksesuaian pada
akhirnya akan mendatangkan kesulitan atau bahkan kegagalan di kemudian hari. Telah
banyak fakta yang dapat dikemukakan, bahwa masih banyak wirausahawan yang
memulai usahanya dengan melihat keberhasilan orang lain dalam menjalankan usahanya
(latah atau ikut-ikutan). Pada hal belum tentu orang lain berhasil dalam
suatu lapangan usaha, kita juga dapat berhasil dengan lapangan usaha yang sama.
Mungkin
saja orang lain berhasil karena potensi diri yang dimilikinya cocok dengan
lapangan usaha tersebut dan kemampuan dia untuk mengakses informasi terkait
dengan usaha yang dijalankannya. Bisa saja kita mengikuti orang yang telah
berhasil dalam suatu lapangan usaha, namun kita perlu memiliki nilai lebih dari
aspek kualitas yang kita tawarkan kepada konsumen. Namun kemampuan menawarkan
aspek kualitas yang lebih tetap juga terkait dengan potensi diri yang kita
miliki. Olehnya itu, dalam memilih lapangan usaha yang akan kita geluti, perlu dipertimbangkan
hal-hal berikut:
1.
Lapangan
usaha yang cocok untuk orang lain belum tentu cocok bagi kita.
2.
Lapangan
usaha yang pada masa lalu menguntungkan, belum tentu pada saat ini masih
menguntungkan, atau lapangan usaha yang menguntungkan saat ini belum tentu
menguntungkan di masa yang akan datang.
3.
Lapangan
usaha yang berkembang baik di suatu daerah, belum tentu dapat berkembang dengan
baik pula di daerah lain, dan sebaliknya.
Berangkat
dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dalam memilih lapangan usaha,
kita perlu kembali melihat dan mengkaji kondisi internal kita dan kondisi eksternal
dimana usaha kita jalankan, karena faktor internal dan eksternal ini akan
sangat menentukan kesuksesan kita dalam menjalankan usaha. Faktor internal yang
dimaksud seperti penguasaan sumberdaya (lahan, bangunan, peralatan dan finansial),
penguasaan teknis atau keterampilan, penguasaan manajemen dan jejaring sosial
yang kita miliki.
faktor eksternal seperti peraturan pemerintah,
tingkat permintaan dan penawaran, persaingan, resiko dan prospek ekonomi baik
lokal, regional, nasional maupun global. Berdasarkan uraian di atas, maka
langkah awal yang perlu kita lakukan adalah menginventarisir berbagai jenis
lapangan usaha dan gagasan produk yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia.
Kehidupan
manusia dapat berkualitas ketika semua komponen kebutuhannya terpenuhi. Mungkin dari langkah awal tadi, kita telah
menemukan ratusan atau bahkan ribuan gagasan usaha. Untuk memperkecil pilihan
dalam melakukan analisis berikutnya, maka kita harus menyeleksi berbagai jenis
gagasan usaha yang telah kita lakukan pada langkah pertama tadi.
Gagasan
usaha yang dipilih adalah gagasan yang memiliki prospek secara
ekonomi yang dapat berupa
pertimbangan bahwa produk yang dihasilkan merupakan kebutuhan vital bagi
manusia dengan tingkat permintaan dan harga yang relatif memadai. Selanjutnya
alternatif pilihan lebih diperkecil lagi dengan memilih beberapa gagasan usaha
dengan mempertimbangkan potensi diri (faktor internal) kita. Hasil akhir dari
langkah-langkah yang telah kita lakukan akan diperoleh beberapa gagasan usaha
yang telah terurut berdasarkan prioritasnya.
Agar pilihan kita lebih aman dan dapat dikuasai dengan
baik, maka perlu dilakukan analisis kembali dengan mempertimbangkan faktor internal
berupa kekuatan dan kelemahan yang kita miliki jika kita memilih gagasan usaha yang
bersangkutan, dan dan faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang akan
dihadapi jika kita menjatuhkan
pilihan pada gagasan usaha yang bersangkutan.
BAB IV
ASPEK PEMASARAN
4.1 Sasaran Pembelajaran
Setelah mengikuti proses
pembelajaran ini diharapkan mahasiswa peserta mata kuliah mampu untuk merancang
strategi pemasaran dari gagasan produk yang telah dihasilkan pada pembelajaran
sebelumnya.
4.2 Defenisi Pemasaran
Berbagai
literatur mengenai pemasaran akan ditemukan pula berbagai macam defenisi
mengenai pemasaran. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan orang yang
mendefenisikannya dalam memandang dan meninjau pemasaran. Dalam kegiatan pemasaran
ini, aktivitas pertukaran merupakan hal sentral, olehnya itu secara sederhana, Soekartawi
(1993) mendefenisikan pemasaran sebagai aliran barang dari produsen ke konsumen.
Dalam
pengaliran barang tersebut tentunya bertujuan untuk memuaskan konsumen,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Sukotjo (1991) yang mendefenisikan pemasaran
sebagai suatu sistem keseluruhan dari suatu kegiatan usaha yang ditujukan untuk
merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang atau
jasa yang dapat memuaskan pembeli/konsumen.
Manusia
harus menemukan kebutuhannya terlebih dahulu, sebelum ia memenuhinya. Usaha
untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengadakan suatu
hubungan. Dengan demikian pemasaran bisa juga diartikan suatu usaha untuk
memuaskan kebutuhan pembeli dan penjual (Swastha, 1996). Pemasaran memiliki
konsep inti yang meliputi kebutuhan (needs),
keinginan (wants), dan
permintaan (demands). Olehnya
itu, Assauri (1996) mengemukakan bahwa pemasaran adalah kegiatan manusia yang
diarahkan untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui proses
pertukaran. Pertukaran merupakan kegiatan pemasaran dimana seseorang berusaha
menawarkan sejumlah barang atau jasa dengan sejumlah nilai keberbagai macam
kelompok sosial untuk memenuhi kebutuhannya.
Pemasaran
sebagai kegiatan manusia diarahkan untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan
melalui proses pertukaran. Definisi yang sesuai dengan tujuan tersebut sebagaimana
yang dikemukakan oleh Kotler (1997) bahwa pemasaran sebagai suatu proses sosial
dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan
dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang
bernilai di dalam pasar. Proses pemasaran merupakan kelanjutan dari proses
produksi yang bertujuan agar apa yang telah diinvestasikan dalam kegiatan
produksi dapat diperoleh kembali dengan memperoleh keuntungan dari hasil
penjualan sebagai imbalan investasi yang telah dilakukan.
Pemenuhan
kebutuhan dan keinginan konsumen sebagai faktor kunci dalam pemasaran sangatlah
tepat karena saat ini pemasaran sebuah produk akan diperhadapkan
pada
tingkat persaingan yang sangat ketat. Olehnya itu Gitisudarmo (2000)
mengemukakan bahwa konsep
pemasaran terbaru saat ini adalah konsep yang berorientasi pada persaingan,
dimana pengusaha berpikir untuk memperoleh persaingan yang lebih unggul
dibandingkan dengan pesaingnya dalam melayani konsumen. Konsep ini tidak hanya
menekankan untuk melayani konsumen sebaik-baiknya, namun harus pula berusaha untuk
tampil meyakinkan dan memuaskan di mata konsumen dibandingkan dengan pesaing.
Berangkat
dari apa yang telah diuraikan, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya proses
pemasaran dimulai dari menemukan apa yang diinginkan oleh konsumen. Atau dengan
kata lain mengetahui apa yang diinginkan oleh konsumen yang berkenaan dengan produk,
kinerja serta kualitas adalah tahap pertama yang sangat penting dari kegiatan pemasaran.
4.3 Tugas, Fungsi dan Orientasi Pemasaran
Secara
teoritis pemasaran mempunyai 9 (sembilan) fungsi, yang dapat diuraikan, sebagai
berikut:
1.
Fungsi
perdagangan (merchandising)
Perencanaan
yang berkenaan dengan pemasaran produk (barang dan/atau jasa) yang tepat, dalam
jumlah yang tepat, serta harga yang selaras, termasuk di dalamnya faktorfaktor lain
seperti bentuk, ukuran, kemasan dan sebagainya.
2.
Fungsi
Pembelian (buying)
Peranan
perusahaan dalam pengadaan bahan sesuai dengan kebutuhannya.
3.
Fungsi
Penjualan (selling)
Meyakinkan
orang untuk membeli suatu produk (barang dan/atau jasa) yang mempunyai arti
komersial baginya.
4.
Fungsi
Transportasi (transportation)
Perencanaan,
seleksi dan pengerahan semua alat pengangkutan untuk memudahkan produk (barang
dan/atau jasa) dalam proses pemasaran.
5.
.
Fungsi Pergudangan (storage)
Menyimpan
barang selama waktu produk tersebut dihasilkan dan dijual.
6.
Fungsi
Standarisasi (standardization)
Penetapan
batas-batas elementer berupa perincian-perincian yang harus dipenuhi oleh produk,
termasuk di dalamnya grading, yakni memilih kesatuan dari suatu produk yang dimasukkan
ke dalam kelas-kelas dan derajat-derajat yang sudah ditetapkan dengan standarisasi.
7.
Fungsi
Keuangan (financing)
Merupakan
usaha untuk mencari dan mengurus modal dan kredit yang langsung bersangkutan
dengan transaksi dalam mengalirkan produk (barang dan/atau jasa) dari produsen
ke konsumen.
8.
Fungsi
Komunikasi (communication)
Segala
sesuatu yang dapat memperlancar hubungan di dalam perusahaan dan di luar perusahaan.
9.
iFungsi
Resiko (risk)
Fungsi
untuk menangani atau menghadapi resiko kerugian karena kerusakan, kehilangan atau anjloknya harga di pasaran.
Sesuai
dengan fungsi sebagaimana telah diungkapkan, maka pemasaran memiliki 8 (delapan)
tugas, yaitu:
1.
Mengubah
orang yang tidak suka terhadap suatu produk menjadi suka (conversional marketing).
2.
Mendorong
kebutuhan orang yang tidak berminat atau mengetahui (stimulational marketing).
3.
Mengembangkan
pemenuhan kebutuhan yang belum terpenuhi (developmental marketing).
4.
Mengaktifkan
keinginan atas produk yang stabil atau permintaan terhadap produk yang menurun
(remarketing).
5.
Menyelaraskan
pola permintaan agar sesuai dengan pola penawaran (synchromarketing).
6.
Memelihara
tingkat penjualan yang sudah ada terhadap suatu produk (maintnence marketing).
7.
Mengurangi
tingkat penjualan yang sudah ada terhadap suatu produk tertentu (demarketing).
8.
Merintangi
permintaan atau keinginan terhadap suatu produk tertentu (counter marketing).
Orientasi
terhadap pasar berbeda-beda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain.
Tergantung konsep yang digunakan oleh perusahaan dalam melaksanakan kegiatan pemasarannya.
Hal ini merupakan falsafah yang mendasari usaha pemasaran perusahaan terkait
dengan bobot relatif antara kepentingan perusahaan sendiri, konsumen dan masyarakat
umum. Kotler (1997) mengemukakan bahwa terdapat 5 (lima) konsep yang dapat
dipilih oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan pemasarannya, yaitu:
1.
Konsep
Produksi yang
merupakan salah satu konsep tertua dalam bisnis. Konsep produksi menyatakan
bahwa konsumen akan menyukai produk yang tersedia di banyak tempat dan
ditawarkan dengan harga yang murah. Asumsi ini berlaku paling tidak dalam dua
situasi. Pertama, jika permintaan atas produk melebihi penawaran, dimana konsumen
lebih tertarik mendapatkan produk daripada keistimewaan produk tersebut. Kedua,
ketika biaya produk tinggi dan harus diturunkan untuk memperluas pasar. Pusat perhatian
perusahaan pada upaya untuk mencapai efisiensi produksi yang tinggi dan distribusi
yang luas.
2.
Konsep
Produk yang
menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang menawarkan mutu, kinerja
dan pelengkap inovatif yang terbaik. Dengan konsep ini, perusahaan memusatkan
perhatian pada usaha untuk menghasilkan produk yang unggul dan terus
menyempurnakannya.
3.
Konsep
Penjualan yang
menyatakan bahwa konsumen jika diabaikan, biasanya tidak akan membeli produk
perusahaan dalam jumlah yang cukup. Olehnya itu, perusahaan harus melakukan
upaya penjualan dan promosi yang agresif.
4.
Konsep
Pemasaran merupakan
konsep yang menentang tiga konsep sebelumnya. Konsep ini menyatakan bahwa kunci
untuk meraih tujuan perusahaan adalah menjadi lebih efektif daripada pesaing
dalam memadukan kegiatan pemasaran guna menetapkan dan memuaskan kebutuhan dan
keinginan konsumen sebagai pasar sasaran.
5.
Konsep
Pemasaran Berwawasan Sosial merupakan
perluasan dari konsep pemasaran. Konsep ini menyatakan bahwa tugas perusahaan
adalah menentukan kebutuhan, keinginan dan kepentingan pasar sasaran dan
memberikan kepuasan yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien daripada
pesaing dengan mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan konsumen dan
masyarakat. Konsep ini mengajak para pemasar membangun pertimbangan sosial dan
etika dalam praktek pemasaran mereka, karena sering terjadi konflik kepentingan
antara kepentingan untuk meningkatkan laba perusahaan, kepentingan untuk
memberikan kepuasan kepada konsumen, serta perhatian kepada kepentingan publik.
4.4 Sasaran dan Strategi Pemasaran
Sasaran
pemasaran yang dimaksud adalah terkait dengan apa yang akan dicapai dalam
kegiatan pemasaran. Umumnya perusahaan dalam menjalankan aktifitas pemasarannya
memiliki sasaran yang tidak hanya satu, melainkan terdiri dari bauran berbagai
sasaran, misalnya jumlah peningkatan keuntungan, volume penjualan dan pangsa pasar
yang akan dituju serta pembatasan resiko dan kerugian. Agar manajemen
perusahaan dapat bekerja dengan berorientasi pada sasaransasaran yang telah
ditetapkan, maka sasaran-sasaran tersebut setidaknya memenuhi empat kriteria,
sebagai berikut:
1.
Sasaran
harus diurutkan secara hierarkis, dari yang paling penting hingga ke sasaran yang
kurang penting untuk dicapai. Sebagai contoh, sasaran utama perusahaan dalam suatu
periode tertentu adalah peningkatan tingkat pengemb,alian investasi. Hal ini
dapat dicapai dengan peningkatan pendapatan dan/atau pengurangan jumlah modal
yang diinvestasikan. Pendapatan dapat ditingkatkan dengan melakukan upaya
peningkatan pangsa pasar dan/atau harga jual.
2.
Sasaran
sedapat mungkin harus dinyatakan secara kuantitatif, misalnya peningkatan pendapatan
sebesar 25% per tahun atau peningkatan volume penjualan sebanyak 15 ton per
bulan.
3.
Sasaran
yang ditetapkan harus realistis, tidak berdasarkan angan-angan saja. Kepemilikan
dan kemampuan sumberdaya perusahaan dan kondisi lingkungan eksternal harus
menjadi bahan pertimbangan. Tentunya harus dilengkapi dengan data dan fakta sebagai
dasarnya.
4.
Sasaran
harus konsisten, sebagai contoh tidak mungkin memaksimalkan penjualan dan laba
secara serentak, tentunya laba hanya dapat ditingkatkan apabila telah mampu
meningkatkan penjualan Sasaran pemasaran sebagaimana yang telah dikemukakan
menunjukkan apa yang ingin dicapai perusahaan dalam hal pemasaran produknya,
sedangkan untuk mencapainya dibutuhkan rencana yang disebut strategi pemasaran.
Meskipun banyak strategi yang
dapat dilakukan dalam pemasaran, namun Michael Porter dalam Kotler
(1997) telah merangkumnya menjadi tiga jenis umum yang memberikan awal yang
baik untuk pemikiran strategis, yaitu:
1.
Keunggulan
biaya secara keseluruhan,
perusahaan berupaya untuk mencapai biaya produksi dan distribusi yang terendah,
sehingga harga yang ditawarkan kepada konsumen lebih rendah dibandingkan dengan
pesaing dan memperoleh pangsa pasar yang besar.
2.
Diferensiasi, upaya yang dilakukan oleh
perusahaan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen yang dinilai
penting oleh sebagian besar pasar. Perusahaan harus menjadi yang terbaik dalam
hal kualitas, pelayanan, gaya teknologi dan sebagainya atau memiliki kekuatan
yang memberikan keunggulan kompetitif dalam satu atau lebih manfaat.
3.
Fokus, upaya perusahaan untuk
memfokuskan diri pada satu atau lebih segmen pasar yang sempit daripada
mengejar pasar yang lebih besar. Perusahaan harus memahami kebutuhan segmen
pasarnya dan berupaya mencapai keunggulan biaya atau diferensiasi lainnya dalam
segmen pasar yang menjadi sasarannya.
4.5 Segmentasi, Target dan Posisi Pasar
Pasar
terdapat banyak konsumen yang berbeda-beda dalam banyak hal. Tidak semua
konsumen dapat kita jangkau dan penuhi kebutuhan serta keinginannya. Misalnya, kebutuhan
konsumen anak-anak mungkin berbeda dengan kebutuhan orang dewasa, demikian juga
kebutuhan konsumen yang berpendapatan kecil berbeda dengan kebutuhan konsumen
yang berpendapatan tinggi. Di sini kita sebagai wirausahawan diperhadapkan pada
bagaimana menciptakan produk yang tepat sesuai dengan kebutuhan konsumen tertentu.
Kita
mungkin perlu bertanya kepada siapa produk akan dijual? Apakah kepada semua
orang ? apakah konsumen anak-anak atau dewasa? Dari mana konsumen berasal? Berapa
daya beli atau penghasilan mereka? dan berbagai pertanyaan yang terkait dengan karakteristik
konsumen yang akan kita tuju. Itulah sebabnya dibutuhkan adanya segmentasi
pasar yang menurut Swasta (1996) diartikan sebagai kegiatan membagi-bagi pasar
yang bersifat heterogen dari suatu produk ke dalam satuan-satuan pasar (segmen
pasar) yang bersifat homogen. Segmentasi utama pasar konsumen dapat dibagi
menjadi:
1.
Segmentasi
Geografis yang
dapat dikelompokkan menjadi segmen wilayah (di wilayah mana produk akan
dijual?) dan segmen daerah (apakah kita akan memasarkan di daerah perdesaan
atau perkotaan?).
2.
Segmentasi
Demografis merupakan
pengelompokan berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, agama, pendapatan,
kelas sosial dan sebagainya.
3.
Segmentasi
Psikografis yang
meliputi pengelompokan konsumen berdasarkan gaya hidup, kepribadian dan
sebagainya.
4.
Segmentasi
Perilaku merupakan
pengelompokan konsumen berdasarkan status pemakai, tingkat pemakaian,
kesetiaan, sikap dan sebagainya.
Tidak
semua segmen pasar yang ada efektif bagi suatu perusahaan. Segmen pasar yang
baik, setidaknya memiliki ciri: dapat diukur derajat atau kemampuan membelinya,
perusahaan mampu untuk mencapainya, jumlahnya cukup besar dan tentunya menguntungkan
bagi perusahaan.
Setelah
menentukan segmen pasar yang diinginkan, selanjutnya perlu ditetapkan berapa
banyak dan segmen yang mana yang akan dibidik sebagai target pasar perusahaan.
Menggarap target pasar, terdapat lima pola yang dapat dipilih, yaitu:
1.
Konsentrasi
segmen tunggal,
perusahaan hanya memilih satu segmen saja
2.
Spesialisasi
selektif,
perusahaan hanya memilih sejumlah segmen yang menarik secara obyektif.
3.
Spesialisasi
produk,
perusahaan hanya berkonsentrasi menghasilkan produk tertentu untuk segmen
tertentu.
4.
Spesialisasi
pasar,
perusahaan berkonsentrasi memenuhi banyak kebutuhan untuk pasar tertentu.
5.
Cakupan
seluruh pasar,
perusahaan melayani semua kebutuhan pada seluruh kelompok pelanggan.
Strategi
pemasaran harus disesuaikan dengan posisi perusahaan dalam persaingan, apakah
memimpin, menantang, mengikuti atau hanya mengambil sebagian kecil dari pasar.
1.
Perusahaan
pemimpin pasar (market leader)
Pemimpin
pasar biasanya memiliki pangsa pasar yang besar dan posisi ini dapat
dipertahankan
dengan cara:
a. Mempertahankan jumlah pasarnya
melalui upaya memperpanjang lini produknya, menambah lini produk dan
diversifikasi produk.
b. Meningkatkan pangsa pasar yang
dimiliki melalui upaya memperoleh konsumen baru, mendapatkan kegunaan baru dari
produk yang bersangkutan dan meningkatkan frekuensi penggunaan dari produk yang
bersangkutan.
c. Mempertahankan pangsa pasar
yang ada saat ini.
2.
Perusahaan
penantang pasar (market challenger)
Perusahaan
yang tergolong penantang pasar adalah perusahaan yang memutuskan untuk
melakukan konfrontasi langsung dengan pemimpin pasar dan lainnya dalam upaya
untuk meningkatkan pangsa pasarnya. Upaya peningkatan pangsa pasar dapat
dilakukan dengan cara:
a. Menyerang langsung para
pesaingnya
b. Memanfaatkan daerah-daerah
dimana para pesaingnya lemah
c. Merebut pangsa pasar dari
perusahaan-perusahaan lain yang lebih kecil
Untuk
meraih kesuksesan, perusahaan penantang pasar biasanya harus
mengembangkan
lebih dari satu taktik, seperti: menghasilkan produk yang lebih rendah kualitasnya
dengan harga yang lebih murah, melakukan potongan harga, memproduksi atau
menawarkan produk yang berkualitas tinggi, memperpanjang lini produk, menyempurnakan
produk, menekan biaya, menggiatkan promosi, menyempurnakan distribusi dan
meningkatkan pelayanan.
3.
Perusahaan
pengikut pasar (market followers)
Perusahan
tipe ini adalah perusahaan yang merasa bahwa akan lebih banyak ruginya daripada
untungnya bila menyerang para pesaing yang nyata-nyata lebih kuat dan dapat bertahan
lebih lama dalam peperangan tersebut. Upaya dilakukan dengan cara:
a. Mempertahankan pelanggan yang
ada saat ini dan bila ada kesempatan akan berupaya untuk mendapatkan pelanggan
baru
b. Biaya yang digunakan dalam
operasional diupayakan serendah mungkin, namun tetap mempertahankan kualitas
c. Mengambil persfektif jangka
panjang danmengabaikan pelanggan jangka pendek yang menggunakan kesempatan pada
saat harga turun
4.
Perusahaan
yang melayani satu pasar (market nicher)
Melayani
suatu pangsa pasar tertentu merupakan pilihan yang baik bagi
perusahaanperusahaan yang tidak menjadi pemimpin pasar dan memungkinkan mereka
untuk meluaskan atau mempertahankan pangsa pasar yang mereka miliki.
4.6 Bauran Pemasaran
Menurut
Maulana (1992) bahwa ruang lingkup pemasaran yang luas dapat disederhanakan
menjadi empat kegiatan utama, yaitu produk, harga, tempat dan promosi. Kegiatan
utama yang dimaksud adalah merupakan bidang keputusan yang penting yang diistilah
kan oleh Kotler (1997) sebagai bauran pemasaran (marketing mix) yang didefenisikan
sebagai perangkat alat pemasaran yang digunakan oleh perusahaan untuk mencapai
tujuan dalam pasar sasaran.
1.
Produk
(product)
Produk
merupakan sekumpulan atribut yang nampak maupun yang tidak nampak mencakup
warna, bentuk, aroma, kemasan dan sebagainya yang diterima oleh konsumen dan
dapat memenuhi kebutuhannya. Strategi produk dalam bauran pemasaran merupakan
unsur yang paling penting, karena dapat mempengaruhi strategi pemasaran
lainnya. Strategi produk yang dapat dilakukan mencakup keputusan tentang acuan
bauran produk (product mix), merek dagang (brand), cara
pengemasan atau kemasan produk (product packing), serta tingkat kualitas
dari produk dan pelayanan (service) yang diberikan. Kulaitas produk
memiliki peran yang cukup signifikan dalam upaya untuk mempertahankan
kelangsungan hidup perusahaan. Melakukan produksi tanpa memperhatikan kualitas
dari produksi itu sendiri akan berakibat pada berpindahnya pelanggan ke produk
perusahaan lain yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan perusahaan.
2.
Harga
(price)
Harga
menurut Kotler (1997) adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh konsumen
untuk mendapatkan suatu barang atau dengan kata lain bahwa jumlah nilai yang
ditukarkan oleh konsumen dengan manfaat atas menggunakan produk perusahaan.
Salah satu kunci keberhasilan perusahaan dalam melaksanakan aktifitas pemasarannya
adalah kebijaksanaan dalam penentuan harga. Hal ini penting, karena harga yang
ditetapkan oleh perusahaan akan menjadi bahan pertimbangan bagi konsumen untuk
mengambil keputusan dalam pembelian produk.
3.
Distribusi/Tempat
(place)
Suatu
komoditi dapat dikatakan sebagai sebuah produk apabila berada pada tempat saat
dibutuhkan oleh konsumen. Olehnya itu, disinilah letak fungsi perusahaan untuk melakukan
distribusi terhadap produk yang dihasilkannya agar produk tersebut menjadi
wujud yang sebenarnya. Kegiatan distribusi merupakan kegiatan penyampaian
produk agar sampai ke tangan konsumen pada waktu yang tepat. Oleh sebab itu,
kebijakan distribusi merupakan salah satu strategi perencanaan pemasaran terpadu
yang meliputi penentuan saluran pemasaran dan saluran distribusi. Saluran
distribusi
merupakan jalur yang digunakan oleh perusahaan untuk menyalurkan produknya,
baik secara langsung ke konsumen atau dengan menggunakan jasa lembaga pemasaran
atau perantara. Dalam memilih saluran distribusi, perusahaan sedapat mungkin
menyesuaikan dengan keadaannya, misalnya jenis produk yang digasilkan, biaya
yang dikeluarkan, waktu, resiko, luas wilayah, mutu produk serta keuntungan
yang akan diperoleh.
4.
Promosi
(promotion)
Ketatnya
persaingan dalam merebut pangsa pasar, maka promosi dapat dijadikan sebagai
salah satu peralatan manajemen yang berguna untuk menjalin komunikasi kepada
konsumen dengan maksud mempengaruhi dan mendorong konsumen untuk membeli produk
yang ditawarkan oleh perusahaan. Kegiatan promosi dapat dilakukan dengan cara
langsung bertatap muka dengan (calon) konsumen atau sering dikenal dengan
istilah personal selling ataupun melalui media cetak atau elektronik.
4.7 Menetapkan Nilai Pemasaran
Konsumen
dalam membeli dan mengkonsumsi sesuatu bukan hanya mengharapkan sekedar barang
saja, akan tetapi ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu sesuai dengan citra
yang terbentuk dalam dirinya. Suatu perusahaan berkepentingan untuk memberikan informasi
kepada publik agar dapat membentuk citra yang baik. Citra tidak dapat dibuat seperti
barang dalam suatu pabrik, akan tetapi citra adalah kesan yang diperoleh sesuai
dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap sesuatu.
Citra
yang ada pada perusahaan terbentuk dari bagaimana perusahaan tersebut melakukan
kegiatan operasionalnya yang mempunyai landasan utama pada segi pelayanan. Ciri-ciri
pembentuk citra yang sering bersinggungan dengan kegiatan pemasaran, misalnya,
merek, pelayanan, proses dan sebagainya. Program yang baik dalam suatu perencanaan
dalam pengembangan produk atau jasa tidak akan lupa untuk mencantumkan kegiatan
perusahaan yang mencakup ciri pembentuk citra untuk produk dan jasa atau perusahaannya.
Merek
merupakan nilai yang berkaitan dengan nama atau perusahaan. Jika produk mudah
ditiru oleh pesaing, maka merek memiliki keunikan yang sulit untuk ditiru.
Merek yang baik adalah merek yang menggambarkan sesuatu mengenai manfaat
produk, mudah diingat, memiliki ciri khas, serta dapat didaftarkan untuk
mendapatkan perlindungan hukum.
Selain
merek, pelayanan merupakan nilai yang berkaitan dengan penyampaian produk
kepada konsumen. Bentuk pelayanan ini setidaknya berbentuk Pelayanan yang dimulai
jauh sebelum tatap muka secara fisik (reliability), cepat tanggap bila
ditemukan adanya kelalaian (responsivenes), adanya jaminan keamanan
(assurance), mau mengerti dan mau menangani (emphaty) serta nampak dan nyata
(tangible).
Keterlibatan
seluruh pihak yang terlibat dalam perusahaan dalam memiliki dan meningkatkan
rasa tanggung jawabnya untuk memberikan kepuasan kepada konsumen juga sangat
penting sebagai nilai yang prinsipil bagi perusahaan. Adanya rasa tanggung jawab
seluruh pihak dalam perusahaan terhadap pencapaian kepuasan memungkinkan tercapainya
kesuksesan perusahaan dalam pemasaran dan tentunya kesuksesan perusahaan secara
menyeluruh.
BAB V
ASPEK PRODUKSI
5.1 Sasaran Pembelajaran
Setelah
melalui proses pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah mampu untuk
merancang kebutuhan dalam kegiatan produksi dan proses produksi gagasan produknya.
5.2 Defenisi Produksi
Berbagai
literatur tentang produksi mendefenisikan produksi dengan gaya pengungkapan
yang berbeda-beda. Istilah produksi sering digunakan dalam suatu organisasi
untuk menghasilkan suatu keluaran atau output, baik berupa barang maupun jasa.
Produksi dari sudut pandang kegiatan penciptaan produk seperti yang dikemukakan
oleh Assauri (1993) bahwa produksi merupakan kegiatan untuk menciptakan atau menambah
kegunaan barang atau jasa.
Demikian
pula defenisi yang dikemukakan oleh Reksohadiprojo dan Gitosudarmo (2003) bahwa
produksi adalah kegiatan untuk menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa sesuai
dengan kehendak konsumen dalam hal jumlah, kualitas, harga serta waktu. Produksi
tidak hanya menciptakan produk sebagai keluaran (output), namun juga menggunakan
berbagai faktor produksi sebagai masukan (input). Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Prawirosentono (1997) bahwa produksi adalah membuat atau menghasilkan
produksi suatu barang dari berbagai bahan lain. Hal yang sama juga dikemukakan
oleh Sofyan (1999) bahwa produksi diartikan sebagai suatu kegiatan atau proses
yang mentransformasikan masukan menjadi keluaran atau dengan pengertian bahwa produksi
mencakup setiap proses yang mengubah masukan menjadi keluaran yang berupa barang
dan jasa.
Produksi
sebagai suatu proses, diartikan sebagai cara, metode ataupun teknik bagaimana
produksi itu dilaksanakan atau suatu kegiatan untuk menciptakan dan menambah
kegunaan (Utility) suatu barang dan jasa. Ahyari (1990) mengemukakan
bahwa proses produksi adalah suatu cara, metode ataupun teknik menambah
kegunaan suatu barang dan jasa dengan menggunakan faktor produksi yang ada.
Melihat
berbagai definisi yang telah diungkapkan di atas, maka dapat dirumuskan bahwa
proses produksi dalam konteks kewirausahaan adalah merupakan kegiatan untuk menciptakan
atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan menggunakan faktor-faktor
produksi seperti tenaga kerja, mesin, bahan baku dan dana, agar menghasilkan
produk yang dibutuhkan dan sesuai dengan yang diharapkan oleh konsumen.
5.3 Kebutuhan Proses Produksi
Sebelum
melaksanakan proses produksi terlebih dahulu perlu dirancang kebutuhan sarana
dan prasarana yang akan digunakan dalam menghasilkan produk, sarana dan prasarana
inilah yang sering disebut sebagai input produksi yang meliputi bahan, tenaga kerja,
mesin/peralatan, lokasi dan biaya (uang).
1.
Bahan Baku
Dalam
menyusun kebutuhan bahan baku untuk digunakan dalam proses produksi harus
mengacu pada karakteristik produk yang akan dihasilkan. Misalnya saja, jika berdasarkan
analisis yang telah dilakukan terhadap pasar produk yang akan dihasilkan, konsumen
menginginkan produk yang rasanya manis dan berwarna merah, tentunya bahan yang
dibutuhkan dalam proses produksi adalah gula dan pewarna merah.
Dengan
demikian, kualitas produk yang akan dihasilkan sesuai dengan permintaan
konsumen, sangat ditentukan oleh kualitas bahan baku yang digunakan. Ini yang
menjadi alasan mengapa perusahaan perlu melakukan penanganan bahan baku,
terutama dalam mengendalikan kualitas untuk menghasilkan produk yang
berkualitas. Pengendalian dalam pengadaan bahan baku terutama pada
perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan hasil-hasil pertanian primer sebagai
bahan bakunya sangat penting untuk dilakukan, karena hasil pertanian primer
memiliki ciri yang apabila tidak dikendalikan akan mendatangkan kerugian bagi
perusahaan.
Jenis
bahan yang digunakan oleh perusahaan dalam proses produksinya dapat dibedakan
menjadi bahan langsung dan bahan tak langsung. Bahan langsung adalah
bahan yang digunakan dalam proses produksi dan terikat atau menjadi bagian
dalam produk. Sedangkan bahan tak langsung adalah bahan yang bukan atau
tidak menjadi bagian dalam produk, namun sangat diperlukan untuk mendukung
produksi. Agar produksi dapat berjalan lancar, maka dalam pemilihan bahan baku
yang akan digunakan setidaknya memenuhi syarat:
a. Kualitasnya Baik
Sebagaimana
yang telah dikemukakan, bahwa untuk memperoleh kualitas produk yang baik,
diperlukan bahan yang juga berkualitas baik. Selain itu, penggunaan bahan baku yang
berkualitas memungkinkan untuk melakukan penyimpanan dalam jangka waktu yang
lama. Dengan demikian, perusahaan dapat melakukan pembelian dalam jumlah yang
besar, sehingga interval pembelian dapat diperjarang yang berarti perusahaan dapat
menekan biaya pengangkutan. Selain itu, biasanya perusahaan akan mendapat harga
bahan yang relatif rendah dari pemasok jika pembelian dilakukan dalam jumlah yang
besar. Ini berarti perusahaan dapat menekan biaya pembelian.
b. Mudah diperoleh
Selain
aspek kualitas, kelancaran proses produksi juga sangat ditentukan oleh ketersediaan
bahan baku dari aspek kuantitas dan kontinyuitasnya. Ini berarti bahwa bahan
baku yang dibutuhkan dalam berproduksi harus dapat diperoleh setiap saat dalam jumlah
yang sesuai dengan kebutuhan.
c.
Mudah diolah
Bahan
baku yang digunakan sedapat mungkin mudah diolah, karena bahan baku yang sulit
diolah biasanya memiliki konsekuensi terhadap biaya produksi dan pada akhirnya juga
akan berpengaruh pada harga jual produk. Apabila bahan baku dapat diolah dengan
mudah, kemungkinan besar biaya produksi akan lebih ringan ketimbang
pengolahanbahan baku tersebut dilakukan dengan peralatan yang sulit dicari atau
harganya mahal atau harus diolah di tempat/perusahaan lain. Sebagai contoh,
apabila perusahaan menggunakan bahan baku tepung beras, maka lebih baik
perusahaan membeli bahan yang telah berbentuk tepung beras daripada membeli
beras yang kemudian diolah sendiri menjadi tepung beras.
d.
Harga yang relatif murah
Bahan
baku yang akan digunakan dalam proses produksi sedapat mungkin juga harus relatif
murah. Dalam artian bahwa bahan baku yang dibutuhkan harganya tidak melebihi
harga yang berlaku di pasara secara umum. Konsekuensi dari tingkat harga bahan
baku yang murah tentunya pada tingkat biaya produksi yang rendah dan pada akhirnya
harga jual dapat lebih rendah dibandingkan dengan pesaing.
2.
Tenaga Kerja
Tenaga
kerja atau sumberdaya manusia merupakan asset penting perusahaan. Dalam proses
produksi, tenaga kerja merupakan penggerak berjalannya proses produksi. Meskipun
bahan baku yang digunakan telah memenuhi standar kualitas, peralatan yang digunakan
telah memadai, jika tenaga kerja yang menjalankan operasional produksi
tidaksesuai dalam hal jumlah dan kualifikasi yang diharapkan, maka mustahil
perusahaan dapat menghasilkan produk yang berkualitas sebagaimana yang
diharapkan oleh konsumen dan perusahaan. Meskipun tenaga kerja dianggap sebagai
salah satu faktor penting dalam aktifitas proses produksi perusahaan, namun
kadang dalam operasional perusahaan, hal ini sering dikesampingkan, terutama
yang terkait dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Pertimbangan yang sering
digunakan adalah mudahnya untuk mendapatkan tenaga kerja dengan alasan bahwa
setiap orang dianggap membutuhkan pekerjaan.
Kondisi
yang demikian menyebabkan banyaknya tenaga kerja produksi yang dipekerjakan
pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki.
Ada
dua jenis tenaga kerja ini memiliki karakteristik masing-masing, sebagaimana
diuraikan berikut ini.
1. Tenaga kerja upahan
Tenaga
kerja yang terikat hubungan kerja dengan perusahaan, dimana masing-masing pihak
memiliki hak dan kewajiban. Tenaga kerja upahan dapat digolongkan atas:
a. Tenaga
kerja tetap,
merupakan tenaga kerja yang secara teratur memperoleh hakhaknya seperti upah
dan cuti, meskipun mereka tidak bekerja karena sesuatu hal yang tidak melanggar
ketentuan dalam perusahaan. Tenaga kerja golongan ini secara hukum memiliki
kekuatan, olehnya itu perusahaan tidak dapat berlaku sewenang wenang terhadapnya,
misalnya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.
b. Tenaga kerja tidak tetap adalah tenaga kerja yang tidak
memiliki hak dan kewajiban secara teratur, umumnya mereka akan kehilangan hak
tertentu apabila tidak bekerja.
c. Tenaga kerja borongan adalah tenaga kerja yang
menjalankan pekerjaan tertentu atas perjanjian dengan ketentuan yang jelas
mengenai volume, waktu dan harga pekerjaan.
2. Tenaga kerja keluarga
Merupakan
tenaga kerja yang berasal dari lingkungan keluarga yang umumnya dalam melaksanakan
pekerjaannya tidak diupah. Tenaga kerja jenis ini banyak digunakan pada
perusahaan-perusahaan kecil atau perusahaan yang masih berskala usaha rumah tangga.
Umumnya tenaga kerja keluarga bekerja hanya sebatas tanggung jawab dalam membantu
keluarga. Namun banyak juga dijumpai anggota keluarga yang bekerja di perusahaan
mendapat upah, meskipun upah yang diberikan tidak sama dengan tenaga kerja yang
bukan anggota keluarga. Kebutuhan tenaga kerja yang memiliki kemampuan,
pengetahuan dan keahlian yang kompeten adalah kebutuhan yang fundamental bagi
perusahaan.
5.4 Proses Produksi
Dihasilkannya
produk sesuai dengan jumlah dan mutu yang diharapkan oleh pasar dan perusahaan,
selain ditentukan oleh input sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, juga
sangat ditentukan oleh kegiatan yang dilaksanakan selama proses pembuatan
produk berlangsung yang dikenal dengan istilah proses produksi. Proses produksi
melalui beberapa tahapan yang merupakan aktifitas menyeluruh yang dilakukan oleh
tenaga kerja produksi yang membuat produk, tahapan-tahapan ini disebut tahapan produksi.
Tahapan-tahapan
produksi yang tersusun secara teratur disebut aliran produksi. Penggolongan
proses produksi berkaitan dengan sifat dan jenis masukan yang digunakan dan
produk yang akan dihasilkan. Olehnya itu, proses produksi dapat dibedakan atas:
1.
Proses
produksi berdasarkan wujudnya, terdiri atas:
a. Proses kimiawi, yaitu proses pengolahan
bahan menjadi produk dengan mendasarkan pada sifat kimiawi bahan yang diolah.
b. Proses mengubah bentuk, yaitu proses pengolahan
bahan menjadi produk jadi atau setengah jadi dengan cara mengubah bentuk bahan
menjadi bentuk yang lebih bermanfaat.
c. Proses perakitan, yaitu proses menggabungkan
komponen-komponen produk menjadi produk yang lebih bermanfaat.
d. Proses transportasi, yaitu proses
memindahkan sumber atau produk dari tempat asal ke tempat dimana produk
tersebut dibutuhkan.
2.
Proses
produksi berdasarkan tipenya, terdiri atas:
a. Proses berkesinambungan, dimana arus masukan
berlangsung terus melalui sistem produksi yang telah distandarisasi untuk
menghasilkan produk yang homogen. Bentuk produk yang dihasilkan bersifat
standar dan tidak tergantung pada spesifikasi pemesan. Tujuan produksi umumnya
untuk persediaan kemudian dipasarkan.
b. Proses terputus-putus, proses yang biasanya
menghasilkan produk yang berbedabeda, prosedur yang berbeda-beda dan bahkan
kadang dengan masukan yang berbeda-beda. Bentuk produknya disesuaikan dengan
pesanan konsumen. Tujuan produksi adalah untuk melayani pesanan konsumen.
5.5 Pengendalian Produksi
Setelah
menentukan spesifikasi produk yang akan dihasilkan, merancang proses dan sistem
produksi, maka perlu mengorganisasikan seluruh sumberdaya yang dimiliki oleh
perusahaan untuk pengendalian produksi. Pengendalian produksi, meliputi:
1.
Pengendalian
pembelian,
agar pembelian yang dilakukan oleh perusahaan terkait dengan proses produksi
lebih efisien (hemat biaya). Dalam pengendalian pembelian ini melibatkan
beberapa faktor yang saling terkait, yaitu kuantitas, kualitas, harga, waktu dan
pelayanan.
2.
Pengendalian
Persediaan, perlu
dilakukan agar biaya yang dikeluarkan untuk penyimpanan dapat dikendalikan.
3.
Pengendalian
produksi,
agar proses produksi dapat berjalan lancar, tepat waktu dan menghasilkan produk
dalam kuantitas dan kualitas yang sesuai dengan yang direncanakan.
4.
Pengendalian
Kualitas,
yang dilakukan pada setiap tahapan proses yang bertujuan untuk mencegah adanya
penyimpangan terhadap standar kualitas produk yang telah ditetapkan (quality
control).
BAB VI
ASPEK PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
6.1 Sasaran Pembelajaran
Setelah
mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah mampu merancang
kebutuhan dan proses pengendalian dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat
aktifitas perusahaan.
6.2 Ekonomi versus Lingkungan
Siapapun
mungkin akan sepakat bahwa ekonomi selalu menekankan adanya pertumbuhan, karena
ekonomi yang sehat adalah ekonomi yang bertumbuh. Predikat “baik” secara mikro
dapat diberikan kepada perusahaan yang dapat memperoleh capaian laba yang lebih
besar tahun ini dibanding tahun lalu, atau secara makro sebuah wilayah memperoleh
capaian Product Domestic Bruto (PDB) tahun ini lebih besar dari tahun
lalu.
Namun
pertumbuhan ekonomi tidak dapat dibenarkan (mungkin juga oleh siapapun) dengan
menjadikan lingkungan sebagai “tumbal” untuk mencapainya. Masalah lingkungan
telah lama menjadi perhatian, sejak orang-orang Amerika memperbincangkan
kegagalan pembangunan dalam mengantisipasi masalah lingkungan pada pertemuan
berthema “Teknologi yang Tak Perduli” di tahun 60-an. Berlanjut dari keresahan-keresahan
akan masalah lingkungan, pada tahun 1972 sebuah perkumpulan di Roma mengeluarkan
suatu laporan bahwa pertumbuhan ekonomi tidaklah berjalan tanpa batas oleh
karena adanya kendala penyediaan sumberdaya alam dan pencemaran. Gerakangerakan
lingkungan menarik perhatian dunia saat itu, sehingga pada tanggal 5 – 16 Juni 1972
di Kota Stockholom diadakan pertemuan dunia yang khusus membicarakan lingkungan
dan menghasilkan berbagai aturan yang berhubungan dengan lingkungan, termasuk
penetapan 5 Juni sebagai hari lingkungan (environmental day).
Kualitas
lingkungan yang semakin menurun saat ini telah mengancam
kelangsungan hidup manusia dan
mahluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan dan
pengelolaan yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh seluruh pihak. Lingkungan
yang lestari adalah adalah hak asasi seluruh manusia, sehingga jangan karena dalih
pembangunan ekonomi, kelestarian lingkungan menjadi terancam. Pembangunan ekonomi
nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 harus senantiasa diselenggarakan
berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Konsep
pembangunan berkelanjutan ini menurut Bertens (2000) merupakan penengah antara
kepentingan pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Konsep ini pertama
kali di perkenalkan oleh World Commision on Enviroment and Development (WCED)
pada tahun 1987 dengan mendefenisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dari generasi sekarang tanpa membahayakan kesanggupan generasigenerasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
Dalam
penjelasannya dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi selalu harus memanfaatkan sumberdaya
alam sedemikian rupa, sehingga generasi-generasi setelah kita dapat melanjutkan
pembangunan yang kita jalankan sekarang. Implikasinya bahwa setiap generasi
harus mewariskan lingkungan hidup yang sehat dan utuh dengan sumberdaya alam
secukupnya kepada generasi berikutnya. Pertentangan antara mereka yang
menomorsatukan lingkungan hidup (the environmentalists) dan
mereka yang menomorsatukan ekonomi berdasarkan teknologi maju (the
industrialists) dapat diperdamaikan dengan wawasan “pembangunan berkelanjutan”,
sehingga yang satu tidak perlu dikorbankan kepada yang lain. Meskipun secara
konseptual, pembangunan berkelanjutan menyediakan pegangan yang seimbang , secara
praktis tetap menemui kesulitan, terutama berkaitan dengan adanya
kepentingankepentingan nasional suatu negara. Namun, kesulitan tersebut dapat
dirundingkan dengan tercapainya konsensus untuk bersama-sama melestarikan
lingkungan hidup, demi masa depan bumi kita. Konsensus ini di wujudkan pada
Konferensi Tingkat Tinggi/KTT Bumi (United Nations Confrence on Environment
and Development) di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992 yang merupakan
konfrensi PBB yang pertama kali dalam sejarah berhasil mengumpulkan 110 kepala
negara untuk mewujudkan sustainable development.
KTT
Bumi 1992 telah menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles dan
Konvensi Perubahan Iklim (Climate Change) dan Keanekaragaman Hayati (Biodiversity).
KTT Bumi juga menghasilkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan yang mengandung 3 pilar
utama yang saling terkait dan saling menunjang yakni pembangunan ekonomi, pembangunan
sosial dan pelestarian lingkungan hidup. Meskipun telah dirumuskan konsensus,
namun menurut Keraf (2002) paradigma pembangunan berkelanjutan belum banyak
diimplementasikan, bahkan belum luas dipahami dan diketahui sebagai memuat
prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan.
Krisis lingkungan masih tetap saja terjadi sebagai alasan untuk menilai bahwa
paradigma pembangunan berkelanjutan itu tidak jalan. Penyebabnya adalah karena
paradigma tersebut kembali menegaskan ideologi developmentalisme. Lebih
lanjut dikatakan bahwa apa yang dicapai pada KTT tersebut hanyalah merupakan
sebuah kompromi yang mengunggulkan kembali pembangunan dengan fokus utama
berupa pertumbuhan ekonomi.
Terlepas
dari anggapan tersebut, suatu hal yang positif karena telah ada komitmen dan
upaya yang dilakukan pemerintah di berbagai belahan dunia untuk mengatasi
dampak lingkungan. Yang paling penting adalah dibutuhkan kedisiplinan baik dari
pemerintah maupun masyarakat dunia. Perlu dicatat bahwa setelah KTT di Rio De
Jeneiro, KTT Bumi dilaksanakan secara rutin yang dimulai di Berlin-Jerman
(1995), Jenewa-Swiss (1996), Kyoto-Jepang (1997), Buenos Aires-Argentina
(1998), Bonn-Jerman (1999), Hague- Belanda (2000), Marrakesh-Maroko (2001), New
Delhi-India (2002), Milan-Italia (2003), Buenos Aires-Argentina (2004),
Montreal-Kanada (2005), Nairobi-Kenya (2006), Bali- Indonesia (2007),
Poznan-Polandia (2008), Kopenhagen-Denmark (2009), Nagoya-jepang (2010) dan
Durban-Afrika Selatan (2011). Berbagai pertemuan tersebut telah berhasil merumuskan
kesepakatan-kesepakatan yang tentunya dapat bermanfaat bagi kelestarian bumi.
6.3 Aktifitas Perusahaan dan Dampaknya Terhadap
Lingkungan
Kegiatan
berwirausaha merupakan kegiatan sosial dan sekaligus merupakan kegiatan
ekonomi. Aktifitas perusahaan melibatkan interaksi antar-manusia dan interaksi manusia
dengan alam melalui berbagai aktifitas seperti mengadakan input dari pemasok dan/atau
langsung dari alam, melakukan produksi, mempekerjakan orang, melakukan transaksi
dan berbagai aktifitas lainnya yang bertujuan untuk memperoleh laba.
Karena
perusahaan dapat berjalan melalui interaksi manusia dengan manusia dan manusia
dengan alam, berarti perolehan laba dalam perusahaan tidak boleh bersifat
sepihak, namun diadakan dalam konteks menguntungkan kedua belah pihak yang
berinteraksi. Dampak yang paling nyata terlihat sebagai akibat dari aktifitas
perusahaan (baik yang berskala besar, maupun kecil) adalah dampak bio-fisik
berupa pencemaran. Adanya pencemaran terhadap lingkungan diakibatkan oleh
pembuangan limbah sebagai bahan yang tidak terpakai dalam aktifitas perusahaan
yang dapat berbentuk padat, cair ataupun gas. Malah ada yang berpendapat dengan
menambahkan kebisingan yang ditimbulkan oleh aktifitas perusahaan sebagai
limbah suara.
Dari
berbagai jenis limbah yang dihasilkan oleh aktifitas perusahaan, limbah yang paling
berbahaya bagi lingkungan hidup adalah limbah yang digolongkan mengandung bahan
berbahaya dan beracun (B3). Limbah jenis B3 ini merupakan zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan
hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan
hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Pembuangan
limbah hasil aktifitas perusahaan secara tidak bijaksana, mungkin tidak
disadari oleh wirausahawan akan berdampak negatif terhadap lingkungan. Karena dampaknya
tidak dapat dirasakan saat ini, namun umumnya akan dirasakan di masa yang akan
datang. Mungkin juga tidak disadari bahwa adanya tanggung jawab terhadap kelestarian
lingkungan, tidak hanya untuk kepentingan lingkungan itu sendiri, namun juga untuk
kepentingan perusahaan dalam jangka panjang.
Cukup
banyak fakta yang menunjukkan bahwa banyaknya perusahaan yang mengalami
kerugian yang besar, bahkan dinyatakan failit, oleh karena besarnya biaya yang
harus dikeluarkan untuk mengganti biaya kerugian yang diakibatkan oleh
kekurangpeduliannya dalam mengantisipasi kemungkinan dampak lingkungan yang
akan ditimbulkan dari aktifitas perusahaannya. Pembuangan limbah produksi ke
alam secara tidak bijaksana dapat menyebabkan pencemaran air dan tanah serta
polusi udara. Saat ini, berbagai masalah lingkungan biofisik sudah mencapai
taraf global, dalam artian tidak hanya mencakup satu wilayah saja.
Ada
beberapa masalah lingkungan yang menjadi ancaman global diantaranya akumulasi bahan
beracun, efek rumah kaca, rusaknya lapisan ozon, hujan asam, penggurunan serta berkurangnya
keanekaan hayati. Masalah-masalah tersebut timbul akibat aktifitas (umumnya
ekonomi) yang terakumulasi dan sudah berlangsung sejak lama.
Dalam
hal dampaknya terhadap lingkungan sosial budaya, biasanya aktifitas usaha juga
memberikan pengaruh langsung maupun tidak langsung. Dalam operasional usaha, wirausahawan
akan berhubungan dengan berbagai stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan),
baik internal seperti karyawan, maupun eksternal seperti pemasok, pemasar,
pemerintah, dan masyarakat konsumen. Keberhasilan mengelola usaha dapat diukur
dengan melihat sampai sejauhmana hubungan perusahaan dengan para stakeholders
tersebut.
Tentunya
dalam menjalankan aktifitas usahanya, seorang pengusaha tidak hanya memikirkan
keuntungan sendiri, namun juga harus memikirkan kepentingan pihak-pihak lain
tersebut. Untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah
perusahaan, seharusnya setiap perusahaan telah memiliki unit-unit pengolahan
limbah sebelum limbah dibuang ke lingkungan. Undang-Undang No. No. 32 Tahun
2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah mengatur bahwa
setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup,
tetapi dengan persyaratan telah memenuhi baku mutu lingkungan hidup dan
mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya. Undang-undang ini juga mengatur baku mutu lingkungan hidup untuk
menentukan terjadinya pencemaran lingkungan yang diukur berdasarkan baku mutu
air, air limbah, air laut, udara ambien, emisi, gangguan dan lainnya sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
6.4
Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap
Lingkungan
Berbagai
kasus lingkungan yang terjadi tidak dapat dipungkiri sebagian besar karena
perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan diri sendiri.
Jika ditinjau lebih jauh, terjadinya krisis lingkungan global pada dasarnya
menurut Keraf (2002) bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam
pemahaman atau cara pandang serta pola perilaku manusia mengenai dirinya, alam
dan keseluruhan ekosistem.
Kesalahan
cara pandang ini bermula dari etika antroposentrisme yang memandang manusia
sebagai pusat dari alam semesta. Hanya manusia yang memiliki nilai, manusia adalah
penguasa alam sehingga bebas melakukan apa saja, sementara alam dan segala isinya
hanyalah sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.
Cara
pandang ini melahirkan sikap perilaku eksploitatif tanpa memperdulikan alam dan
segala isinya. Terdapat tiga kesalahan fundamental dari cara pandang ini: Pertama
adalah manusia hanya dipahami sebagai mahluk sosial (social animal)
yang eksistensi dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya dalam pengertian bahwa
manusia berkembang menjadi dirinya dalam interaksi dengan sesama manusia di
dalam komunitas sosialnya; Kedua, bahwa etika hanya berlaku bagi
komunitas sosial manusia atau dalam artian bahwa norma dan nilai moral hanya
dibatasi keberlakuannya bagi manusia, sementara bagi mahluk lain di luar
manusia tidak berlaku; dan Ketiga, cara pandang ini diperkuat oleh paradigma
ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang memisahkan alam sebagai obyek dan
manusia sebagai subyek dan memisahkan secara tegas antara fakta dan nilai.
Cara
pandang antroposentrisme dikritik tajam oleh etika biosentrisme dan
ekosentrisme yang memiliki cara pandang bahwa manusia tidak hanya dipandang
sebagai mahluk sosial. Manusia harus dipandang terlebih dahulu sebagai mahluk
biologis dan ekologis. Kehidupan manusia tidak hanya tergantung pada sesamanya
(komunitas sosial), tetapi juga terkait dengan semua kehidupan lain di alam
semesta. Dari pemahaman kedua etika ini, sehingga tanggung jawab moral tidak
lagi hanya dibatasi pada hubungan manusia dengan manusia lainnya dan
komunitasnya, tetapi juga berlaku berlaku bagi semua mahluk hidup dan
lingkungannya.
Pembahasan
mengenai etika sebagaimana yang telah dikemukakan di atas terkait hubungan
manusia dengan manusia, dan manusia dengan mahluk lain serta lingkungannya. Bagaimana
halnya dengan perusahaan, apakah perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral
seperti manusia? Jika ada yang berpendapat bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab
legal, mungkin jawabannya sudah pasti dan tidak diragukan lagi. Karena
perusahaan sebagai badan hukum pastilah memiliki status legal, mempunyai hak
dan kewajiban legal sebagaimana manusia dewasa seperti menuntut dan dituntut di
pengadilan, memiliki, melakukan kontrak dan sebagainya. Seperti subyek hukum
yang biasa (manusia perorangan), perusahaan pun harus menaati peraturan hukum.
Menurut
George (1999), terdapat dua pandangan tentang status legal perusahaan, yaitu:,
perusahaan sepenuhnya ciptaan hukum, karena itu ada hanya berdasarkan hukum (Legal-creator)
dan pandangan bahwa suatu usaha bebas dan produktif (Legal-recognition).
Namun jika dipertanyakan apakah perusahaan memiliki tanggung jawab moral, mungkin
pertanyaan ini akan sulit untuk dijawab. Supaya memiliki tanggung jawab moral, perusahaan
perlu berstatus moral atau merupakan pelaku moral yang bisa melakukan tindakan
etis atau tidak etis. Apakah perusahaan dapat melakukan tindakan etis atau
tidak etis sebagaimana manusia? Jika manusia sebagai pelaku moral memiliki hati
nurani, apakah perusahaan juga demikian? Dalam menjawab pertanyaan ini, ada
argumen pro dan kontra.
Di
satu pihak harus diakui bahwa hanya manusia perorangan yang memiliki
kebebasan untuk mengambil
keputusan, dan akibatnya hanya manusia peroranganlah yang dapat memikul
tanggung jawab. Di lain pihak, sulit juga menerima pandangan bahwa perusahaan
hanyalah semacam benda mati yang dikemudikan oleh para manajer. Terdapat banyak
pertanda yang menunjukkan bahwa perusahaan juga memiliki “kepribadian” tersendiri,
perusahaan bisa tumbuh, bisa menjalankan pengaruh atas politik lokal, dan pertanda
lainnya yang tidak dimiliki oleh benda mati.
Seluruh
perdebatan pro-kontra tidaklah begitu penting dibahas karena hanya memiliki
makna teoritis saja dan tidak memiliki konsekuensi untuk praktek berwirausaha. Seandainya
perusahaan --tidak termasuk orang-orang yang terlibat di dalamnya—tidak merupakan
pelaku moral dan karena itu tidak dapat memikul tanggung jawab moral, namun
masih terdapat wirausahawan sebagai pimpinan perusahaan dan pastilah sebagai manusia
mereka merupakan pelaku moral dan tentunya memikul tanggung jawab moral atas
keputusan yang mereka ambil. Ada baiknya kita sepakati bahwa karena perusahaan dijalankan
oleh manusia, maka kita dapat berkesimpulan bahwa perusahaan juga memiliki tanggung
jawab moral. Segala keputusan yang diambil dalam perusahaan, tentunya memiliki
konsekuensi tanggung jawab oleh wirausahawan sebagai manusia yang menjalankannya.
Kembali
ke pembahasan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan bio-fisik dan
sosial sosial budaya adalah terkait pada upaya yang dilakukan wirausahawan
dalam mengendalikan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
Upaya-upaya tersebut meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Salah
satu bentuk tanggung jawab perusahaan –t erutama yang memiliki kecenderungan
berdampak penting terhadap lingkungan-- dalam melakukan upaya pencegahan
sebelum menjalankan aktifitasnya adalah memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
hidup (amdal). Sebagaimana yang diatur dalam undang-undang bahwa setiap perusahaan
yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
Amdal
merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan
pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dampak penting yang dimaksud ditentukan
berdasarkan kriteria: besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana
usaha dan/atau kegiatan, luas wilayah penyebaran dampak, intensitas dan lamanya
dampak berlangsung, banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak,
sifat kumulatif dampak, berbalik atau tidak berbaliknya dampak, dan/atau
kriteria lain sesuai denga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kriteria usaha dan/atau kegiatan berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan
amdal terdiri atas:
1.
pengubahan
bentuk lahan dan bentang alam
2.
eksploitasi
sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan
3.
Proses
dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam
pemanfaatannya
4.
Proses
dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya
5.
Proses dan kegiatan yang hasilnya akan
mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau
perlindungan cagar budaya
6.
Introduksi
jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik
7.
Pembuatan
dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati
8.
Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau
mempengaruhi pertahanan negara
9.
dan/atau
penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi
lingkungan hidup.
BAB VII
ASPEK ORGANISASI DAN MANAJEMEN
7.1 Sasaran Pembelajaran
Setelah
mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah akan dapat merancang
kebutuhan organisasi dan manajemen perusahaan.
7.2 Defenisi Organisasi dan Manajemen
Organisasi
adalah sekelompok orang (dua atau lebih) yang secara formal dipersatukan dalam
suatu bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dari
defenisi tersebut dapat disebutkan bahwa organisai mengandung berbagai unsur
yang terdiri dari dua orang atau lebih, ada kerjasama diantara orang-orang yang
tergabung di dalamnya, dan memiliki tujuan bersama. Sedangkan manajemen
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan kerjasama di antara
semua sumberdaya yang terlibat dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Jika membaca berbagai literatur manajemen, defenisi manajemen
oleh para ahli cukup beragam. Namun jika ditelusuri lebih jauh, maka akan
ditemukan bahwa istilah manajemen mengandung tiga pengertian yaitu:
1.
Manajemen
sebagai suatu proses
2.
Manajemen
sebagai kolektivitas orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen
3.
Manajemen
sebagai suatu seni (art) dan sebagai suatu ilmu pengetahuan (science)
Meskipun
demikian, dari berbagai defenisi mengenai manajemen yang dikemukakan oleh ahli,
hampir semua menekankan pada pengendalian dan pendayagunaan berbagai sumberdaya
organisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Dari uraian yang telah dikemukakan,
maka dapat dikatakan bahwa hal yang berbeda antara organisasi dan manajemen
adalah organisasi sebagai alat atau wadah sekelompok orang dalam mencapai
tujuan tertentu, sedangkan manajemen lebih mengarah kepada pengaturan atau
pengelolaan untuk mencapai tujuan tersebut.
Pada
dasarnya penerapan manajemen dalam organisasi adalah terkait dengan fungsi-fungsi
manajemen. Berbagai pendapat ahli juga berbeda-beda mengenai jenis fungsi-fungsi
manajemen, diantaranya dikemukakan, sebagai berikut:
1.
George
R. Terry : planning, organizing, staffing, motivating, dan controlling.
2.
Henry
Fayol : planning, organizing, commanding, coordinating, dan controlling.
3.
Luther
Gullich : planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting,
dan budgeting.
4.
Ernest
Dale : planning, organizing, staffing, directing, innovating, representing, dan
controling
Tanpa
bermaksud mengabaikan pendapat para ahli tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa
pada dasarnya fungsi-fungsi manajemen terdiri dari perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan
pengawasan (controlling). Secara garis besarnya fungsi-fungsi manajemen
ini dapat disederhanakan lagi menjadi tiga kelompok fungsi utama, yakni
perencanaan (planning), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan (controlling).
7.3 Organisasi Perusahaan
Terkait
dengan kebutuhan organisasi perusahaan, beberapa hal yang perlu
dirancang, yakni visi dan misi
perusahaan, struktur organisasi perusahaan, bentuk organisasi perusahaan, serta
perizinan organisasi perusahaan, sebagaimana yang diuraikan berikut ini.
1.
Visi dan Misi Perusahaan
Lingkungan
di mana perusahaan berada dan segala aktifitasnya dilaksanakan senantiasa
berubah, dan untuk mampu bertahan di lingkungan tersebut, seorang wirausahawan
dituntut untuk harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan tersebut.
Perusahaan sebagai unit bisnis, harus fleksibel dan senantiasa mampu menyesuaikan
diri dengan perubahan-perubahan lingkungannya. Semakin dinamis lingkungan
sebuah perusahaan, maka semakin sulit untuk mengetahui dan mengantisipasi perubahan
yang diperlukan. Pertumbuhan dan perkembangan sebuah perusahaan dapat diketahui
apabila perusahaan tersebut memiliki arah tertentu yang akan dicapai dan secara
berkala dilakukan pengukuran capaian. Dari hasil pengukuran tersebut dapat
diketahui persoalan dan kendala yang dihadapi setiap saat, sehingga dengan
demikian yang dilakukan dalam upaya mengatasi persoalan dan kendala dapat lebih
spesifik dan terarah.
2.
Struktur Organisasi Perusahaan
melaksanakan
fungsi pengorganisasian sebagai fungsi manajemen perusahaan, wirausahawan
mengalokasikan keseluruhan sumberdaya perusahaan sesuai dengan perencanaan yang
telah dibuat berdasarkan kerangka kerja yang dinamakan desain organisasi
perusahaan. Bentuk Spesifik dari desain organisasi sebuah perusahaan dapat dilihat
dari struktur organisasi perusahaan tersebut. Dengan demikian, stuktur
organisasi pada dasarnya merupakan desain organisasi dimana wirausahawan
sebagai manajer melakukan alokasi sumberdaya perusahaan, terutama yang terkait
dengan pembagian kerja dan sumberdaya yang dimiliki, serta pengkoordinasian dan
pengkomunikasiannya.
Berbagai
literatur manajemen mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) pilar dalam yang
perlu di perhatikan dalam penyusunan struktur oganisasi, yakni:
1. Pembagian kerja (division of work),
sebagai upaya untuk menyederhanakan dari keseluruhan kegiatan dan pekerjaan
sebagaiman yang telah disusun dalam proses perencanaan menjadi lebih sederhana
dan spesifik dimana setiap orang akan ditempatkan dan ditugaskan untuk setiap
kegiatan pekerjaan. Kadangkala pembagian kerja disebut pula dengan pembagian tenaga
kerja, namun lebih sering digunakan dengan istilah pembagian kerja, karena yang
dibagi-bagi adalah pekerjaannya, bukan orangnya. Sebagai contoh, pembagian
kerja pada perusahaan perdagangan hasil pertanian, dapat dibagi menjadi
pekerjaan pengadaan/pembelian, grading, penyimpanan/pergudangan, kontrol
kualitas, pengemasan, penyaluran, bagian yang menangani keuangan, dan
sebagainya.
2.
Pengelompokan pekerjaan (departementalization),
merupakan proses pembagian dan penamaan bagian atau kelompok pekerjaan
berdasarkan kriteria tertentu. Ini dapat dilakukan apabila jenis-jenis
pekerjaan telah dispesifikkan. Sebagai contoh, untuk perusahaan perdagangan
hasil pertanian, pekerjaan pengadaan/pembelian dan grading dikelompokkan
menjadi Bagian Pengadaan Bahan, pekerjaan penyimpanan/pergudangan dan kontrol
kualitas dikelompokkan menjadi bagian Prosessing, bagian pengemasan dan
penyaluran dikelompokkan menjadi bagian pemasaran, dan seterusnya.
3.
Penentuan relasi antar-bagian dalam
organisasi (hierarchy), merupakan proses penentuan relasi antar bagian dalam organisasi,
baik secara vertikal maupun secara horisontal. Terdapat dua konsep penting
dalam hal ini, yaitu: 1) Span of management terkait dengan jumlah
orang atau bagian di bawah suatu bagian yang akan bertanggung jawab kepada
bagian tertentu, dan 2) Chain of command yang menunjukkan garis perintah
dalam sebuah organisasi dari hierarki yang paling tinggi hingga hirarki yang
paling rendah, dan juga menjelaskan bagaimana batasan kewenangan dibuat dan
siapa dan bagian mana akan melapor ke bagian mana.
4.
Kordinasi (coordination),
proses dalam mengintegrasikan seluruh aktifitas dari berbagai bagian dalam
organisasi agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif.
Struktur
organisasi yang dirancang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan,
bagian-bagian mana yang perlu ada dan bagian-bagian mana yang tidak perlu dibentuk.
Bentuk strukturnya pun bisa dibuat sesuai kebutuhan perusahaan. Terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi struktur organisasi, yaitu:
1. Strategi Perusahaan
Untuk
mewujudkan visi dan misi perusahaan, maka disusun strategi yang perlu dilakukan
oleh perusahaan untuk mencapainya. Strategi ini selanjutnya dijabarkan dalam
berbagai sasaran perusahaan. Untuk mencapai sasaran-sasaran perusahaan yang
telah ditetapkan tersebut, salah satu sarananya adalah melalui struktur
organisasi perusahaan. Oleh karenanya, struktur organisasi perusahaan harus
sesuai dengan sasaran perusahaan. Jika wirausahawan hendak melakukan perubahan
yang signifikan dalam strategi perusahaannya, struktur organisasi perlu juga
dimodifikasi menyesuaikan perubahan strategi.
2. Ukuran Organisasi Perusahaan
Semakin
besar organisasi sebuah perusahaan, semakin besar pula jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan, semakin luas cakupan wilayah yang dijangkau, dan bisa jadi membutuhkan
bermacam-macam spesialisasi pekerjaan. Dengan demikian struktur organisasinya
dibuat semakin kompleks mengikuti perkembangan ukuran perusahaan.
3. Teknologi
Teknologi
yang dimaksudkan adalah cara perusahaan mengubah masukan (input) menjadi
keluaran (output). Perusahaan yang menggunakan teknologi tradisional dan
sederhana, struktur organisasi yang dibutuhkan tidak sama dengan perusahaan yang
telah menggunakan teknologi moderen yang serba mekanis dan elektrik.
4. Lingkungan Perusahaan
Perkembangan
sebuah perusahaan tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada lingkungan
internal dan eksternal perusahaan itu sendiri. Sebagaimana yang sering
diutarakan pada bagian lain proses pembelajaran ini bahwa perusahaan menjalankan
aktifitasnya tidak semata-mata untuk mengejar laba, namun lebih daripada itu
adalah memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh stakeholdersnya.
Perlu disa dari bahwa setiap stakeholders, baik internal (manajemen dan
tenaga kerja), maupun ekternal (pesaing, pelanggan, pemasok, pemerintah,
masyarakat dan sebagainya), memiliki kekuatan serta berpengaruh terhadap
pelaksanaan kinerja dan perkembangan perusahaan.
7.4 Manajemen Perusahaan
Sebagaimana
yang telah dikemukakan pada awal pembahasan materi pembelajaran ini bahwa manajemen
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan kerjasama di antara
semua sumberdaya yang terlibat dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Hal ini juga berlaku pada sebuah perusahaan sebagai sebuah organisasi.
Manajemen perusahaan merupakan upaya pengendalian dan pendayagunaan berbagai
sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan perusahaan. Sumberdaya
perusahaan dari penjelasan di atas adalah merupakan sarana manajemen perusahaan
yang dikenal dengan istilah 6M, yakni Man (manusia), Money (uang),
Material (bahan), Machine (mesin/peralatan), Method (cara
kerja) dan Market (pasar).
Pemanfaatan sarana manajemen perusahaan ini
dibutuhkan teknik-teknik manajemen. Berikut ini diuraikan beberapa teknik
manajemen moderen dan penting untuk diketahui oleh seorang wirausahawan, yaitu:
1.
Management
by Delegation
Teknik
manajemen ini digunakan bila perusahaan semakin berkembang, dimana jumlah
tenaga kerja sudah cukup banyak, Bagian-bagian perusahaan agak banyak, telah
memiliki banyak cabang yang tidak hanya melayani pasar lokal saja. Kondisi ini
memungkinkan wirausahawan akan menghadapi kesulitan untuk melakukan pengawasan
secara langsung, meskipun pengawasan dan pengaturan perusahaan harus tetap
dilakukan. Teknik manajemen ini dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip
pendelegasian dan pengawasan pekerjaan dengan menggunakan asas perimbangan
antara tugas, kekuasaan dan tanggung jawab yang pendelegasiannya jelas dan
tegas. Kaderisasi pimpinan sangat diperlukan, karena apabila berhasil, maka
perusahaan akan memiliki tim manajemen yang efektif. Beberapa syarat
operasional yang harus dipenuhi untuk menjalankan teknik manajemen ini, yaitu:
a. Penugasan yang jelas dan
tegas, agar tidak terjadi keragu-raguan
b. Pelimpahan kekuasaan
(delegation authority) yang jelas batasannya, terutamayang berkaitan dengan
pengambilan keputusan
c. Pelimpahan tanggung jawab yang
jelas, dalam artian bahwa bidang usaha apadan stani pengecdar hasil yang
bagaimana yang diinginkan oleh pemberi delegasi.
2. Management by Exception
Teknik
ini merupakan kelanjutan dari management by delegation, namun penekanannya
pada penguasaan teknis pekerjaan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu,
manajer bagian harus mampu memimpin, memiliki mentalitas dan tanggung jawab,
memenuhi syarat teknis keahlian. Pengembangan struktur organisasi perusahaan
ditekankan pada prinsip komunikasi dan pada asas pertukaran informasi, karena
dalam menjalankan teknik manajemen ini, biasanya yang menjadi masalah pelik
adalah komunikasi dan kontrol.
3. Management by Objective
Cara
yang ditempuh dalam penerapan teknik manajemen ini adalah manajer berunding
dengan para bawahannya mengenai tujuan yang akan dicapai hingga dapat
ditetapkan sebagai sasaran perusahaan. Sasaran tersebut dapat berupa target penjualan
atau produksi yang selanjutnya dapat dipakai sebagai pedoman yang harus dicapai
oleh para manajer bawahan dan sekaligus dapat pula dipakai oleh manajer untuk
menilai prestasi bawahannya. Ada 3 (tiga) hal yang biasanya menjadi ukuran
prestasi, yaitu prodiktivitas kerja bawahan secara individu, efisiensi perusahaan
dan efektivitas pimpinan.
Penerapan
teknik manajemen ini biasanya akan menghasilkan prestasi yang meningkat karena
tujuan yang telah diterapkan jelas dan diketahui dengan baik oleh para manajer
bawahan, namun dengan peningkatan prestasi, timbul pula masalah yang menyangkut
penghargaan (remunerasi) yang tidak sesuai dengan prestasi yang tentunya akan
menimbulkan kekecewaan dari bawahan yang bersangkutan.
4. Management by Results
Teknik
manajemen ini dapat dilakukan oleh perusahaan dalam bentuk apa pun, asalkan
pimpinan perusahaan secara sadar menghadapkan dirinya pada tri-tugas ekonomi,
yaitu:
a. Perusahaan yang sekarang harus
dibuat seefektif mungkin, gaya prestasinya harus ditingkatkan secara maksimal.
b. Hal-hal yang potensial harus
ditemukan dan dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya.
c. Perusahaan harus menjadi
unggulan di masa yang akan datang. Disamping itu, wirausahawan harus
benar-benar memahami bahwa perusahaannya sebagai suatu sistem ekonomi yang
mampu berprestasi ekonomi, dan hubungan antara sumber-sumber yang tersedia dan
hasil yang dimungkinkan.
5. Management by System
Teknik
manajemen ini mengembangkan struktur organisasi menjadi suatu tata sistem,
dimana setiap sistem akan merupakan suatu kelompok aktifitas perusahaan yang
diikat satu sama lain melalui metode dan prosedur tata urutan dalam mengerjakan
atau menjalankan aktifitas tertentu. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan
cara ini adalah prosedur aktifitas organisasi dapat dikuasai dan ditertibkan.
Begitu pula efisiensi dapat ditingkatkan melalui penyeragaman normalisasi dan
standardisasi.
6. Management by Participation
Teknik
manajemen ini menekankan unsur partisipasi seluruh pihak yang ada pada perusahaan.
Teknik ini sering dikenal dengan istilah Total Quality Control (TQC), karena
dalam penerapannya banyak berorientasi pada perbaikan kualitas. Manajemen
partisipatif ini dapat dirumuskan sebagai suatu sistem untuk mengikutsertakan
seluruh pihak secara gotong royong dan musyawarah untuk mufakat dalam rangka
meningkatkan kualitas proses dan hasil kerja. Wujud nyata dari teknik ini
adalah dibentuknya gugus kendali mutu (Quality Control Circle/QCC di tiap-tiap
unit kerja yang ada dalam perusahaan. Dengan adanya kelompok gugus tersebut,
karyawan dapat berpartisipasi secara langsung dalam setiap pertemuan untuk
membahas dan memecahkan permasalahan yang menyangkut perbaikan kualitas dan
peningkatan produktivitas, kemudian hasilnya dipresentasikan kepada pimpinan
perusahaan. Penerapan teknik-teknik manajemen dalam perusahaan senantiasa
mengalam perkembangan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
BAB VIII
ASPEK KEUANGAN
8.1 Sasaran Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran
ini, mahasiswa peserta mata kuliah akan dapat merancang kebutuhan investasi dan
sumber-sumbernya serta menyusun rencana profitabilitas perusahaan.
8.2
Aspek Keuangan
Keuangan adalah kegiatan yang berhubungan dengan penentuan investasi jangka
panjang sebuah perusahaan, mendapatkan dana untuk membayar, dan memimpin
kegiatan keuangan harian sebuah perusahaan.
A.
Komponen-komponen Biaya
Secara umum dalam pelaksanaan proyek, komponen biaya dibagi atas:
1.
Biaya personil adalah
komponen-komponen biaya yang dikeluarkan untuk membayar honor dan gaji tim
kerja yang bekerja dengan kita. Hitung komponen biaya
berdasarkan kesepakatan dengan anggota tim, apakah akan berdasarkan
orang-jam/man-hour, oranghari/man-day atau orang-bulan/man-month. Masukkan
seluruh anggota tim kerja dari mulai Manajer Proyek sampai Office-boy
yang membantu kelancaran pekerjaan tim.
2.
Biaya nonpersonil adalah
komponen-komponen biaya yang harus dikeluarkan untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan proyek. Komponen-komponen biaya tersebut antara lain:
a.
Biaya Transportasi, Hitung
kebutuhan transportasi baik untuk di dalam kota maupun luar kota. Untuk
transportasi dalam kota dapat menggunakan perhitungan estimasi harga per
liter premium untuk per lima kilometer jarak.
b.
Biaya Allowance Penugasan Luar Kantor, Pada saat berangkat untuk penugasan luar kota tentunya
ada biaya tambahan untuk kita maupun tim kerja yang ditugaskan. Untuk
menghitung biaya allowance ini dapat menggunakan contoh sebagai berikut:+
Uang makan 3 kali sehari Rp 90.000,- (jika penugasan luar kota) + Biaya
komunikasi sehari Rp 15.000,-
c.
Biaya
Rutin adalah ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan rutin selama
kegiatan berlangsung seperti telepon, sambungan internet, korespondensi,
listrik, air, gas, keamanan, pemeliharaan, dan sebagainya.
d.
Biaya
Pemanfaatan Peralatan dan Sewa adalah ongkos-ongkos yang
harus dikeluarkan seperti sewa ruangan (kerja/produksi, presentasi dan
pelatihan), komputer, printer, kendaraan, dan sebagainya. Masukkan
seluruh komponen tersebut sekalipun tidak disampaikan kepada klien karena
biasanya mereka menolak untuk membayar beban-beban tersebut.
e.
Biaya
Belanja Barang Pakai Habis adalah biaya yang harus dikeluarkan
untuk membeli barang-barang seperti kertas, alat tulis kantor, tinta
printer, disket, CD/DVD, dan sebagainya.
f.
Biaya
Penyusunan Laporan adalah biaya yang harus dikeluarkan
dalam penyusunan laporan kegiatan dan modul user manual dari misalnya:
proyek aplikasi perangkat lunak yang kita bangun. Perkirakan berapa biaya
yang habis untuk kerja orang yang mengetik dan mengeditnya, pencetakan,
pemaketan dan pengirimannya.
B.
Estimasi biaya
Definisi perkiraan biaya adalah seni memperkirakan kemungkinan jumlah biaya
yang diperlukan untuk suatu kegiatan yang didasarkan pada informasi yang
tersedia pada waktu itu (Iman Soeharto_National Estimating Society USA),
berdasarkan definisi, tersebut maka perkiraan biaya mempunyai pengertian
sebagai berikut :
1.
Perkiraan
biaya yaitu melihat, memperhitungkan dan mengadakan perkiraan atas hal-hal yang
akan terjadi selanjutnya
2.
Analisis
biaya yang berarti pengkajian dan pembahasan biaya yang pernah ada
yang digunakan sebagai informasi yang penting
C. Dasar-dasar Penyusunan
Anggaran
Budget (Anggaran) ialah suatu rencana yang disusun secara sistematis,
yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan (yang menimbulkan
penerimaan/hak dan juga pengeluaran/kewajiban), yang dinyatakan dalam unit
(kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka waktu / periode tertentu yang
akan datang.
1.
Rencana
tersebut memiliki spesifikasi- spesifikasi tertentu, seperti;
a. disusun secara sistematis,
b. mencakup seluruh kegiatan perusahaan, dan dinyatakan
dalam satuan moneter/uang
2. Meliputi seluruh kegiatan perusahaan :
a. Fungsi produksi
b. Fungsi pembelanjaan/keuangan
c. Fungsi administrasi
d. Fungsi pemasaran
e. Fungsi personalia
8.3 Kebutuhan Modal Perusahaan
Dalam
memulai sebuah bisnis tentunya dibutuhkan modal berupa uang tunai (kas) yang
nantinya akan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan di masa pra-operasi
dan masa komersial sebagaimana yang telah dirancang pada pembelajaran-pembelajaran
sebelumnya. Persoalan yang sering dihadapi oleh calon wirausahawan adalah
kesulitan dalam memperoleh modal awal yang akan diinvestasikan untuk mewujudkan
perusahaan yang dirancangnya.
Modal
yang digunakan dalam menjalankan perusahaan terdiri dari modal investasi dan
modal kerja yang penjelasannya akan diuraikan, sebagai berikut:
1. Modal Investasi
Modal
investasi adalah modal yang digunakan untuk pengadaan dan perbaikan sumberdaya
yang meliputi harta tetap perusahaan, seperti pembelian lahan dan bangunan,
peralatan dan mesin produksi, alat transportasi, perekrutan dan seleksi tenaga
kerja, dan sebagainya. Pada dasarnya, semua biaya yang dikeluarkan selama perusahaan
belum beroperasi dapat digolongkan ke dalam modal investasi, sepanjang biaya
tersebut terikat dalam harta tetap perusahaan untuk jangka waktu yang lama
(>1 tahun). Selama masa terikatnya modal pada harta tetap perusahaan, modal
tersebut tidak dapat dicairkan kembali tanpa mengganggu jalannya operasional
perusahaan.
Besar
kecilnya kebutuhan modal investasi perusahaan sangat tergantung dari bentuk dan
ukuran perusahaan, serta bidang usaha yang dikelolanya. Kebutuhan modal investasi
bagi perusahaan kecil tentu akan lebih sedikit dibandingkan kebutuhan modal investasi
bagi perusahaan menengah dan besar. Dari sisi bidang usaha, secara umum dapat
dikatakan bahwa perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, relatif tidak banyak
membutuhkan modal investasi. Perusahaan perdagangan cenderung tidak membutuhkan
lahan dan bangunan yang luas, bangunan pabrik, mesin dan peralatan untuk sarana
operasional perusahaan sehari-hari. Berbeda dengan perusahaan yang bergerak di
bidang pengolahan/industri manufaktur, jasa angkutan, perhotelan dan lainnya
yang membutuhkan modal investasi yang cukup besar. Karena modal investasi
terikat pada harta tetap perusahaan, maka perputaran modal investasi dari uang
tunai menjadi uang tunai kembali dalam jangka waktu yang cukup lama, dan
pengembaliannya juga berangsur-angsur dalam bentuk penyusutan (depresiasi).
Olehnya itu, jumlah modal yang diinvestasikan jumlahnya tidak tetap selama
periode investasi atau selama umur ekonomis penggunaan aktiva tetap tersebut.
Jumlah modal yang terikat dalam harta tetap tersebut akan berangsur-angsur berkurang
sesuai dengan metode perhitungan penyusutan yang digunakan. Setelah umur
ekonomisnya berakhir, maka nilai buku harta tetap tersebut menjadi = 0 (nol).
2. Modal Kerja
Modal
kerja adalah modal yang digunakan untuk membiayai operasionalperusahaan
sehari-hari, seperti biaya untuk pembelian bahan, pembayaran upah/gaji tenaga
kerja, biaya sewa, biaya pemasaran, dan sebagainya. Modal kerja yang
dialokasikan untuk membiayai operasional perusahaan tersebut diharapkan akan
kembali menjadi kas (uang tunai) dalam waktu yang singkat melalui proses
penjualan produk. Dan uang tunai yang telah masuk ke perusahaan, selanjutnya
dimanfaatkan lagi untuk membiayai operasional perusahaan selanjutnya. Dengan
demikian, modal tersebut akan terus berputar setiap periode selama perusahaan
berjalan. Jika modal investasi terikat pada harta tetap perusahaan, modal kerja
ini terlihat sebagai modal yang terikat dalam harta lancar perusahaan dan
disebut sebagai modal kerja keseluruhan. Namun demikian, sebagian dari harta
lancar ini harus disediakan untuk memenuhi kewajiban finansial yang segera
harus dilakukan, seperti membayar utang kepada pemasok, membayar utang gaji,
membayar utang pajak dan sebagainya. Olehnya itu, besarnya modal kerja yang
bisa digunakan untuk membiayai operasional perusahaan adalah selisih antara harta
lancar dengan utang lancar. Modal yang benarbenar dapat digunakan ini disebut
modal kerja bersih (net working capital). Modal kerja dapat bertambah
atau berkurang, seperti tercermin pada besarnya unsur- unsur harta lancar dan
utang lancar.
BAB IX
RANCANGAN USAHA
9.1 Sasaran Pembelajaran
Setelah
mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah akan dapat menyusun
laporan rancangan usaha sesuai dengan gagasan usaha yang dipilihnya.
9.2 Arti dan Pentingnya Rancangan Usaha
Rancangan
usaha merupakan dokumen tertulis yang disusun oleh calon wirausahawan yang
memuat seluruh aspek-aspek yang terkait dengan aktifitas yang direncanakan
dalam merintis dan menjalankan gagasan perusahaan. Penyusunan rancangan usaha
dimaksudkan untuk menentukan sendiri tingkat kelayakan gagasan perusahaan yang dirancang
dengan maksud untuk menghindari adanya investasi yang tidak menguntungkan atau
dengan kata lain menghindari kerugian di kemudian hari. Setidaknya terdapat beberapa
manfaat dari rancangan usaha, yaitu:
1. Sebagai wadah untuk menampung rencana usaha
2.
Alat kontrol segala kegiatan yang
(akan) dilaksanakan ketika gagasan usaha diimplementasikan
3.
Menyampaikan kepada pihak lain akan
maksud dan tujuan penyusunan rancangan usaha
4. Memperoleh perhatian dan keterlibatan pihak lain untuk
membantu t erutama dalam mewujudkannya
menjadi perusahaan yang nyata
Berangkat
dari manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan rancangan usaha tersebut,
sehingga dapat diidentifikasi pihak-pihak yang mungkin akan membacanya, yaitu investor,
perbankan, pelanggan, konsultan dan pemerintah. Rancangan usaha harus disusun
sedemikian rupa sehingga dapat memberikan manfaat terutama dalam mewujudkan
gagasan merintis berdirinya perusahaan. Olehnya itu sebuah rancangan usaha
perlu disusun agar dapat diperoleh dan mudah dimengerti oleh pembacanya.
Bukankan
rancangan usaha kita susun juga bertujuan untuk menarik perhatian pihak lain?
Untuk
itu, sebuah rancangan usaha harus mengandung unsur-unsur:
1.
Rencana, bahwa rancangan
usaha harus memuat sesuatu rencana berikut maksud dan tujuan dari rencana
tersebut.
2.
Usulan, bahwa rancangan usaha
harus diusulkan kepada pihak lain untuk diketahui dan dipertimbangkan oleh
pihak lain.
3.
Sistematis, bahwa hal-hal
yang dimuat dalam rancangan usaha tersebut harus disusun mulai dari yang
sifatnya makro sampai kepada yang bersifat mikro; atau yang bersifat umum
sampai ke yang bersifat khusus/spesifik.
4.
Tentatif, bahwa isi dari
rancangan usaha tersebut masih dapat diubah sebelum memperoleh persetujuan dari
penerima atau pembaca rancangan usaha.
9.3 Format Rancangan Usaha
Sebuah
rancangan usaha harus disusun dengan baik sebagaimana unsur-unsur yang harus
dimuat di dalamnya. Untuk memudahkan dalam penyusunan, perlu adanya format dan
tata aturan yang jelas bagi penyusunnya. Format rancangan usaha pada dasarnya
terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu bagian pendahuluan yang memuat
alasan-alasan penyusunan, isi yang memuat aspek-aspek perusahaan yang dirancang
dan penutup yang memuat pelajaran-pelajaran penting yang diperoleh dari proses
pembelajaran ini. Jika melihat struktur rancangan usaha tersebut, memang agak
berbeda dengan proposal bisnis yang umumnya dibuat, namun setidaknya apa yang
tertuang dalam rancangan usaha yang disusun dapat disarikan menjadi sebuah proposal
bisnis, karena semua aspek-aspek yang dibutuhkan dalam penyusunan proposal bisnis
tertuang dalam rancangan usaha (terutama aspek-aspek perusahaan yang
dirancang).
Hal
yang lain yang membedakan format rancangan usaha yang dibahas pada pembelajaran
ini dengan proposal bisnis adalah bahwa pada rancangan usaha, pembelajar diminta
untuk menarik hikmah sebagai sebuah refleksi selama mengikuti pembelajaran
BAB X
TEKNIK PRESENTASI
10.1 Sasaran Pembelajaran
Setelah
mengikuti proses pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah akan dapat
mempresentasikan dan meyakinkan pihak lain akan gagasan usaha yang telah disusun
dalam bentuk rancangan usaha.
10.2 Defenisi dan Unsur-unsur Presentasi
Presentasi
dapat didefenisikan sebagai komunikasi langsung antara penyaji dengan sekelompok
pendengar dalam situasi teknis, saintifik atau professional untuk satu tujuan tertentu
dengan menggunakan teknik sajian dan media yang terencana. Presentasi pada dasarnya
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan
tujuan untuk menyampaikan, memperkenalkan, menuntun, meyakinkan atau dengan
kata lain mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain.
Dalam
konteks pembelajaran kewirausahaan-1, selain tujuan menyampaikan dan mengkomunikasikan
ide/gagasan perusahaan yang dirancang, presentasi juga dimaksudkan untuk
mengetahui dan memberikan evaluasi terhadap kemampuan mahasiswa peserta dalam
menguasai ide/gagasan yang telah dituangkan dalam rancangan usaha yang telah disusunnya.
Sebagai
salah satu cara mengkomunikasikan sesuatu (pengetahuan, keterampilan, ide/gagasan
dan sebagainya), presentasi memiliki 4 (empat) unsur penting. Unsur-unsur ini sangat
menentukan keberhasilan dalam proses presentasi, yakni:
1.
Presenter
Merupakan
orang yang menyampaikan sesuatu yang akan dikomunikasikan kepada pihak lain
(audiens) secara langsung.
2.
Materi
Merupakan
bahan yang akan dikomunikasikan kepada audiens.
3. Media
Terdiri
dari sarana yang digunakan untuk mengemas materi sehingga menarik audiens serta
peralatan yang digunakan untuk menyampaikan materi. Syarat media untuk efektif digunakan
adalah mudah, murah, praktis, aman, sesuai bahan dengan metode penyajian,
sesuai media dengan karakteristik peserta, tepat dan tersedia.
4. Audiens
Merupakan
pihak yang menerima sesuatu yang akan dikomunikasikan. Berhasil tidaknya suatu
presentasi dapat dilihat dari reaksi yang ditunjukkan oleh audiens.
10.3 Mempersiapkan Presentasi
Keberhasilan
presentasi sangat ditentukan oleh berbagai hal, baik yang berasal dari diri
sendiri, maupun dari luar. Presentasi dapat berhasil apabila kita dapat
melakukan halhal berikut:
1.
Menentukan
sasaran yang ingin dicapai
Penentuan
sasaran presentasi sangat menentukan keberhasilan presentasi. Presentasi yang
tidak jelas sasarannya akan membuat kegiatan presentasi menjadi tidak terarah
dan membuat audien menjadi bingung dan malah presentasi yang kita lakukan
terkesan membosankan. Untuk itu, perlu ditentukan sasaran-sasaran presentasi
lalu dibuat kerangka sasarannya. Ajukan pertanyaan-pertanyaan berikut pada diri
masing-masing:
a. Mengapa saya memberikan presentasi ini?
b. Mengapa mesti saya yang
mempresentasikan?
c. Apa yang ingin saya capai dari
presentasi ini?
d. Bagaimana saya dapat membuat
presentasi yang menarik?
e. Seberapa banyak yang telah
diketahui audiens tentang pokok permasalahan yang akan dipresentasikan?
f. Apakah audiens memiliki latar
belakang pengetahuan yang diperlukan terkait dengan materi presentasi?
2. Menyusun kerangka presentasi
Penyajian
presentasi seharusnya terstruktur, agar audiens tertarik mendengarkan apa yang
kita presentasikan. Olehnya itu, presenter sebaiknya menyusun pokok-pokok yang
disampaikan beserta hubungan logis di antara pokok-pokok tersebut. Pokok-pokok materi
dapat diperoleh dengan memecah sasaran yang telah ditetapkan menjadi sebuah daftar
sasaran-sasaran, dan daftar inilah yang menjadi kerangka presentasi. Kerangka presentasi
merupakan serangkaian bagian yang saling terjalin dan secara logis dapat
berdiri sendiri. Bagian-bagian yang saling terjalin, pada akhirnya harus saling
berkaitan dengan sasaran yang ingin dicapai. Olehnya itu, dalam menyusun
struktur presentasi, hal-hal yang perlu direncanakan adalah:
a.
Struktur pokok pembahasan
Pembicaraan
pada presentasi akan lebih efektif apabila presenter menyampaikan tema tunggal
yang konsisten, sasarannya jelas, serta bagian-bagiannya dapat didefenisikan dan
dapat dipahami oleh audiens. Untuk itu, sebelum melakukan presentasi, presenter
perlu membuat skema yang terkait dengan pokok pembahasan. Skema dapat dibuat dengan
pola mind mapping atau garis besar (outlining). Lakukan diskusi
dengan diri sendiri dan bantuan rekan-rekan untuk mendapatkan informasi yang
dapat membantu dalam pembuatan skema.
b.
Struktur bagaimana mempresentasikannya
Sebelum
melakukan presentasi, presenter perlu pula menyusun rencana presentasi dengan
struktur:
a) Introduksi (awal), meliputi
cara kontak dengan audiens, mengintroduksikan pokok pembicaraan dan menyatakan tema
utama.
b) Pengembangan (tengah),
meliputi cara menyampaikan dan menjelaskan tema utama dan argumen-argumennya.
c) Kesimpulan (akhir), meliputi
mcara merangkum tema utama dan jika perlu cara memberikan rekomendasi.
2.
Mengenal
audiens
Terdapat
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh presenter dalammenghadapi audiens,
yakni suasana hati dan keterbukaan serta hubungan sosial dengan audiens.
a.
Suasana hati
Audiens
yang hadir mengikuti presentasi memiliki tipe yang berbeda-beda, ada yang hadir
dengan kesadaran sendiri, ada pula yang hadir karena terpaksa, atau malah kombinasi
dari keduanya. Olehnya itu, sebagai seorang presenter perlu mengetahui kategori
yang mana yang mendominasi tipe audiens yang hadir. Teknik yang dapat digunakan
untuk memahami tipe audiens, adalah:
a)
Gunakan
menit-menit awal untuk memahami audiens
b) Gunakan pendekatan yang
berbeda-beda untuk mengetahui respon audiens
c)
Memancing
pertanyaan atau komentar audiens
d)
Lanjutkan
presentasi berdasarkan umpan balik
b.
Hubungan Sosial
Menyangkut
pertimbangan merbagai kelompok orang yang mungkin menjadi audien presentasi.
Kelompok-kelompok tersebut dapat dikategorikan, sebagai berikut: atasan,
sejawat, bawahan.
4. Menentukan pendekatan presentasi
Pendekatan
yang digunakan dalam presentasi perlu pula direncanakan sebelum presentasi
dilaksanakan. Pendekatan yang digunakan tergantung kondisi audiensnya, namun
yang umum adalah bersikap wajar dan tulus, jangan bersikap sebagai orang lain, berbicaralah
berdasarkan pengalaman pribadi, bersikap antusias, bersikap menyenangkan dan
bersahabat, dan gunakan humor pada tempatnya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
menyangkut waktu presentasi, komentar yang diperlukan, informasi data statistik
yang mendukung, penggunaan kalimat pembuka yang efektif, bahasa dan gaya
bahasa, pilihan kata, serta adanya keterkaitan antara data yang disajikan
dengan fakta. Untuk itu, sebelum melakukan presentasi, presenter perlu membuat
catatan-catatan kecil dan terus berlatih.
10.4 Sebelum Melakukan Presentasi
Pada
hari dimana presentasi akan dilaksanakan, seorang presenter perlu melakukan persiapan-persiapan.
Apa saja yang perlu dipersiapkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka berikut
ini diuraikan beberapa tips yang perlu diperhatikan:
1.
Sebelum
berangkat ke lokasi presentasi
a. Perjelas alamat tempat/lokasi
presentasi
b. Persiapkan naskah presentasi dan
catatan-catatan penting lainnya
c. Persiapkan perlengkapan yang
perlu di bawa dari rumah
d. Penampilan, meskipun presenter
tidak dinilai dari penampilannya, namun sering
kata-kata
yang diucapkan akan didengar dan diterima tergantung bagaimana presenter
berpenampilan. Olehnya itu, gunakan pakaian yang nyaman sesuai dengan situasi,
bersih dan rapih, tidak menggunakan sesuatu yang dapat membuyarkan perhatian
audiens (seperti assesoris yang berlebihan, parfum yang menyengat, pakaian yang
menyolok), serta tidak menggunakan sesuatu yang dapat menimbulkan bahwa
presenter mempunyai kebiasaan buruk dalam sesuatu hal.
2.
Setelah
sampai di lokasi presentasi
Adalah
sangat penting memberikan suasana nyaman dalam ruangan tempat melakukan
presentasi, olehnya itu perlu diperiksa suhu dan sirkulasi udara ruangan, pengaturan
tempat duduk (terkait dengan jumlah, letak, dan kenyamanan), pencahayaan
ruangan, gangguan dari suara lain, serta media audio visual yang akan digunakan.
Sebelum melakukan presentasi, sering presenter diliputi oleh kegelisahan dan kecemasan
yang luar biasa. Olehnya itu kegelisahan dan kecemasan perlu dikendalikan. Pada
dasarnya kegelisahan dan kecemasan adalah hal yang wajar, karena kelenjar
adrenalin bekerja yang berarti bahwa pikiran dan tubuh bekerja dengan baik.
Justru yang menjadi masalah ketika tidak ada kegelisahan dan kecemasan, karena
ini berarti bahwa tidak ada kesungguhan dalam melaksanakan tugas presentasi.
Sebaliknya kegelisahan dan kecemasan yang berlebihan membuat presenter
terganggu pada saat presentasi yang dapat dilihat dari penampilan fisik berupa
tangan gemetar, suara serak, kering dan tidak meyakinkan, salah tingkah pikiran
kosong dan kadang lupa diri. Olehnya itu, kegelisahan dan kecemasan ini perlu
dikendalikan, karena padadasarnya kegelisahan dan kecemasan akan meningkatkan
kualitas apa yang akan diucapkan dan bagaimana mengucapkannya. Beberapa tips
mengendalikan kecemasan dan kegelisahan:
a.
Sebelum
berdiri menyajikan presentasi, cobalah mengatakan sesuatu yang tidak ada hubungannya
dengan presentasi
b.
Aturlah
pernapasan
c.
Hilangkan rasa tegang pada leher dan wajah
d.
Pandanglah
sekeliling, bangun kontak mata dan tersenyumlah
e.
Berlatih
10.5 Melaksanakan Presentasi
Pada
saat presentasi dilaksanakan, beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh presenter,
yaitu:
1.
Penyajian Informasi Visual
Penyajian
informasi yang jelas dan ringkas akan memudahkan audiens memahami apa yang
disampaikan oleh presenter. Informasi visual dapat menggunakan bentuk tampilan
berupa tulisan dan gambar. Gambar yang ditampilkan dapat berupa tabel, diagram,
grafik, peta atau karikatur terkait dengan materi yang disampaikan. Informasi
visual yang disajikan sebaiknya bersifat informatif (relevan dengan keterangannya,
sesuatu hal yang baru, dan menonjolkan sesuatu yang ingin ditekankan), manusiawi
(menjaga perasaan siapa saja yang hadir) dan konsisten (materi yang dibagikan kepada
audiens sama dengan yang disajikan). Penyajian secara visual akan memberikan nilai
lebih kepada presentasi melalui beberapa cara, yaitu:
•
Memperkuat komentar
•
Mempertahankan fokus perhatian audiens dengan memberi variasi
•
Membuat kata-kata mudah dimengerti
•
Mengurangi jumlah kata yang harus diucapkan
2.
Penggunaan Media audio Visual
Kegiatan
presentasi sebaiknya memanfaatkan sarana media audio visual yang tersedia.
Media audio visual dapat berupa OHP, LCD, flipchart, papan
tulis, maket dan sebagainya. Penggunaan sarana presentasi akan memudahkan
presenter dalam menyajikan materinya, mengkomunikasikan konsep-konsep yang
sulit, memperluas jangkauan pokok bahasan, memberi nilai tambah bagi informasi,
disamping itu akan memudahkan audiens dalam memahami apa yang disampaikan oleh
presenter dan tentunya dapat mempersingkat waktu. Dalam penggunaan media audio
visual, perlu diperhatikan jumlah dan kompleksitas informasi yang akan
disajikan, jumlah dan komposisi audiens, serta fasilitas yang tersedia di
tempat presentasi.
3.
Penampilan
Penampilan
pada saat melaksanakan presentasi juga sangat mempengaruhi kesuksesan
pelaksanaan presentasi. Olehnya itu, kembangkanlah gaya atau npenampilan diri
sendiri dengan segala cara, namun tetap berpedoman pada aturan main untuk
bersikap profesional yang telah diterima umum. Hal-hal yang perlu diperhatikan,
yaitu:
a. Berdiri dan tataplah audiens
b. Jika melakukan aktifitas
membalikkan badan (menulis atau menatap ke tempat lain), jangan melakukannya
sambil berbicara lancar.
c. Usahakan tidak membungkuk, bersandar dan
menggerakkan tangan/lengan bila tidak perlu
d. Hindari gerakan-gerakan yang akan mengganggu
perhatian audiens
e. Tataplah mata audiens satu per
satu secara bergantian
4.
Bahasa
Tubuh
Bahasa
tubuh meliputi ekspresi wajah yang dapat menggambarkan perasaan, postur tubuh
yang dapat menggambarkan kecenderungan sikap dan keadaan emosi, serta gerakan anggota
tubuh yang dapat menggambarkan tekanan pada apa yang ingin disampaikan. Perhatikan
bahasa tubuh audiens, karena bahasa tubuh audiens akan memberitahu apakah sikap
berkomunikasi yang kita lakukan efektif atau tidak. Beberapa contoh bahasa
tubuh dan artinya diuraikan, sebagai berikut:
a. Bersedekap = santai sekaligus angkuh, tinggi
rasa percaya diri
b. Kedua tangan di samping =
sigap, memberi kesan siap menerima perintah
c. Alis terangkat = ramah dan
gembira mengajak orang bicara dan meminta respon
d. Jari telunjuk menyentuh ibu
jari = mengkomunikasikan sesuatu yang penting
e. Gerakan tangan seolah-olah
memukul bagian sisi telapak tangan = menegaskan yang harus dilakukan
f. Menganggukkan dan
menggelengkan kepala = setuju/tidak setuju
g. Mengusap-usap
wajah/menggaruk-garuk kepala/mengusap-usap dagu = perasaan terancam/kurang
percaya diri/kehabisan kata-kata
h. Bola mata bergerak ke atas =
berkonsentrasi untuk memberi jawaban
i. kedua tangan di meja = sikap
yang tidak bisa ditawar mengenaipokok pembicaraan
5.
Suara
Suara
presenter juga mempengaruhi keberhasilan presentasi.

Hisrich, Robert D, Peters, Michael P,
dan Sheperd, Dean A, 2008.Kewirausahaan, New York: McGraw-Hill, Penerbit
Salemba Empat.
Inpres No. 4 Tahun 1995 Tentang
Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Kemitraan UMKM
Perlu Waktu. Harian Media Indonesia Kamis 12 Juni 2008/No. 1003/ Tahun XXXIX,
halaman 17.
Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia
S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat
Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja RI,
Jakarta.
Suryana, A.S. Kewirausahaan
Eksistensial untuk Wirausahawan Masa Depan. Materi pada Workshop on Improving
of Students’ Intention on Entrepreneurship and Practical Skill di Makassar, 30
September 2005.
Suryana, A.S. Peta Jalan Pembelajaran
Kewirausahaan untuk Melahirkan Pelaku Agribisnis Genre Baru. Disajikan sebagai
Gagasan-gagasan Retrospektif untuk Penyempurnaan Kurikulum pada Program Studi
Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin di Makassar, 13 Juli
2009.
Trout, J. With Steve R, 2000.
Differentiate or Die: Survival in Our Era of Killer Competition. Published by
John and Sons, Inc., New York. Tunggal, A.W., 2008. Pengantar Kewirausahaan
(Edisi Revisi). Harvarindo, Jakarta.
Wennekers, Sander, and Roy Thurik
(1999). Linking entrepreneurship and economic growth. Small Business Economics
13: 27–55.
Alma, B., 2007, Kewirausahaan (Edisi Revisi),
Penerbit Alfabeta, Bandung.
Kasmir, 2007. Kewirausahaan. Penerbit PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Meredith, G.G., 2000. Kewirausahaan: Teori dan Praktek.
Penerbit Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris
S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R., 1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir
Kewirausahaan Anda. Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur
Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung Internationales Institut.
Syamsuddin, A.S., 2007. Mencipta Produk, Membangun Usaha Mandiri.
Paket Pelatihan Kewirausahaan untuk Alumni Unhas, Kerjasa Ikatan alumni
Universitas

Tunggal, A.W., 2008. Pengantar Kewirausahaan (Edisi
Revisi). Harvarindo, Jakarta
Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris
S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R.,1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir Kewirausahaan Anda. Pusat Pengembangan
Usaha Kecil Kawasan Timur Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung
Internationales Institut.
Syamsuddin, A.S., 2007. Mencipta Produk, Membangun Usaha Mandiri.
Paket Pelatihan Kewirausahaan untuk Alumni Unhas, Kerjasa Ikatan alumni
Universitas Hasanuddin dengan Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur
Indonesia (PUKTI), Januari – April 2007 di Makassar.
Assauri, S., 2002. Manajemen Pemasaran: Dasar, Konsep dan
Strategi. Rajawali Press, Jakarta.
Kotler, Philip, 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan,
Implementasi dan Kontrol (Edisi Bahasa Indonesia-Jilid 1). PT
Prenhallindo, Jakarta.
Maulana, A., 1992. Manajemen Pemasaran. Penerbit
Erlangga, Jakarta.Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat
Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja RI,
Jakarta.
Soekartawi. 1993. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sukotjo, 1991. Studi Kelayakan Proyek: Teori dan Praktek. Pustaka Binaman
Presindo, Jakarta.
Swastha, B., 1996. Azas-Azas Marketing, Edisi 3.
Liberty, Yogyakarta. Ahyari, A., 1990. Manajemen
Produksi: Pengendalian Produksi (Buku 2, Edisi Keempat, Cetakan Kedua).
Penerbit BPFE, Yogyakarta.
Assauri, S., 1993. Manajemen Produksi dan Operasi (Edisi
Empat). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Prawirosentono, S., 1997. Manajemen Produksi dan Operasi. Bumi
Akasara, Jakarta.
Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia
S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja
Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan
Tenaga Kerja, Departemen Tenaga
Kerja RI, Jakarta.

Rukka, R. M., 1993. Pengelolaan Industri Kecil Perusahaan Makanan.
Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Ujungpandang.
Sofyan, A., 1996. Manajemen Produksi dan Operasi.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris
S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R., 1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir
Kewirausahaan Anda. Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur
Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung Internationales Institut.
Bertens, K., 2000. Pengantar Etika Bisnis. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
George, R.T.D, 1999. Business Ethics. Prentice Hall
Publishing, New York.
Keraf, S.A., 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku
Kompas, Jakarta.
Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris
S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R., 1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir
Kewirausahaan Anda. Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur
Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung Internationales Institut.
Undang-undang Republik Indonesia No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Widodo, M, 2001. KTT Dunia Pembangunan Berkelanjutan 2002
Peluang dan Tantangan bagi Indonesia Baru. Paparan Dalam rangka
sosialisasi persiapan World Summit on
Sustainable Development, 8 September 2001 di Yogyakarta.
Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia
S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja
Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan
Tenaga Kerja, Departemen Tenaga
Kerja RI, Jakarta.
Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris
S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R., 1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir
Kewirausahaan Anda. Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur
Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung Internationales Institut.
Jusup, A.H., 1994. Dasar-dasar Akuntansi, Jilid 1.
Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta.

Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia
S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja
Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan
Tenaga Kerja, Departemen Tenaga
Kerja RI, Jakarta.
Simamora, H. 1999. Akuntansi Manajemen. Penerbit Salemba
Empat, Jakarta.
Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris
S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R.,1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir Kewirausahaan Anda. Pusa Pengembangan
Usaha Kecil Kawasan Timur Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung
Internationales Institut.
Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia
S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja
Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan
Tenaga Kerja, Departemen Tenaga
Kerja RI, Jakarta.
Basyuni, A. 2009. Teknik Presentasi Efektif. Materi
yang disampaikan pada Diklatpim IV RRI pada tanggal 19 Februari 2009 di Jakarta.
(www.elearningrri. net/materipimiv/pres_efektif.pp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar