Rabu, 16 Juli 2014

SILABUS STUDI KEWIRAUSAHAAN



TUGAS AKHIR
SILABUS STUDI KEWIRAUSAHAAN




oleh :

JANUARI CHRISTI
BAMBANG RAHINO
F A R I D


PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MERDEKA SURABAYA
2013
SILABUS STUDI KEWIRAUSAHAAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MERDEKA SURABAYA
PERTEMUAN
POKOK BAHASAN
SUB POKOK BAHASAN
1
BAB I : Pendahuluan
  • Latar belakang Masalah           
  • Defenisi dan Konsep Kewirausahaan
  • Wirausahawan Dilahirkan atau Diciptakan?
  • Motivasi Berwirausaha
  • Kewirausahaan Eksistensial
2
BABII: Potensi Diri Dan Kerakter Wirausahaan Potensial
  • Sasaran Pembelajaran
  • Mengenal Potensi Diri
  • Karakter Wirausahawan Potensial
3
 BAB III:  Peluang-Peluang Usaha
  • Sasaran Pembelajaran
  • Peluang Usaha
  • Menemukan Peluang Usaha
  • Memilih Lapangan Usaha dan Mengembangkan Gagasan Usaha
4,5
  BAB IV: Aspek Pemasaran
  • Sasaran Pembelajaran
  • Defenisi Pemasaran
  • Tugas, Fungsi dan Orientasi Pemasaran
  • Sasaran dan Strategi Pemasaran
  • Segmentasi, Target dan Posisi Pasar
  • Bauran Pemasaran
  • Bauran Pemasaran
  • Menetapkan Nilai Pemasaran
6,7
 BAB V : Aspek produksi
  • Sasaran Pembelajaran
  • Defenisi Produksi
  • Kebutuhan Proses Produksi
  • Proses Produksi
  • Pengendalian Produksi
UJIAN
TENGAH
SEMESTER
9
  BAB VI : Aspek Pengendalian Dampak Lingkungan
  • Sasaran Pembelajaran
  • Ekonomi versus Lingkungan
  • Aktifitas Perusahaan dan Dampaknya Terhadap Lingkungan
  • Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Lingkungan
10,11
  BAB VII : Aspek ORGANISASI Dan Manajemen
  • Sasaran Pembelajaran
  • Defenisi Organisasi dan Manajemen
  • Organisasi Perusahaan
  • Manajemen Perusahaan
12
 BAB VIII : Aspek Keuangan
  • Sasaran Pembelajaran
  • Aspek Keuangan
  • Kebutuhan Modal Perusahaan
13
 BAB IX : Rancangan Usaha
  • Sasaran Pembelajaran
  • Arti dan Pentingnya Rancangan Usaha
  • Format Rancangan Usaha
14,15
 BAB X :
  • Sasaran Pembelajaran
  • Defenisi dan Unsur-unsur Presentasi Mempersiapkan Presentasi
  • Sebelum Melakukan Presentasi Melaksanakan Presentasi
UJIAN
AKHIR
SEMESTER


DAFTAR PUSTAKA :


SELALU BERSEMANGAT DEMI KEMAJUAN DIRI SENDIRI, KELUARGA, DAN NEGARA











 

BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar belakang Masalah      
masyarakat Indonesia dengan jumlah selalu meningkat membutuhkan sedikitnya 4,4 juta jiwa wirausaha, namun jumlah wirausaha yang ada mencapai 400 ribu jiwa atau kurang dari 1% populasi penduduk Indonesia, sementara menurut David McClelland bahwa sebuah negara baru bisa maju jika jumlah wirausaha terdapat sebesar 2% dari populasi penduduknya. Amerika Serikat misalnya, memiliki wirausaha 11,5% dari populasi penduduknya.  
Sedangkan negara tetangga Singapura terdapat sekitar 7,2% warganya bekerja sebagari wirausaha, sehingga negara kecil itu jauh lebih maju. Untuk menciptakan 4,4 juta jiwa wirausaha di Indonesia, paling tidak dibutuhkan waktu
sedikitnya 25 tahun. Jika melihat jumlah kebutuhan wirausaha baru untuk memposisikan Indonesia sebagai negara maju dan estimasi waktu yang cukup lama untuk mencapainya, maka saat ini perlu segera diupayakan langkah-langkah agar jumlah wirausaha baru dapat bertambah dengan waktu pencapaian yang relatif singkat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan penciptaan wirausaha baru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi. Hanya saja, data dan fakta telah membuktikan bahwa terdapat kecenderungan bahwa umumnya mahasiswa yang saat ini menempuh pendidikan di perguruan tinggi menginginkan pekerjaan yang mapan setelah mereka lulus menjadi sarjana.
Fenomena membludaknya pendaftar ketika pemerintah membuka pendaftaran pegawai negeri sipil (PNS) dalam setiap tahun sebagai salah satu indikator. Meskipun setiap tahun pemerintah membuka pendaftaran, namun tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar dari mereka yang mendaftar mengalami kekecewaan karena tidak berhasil lulus. Peluang untuk menjadi PNS semakin kecil lagi setelah pemerintah memutuskan penundaan sementara (moratorium) tambahan formasi untuk penerimaan PNS sejak 1 September 2011 hingga 31 Desember 2012. Keterbatasan terserapnya lulusan perguruan tinggi di sektor pemerintah menyebabkan perhatian beralih pada peluang bekerja pada sektor swasta, namun beratnya persyaratan yang ditetapkan kadang membuat peluang untuk bekerja di sektor swasta juga semakin terbatas.
Satu-satunya peluang yang besar adalah bekerja dengan memulai usaha mandiri. Hanya saja, jarang kita temukan seseorang sarjana yang mau mengawali kehidupannya setelah lulus dari perguruan tinggi dengan memulai mendirikan usaha. Adanya kecenderungan yang demikian berakibat pada tingginya residu angkatan kerja berupa pengangguran terdidik. Jumlah lulusan perguruan tinggi dalam setiap tahun semakin meningkat tidak sebanding dengan peningkatan ketersediaan kesempatan kerja yang akan menampung mereka.
Pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi merupakan salah satu solusi yang dapat diambil untuk menekan terjadinya peningkatan jumlah pengangguran yang berstatus sarjana. Meskipun pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi secara umum ditujukan agar mahasiswa mampu menjawab tantangan dan memanfaatkan peluangpeluang yang ada di sekitarnya dan tidak semata-mata ditujukan agar mahasiswa setelah lulus nantinya dapat membuka usaha baru, namun dengan bekal pembelajaran kewirausahaan setidaknya mereka telah memiliki bekal wawasan berwirausaha yang dapat dimanfaatkan ketikamereka tidak terserap pada lapangan kerja yang telah ada. Bahkan dengan mendirikan usaha baru, mereka justru dapat membantu dalam menekan meningkatnya angka pengangguran dengan merekrut angkatan kerja yang belum terserap pada lapangan kerja yang telah ada.

1.2       Defenisi dan Konsep Kewirausahaan
Penggunaan dan pengertian atau terminologi kewirausahaan yang merujuk pada istilah entrepreneurship di Indonesia cukup beragam. Olehnya itu, perbedaan ini kadang cukup mengundang perdebatan yang tidak pernah ada habisnya. Jika kita hanyut dalam perbedaan pendefenisian saja tentu hasilnya adalah polemik yang hanya bersifat semantik.
Dalam pembelajaran ini kita tidak mengarahkan materi ke arah tersebut, namun dengan     penyajian beberapa defenisi dan konsep kewirausahaan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, minimal dapat memperkaya pemahaman kita mengenai defenisi dan konsep kewirausahaan itu sendiri. Perkataan kewirausahaan (entrepreneurship) berasal dari Bahasa Perancis, yakni entreprendre yang berarti melakukan (to under take) dalam artian bahwa wirausahawan   adalah seorang yang melakukan kegiatan mengorganisir dan mengatur. Istilah ini muncul            di saat para pemilik modal dan para pelaku ekonomi di Eropa sedang berjuang keras menemukan berbagai usaha baru, baik sistem produksi baru, pasar baru, maupun sumber daya baru untuk mengatasi kejenuhan berbagai usaha yang telah ada. Arti kata kewirausahaan berbeda-beda menurut para ahli atau sumber acuan, karena adanya perbedaan penekanan. Richard Cantillon (1725) mendefinisikan kewirausahaan sebagai orang-orang yang menghadapi resiko yang berbeda dengan mereka yang menyediakan modal. Jadi definisi Cantillon lebih menekankan pada bagaimana seseorang menghadapi risiko atau ketidakpastian. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Blaudeu (1797) bahwa kewirausahaan adalah orang-orang yang menghadapi resiko, merencanakan, mengawasi, mengorganisir dan memiliki. Demikian halnya Albert Shapero 1975) mendefenisikan sebagai pengambilan inisiatif mengorganisir suatu mekanisme sosial ekonomi dan menghadapi resiko kegagalan.
Mendefenisikan kewirausahaan dengan penekanan pada penciptaan hal-hal baru dikemukakan oleh Joseph Schumpeter (1934) bahwa kewirausahaan adalah melakukan hal-hal baru atau melakukan hal-hal yang sudah dilakukan dengan cara baru, termasuk di dalamnya penciptaan produk baru dengan kualitas baru, metode produksi, pasar, sumber pasokan dan organisasi. Schumpeter mengaitkan wirausaha dengan konsep yang diterapkan dalam konteks bisnis dan mencoba menghubungkan dengan kombinasi berbagai sumberdaya. Sejalan dengan penekanan pada penciptaan hal-hal baru dan resiko, Hisrich, Peters, dan Sheperd (2008) mendifinisikan sebagai proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung resiko keuangan, fisik, serta resiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi.
Wennekers dan Thurik (1999) melengkapi pendefenisian kewirausahaan dengan mensintesiskan peran fungsional wirausahawan sebagai: "...kemampuan dan kemauan nyata seorang individu, yang berasal dari diri mereka sendiri, dalam tim di dalam maupun luar organisasi yang ada, untuk menemukan dan menciptakan peluang ekonomi baru yang meliputi produk, metode produksi, skema organisasi dan kombinasi barang-pasar serta untuk memperkenalkan ide-ide mereka kepada pasar, dalam menghadapi ketidakpastian dan rintangan lain, dengan membuat keputusan mengenai lokasi, bentuk dan kegunaan dari sumberdaya dan instusi".
Selain menekankan pada penciptaan hal-hal baru dan resiko, defenisi yang dikemukakan oleh Wennekers dan Thurik juga menekankan pada kemauan dan kemampuan individu. Hal ini sejalan dengan defenisi yang tertuang dalam Inpres No. 4 Tahun 1995 yang mendefenisikan kewirausahaan sebagai semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan/atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Dari berbagai defenisi yang telah dikemukakan, tanpa mengecilkan berbagai pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kewirausahaan merupakan kemauan dan kemampuan seseorang dalam menghadapi berbagai resiko dengan mengambil inisiatif untuk menciptakan dan melakukan hal-hal baru melalui pemanfaatan kombinasi berbagai sumberdaya dengan tujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan memperoleh keuntungan sebagai
konsekuensinya.

1.3       Wirausahawan Dilahirkan atau Diciptakan?
Pertanyaan ini sudah sering dan sejak lama menjadi fokus perdebatan. Apakah wirausahawan itu dilahirkan (is borned) yang menyebabkan seseoarng mempunyai bakat lahiriah untuk menjadi wirausahawan atau sebaliknya wirausahawan itu dibentuk atau dicetak (is made) pada dasarnya berkaitan dengan perkembangan cara pendekatan, yakni pendekatan klasikal dan event studies. Pendekatan bersifat klasikal menjelaskan bahwa wirausaha dan ciri-ciri pembawaan atau karakter seseorang yang merupakan pembawaan sejak lahir (innate) dan untuk menjadi wirausahawan tidak dapat dipelajari. Sedangkan pendekatan event studies menjelaskan bahwa faktor-faktor lingkungan yang menghasilkan wirausaha atau dengan kata lain wirausaha dapat diciptakan.
Sifat wirausahawan merupakan bawaan lahir sebagaimana pendapat pakar yang menggunakan pendekatan klasikal sebenarnya sudah lazim diterima sejak lama. Namun, saat ini pengakuan tentang kewirausahaan sebagai suatu disiplin telah mendobrak mitos tersebut dan membenarkan pendapat yang menggunakan pendekatan event studies. Seperti juga disiplin-disiplin lainnya, kewirausahaan memiliki suatu pola dan proses. Terlepas dari kedua pendapat dengan pendekatan yang berbeda tersebut, pendapat yang lebih moderat adalah tidak mempertentangkannya. Menjadi wirausahawan sebenarnya tidaklah cukup hanya karena bakat (dilahirkan) ataupun hanya karena dibentuk.
Wirausahawan yang akan berhasil adalah wirausahawan yang memiliki bakat yang selanjutnya dibentuk melalui suatu pendidikan, pelatihan atau bergaul dalam komunitas dunia usaha. Tidak semua orang yang memiliki bakat berwirausaha mampu untuk menjadi wirausahawan tanpa adanya tempaan melalui suatu pendidikan/pelatihan. Kompleksnya permasalahan-permasalahan dunia usaha saat ini, menuntut seseorang yang ingin menjadi wirausahawan tidak cukup bermodalkan bakat saja. Ada orang yang belum menyadari bahwa dia memiliki bakat sebagai wirausahawan, setelah mengikuti pendidikan, pelatihan ataupun bergaul dengan di lingkungan wirausaha pada akhirnya akan menyadari dan mencoba memanfaatkan bakat yang dimilikinya. Olehnya itu, tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa bila ingin belajar berwirausaha tidak perlu mengandalkan bakat, namun yang terpenting adalah memiliki kemauan dan motivasi yang kuat untuk mulai belajar berwirausaha.

1.4       Motivasi Berwirausaha
Salah satu kunci sukses untuk berhasil menjadi wirausahawan adalah adanya motivasi yang kuat untuk berwirausaha. Motivasi untuk menjadi seseorang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakatnya melalui pencapaian prestasi kerja sebagai seorang wirausahawan. Apabila seseorang memiliki keyakinan bahwa bisnis yang (akan) digelutinya itu sangat bermakna bagi hidupnya, maka dia akan berjuang lebih keras untuk sukses.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh melalui berwirausaha yang mungkin saja sulit atau bahkan tidak dapat diperoleh jika memilih berkarir atau bekerja pada lembaga/instansi milik orang lain atau pemerintah. Manfaat tersebut terdiri dari manfaat bagi diri sendiri dan bagi masyarakat, sebagaimana yang diuraikan berikut ini:
1.         Memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan potensi diri yang dimiliki Banyak wirausahawan yang berhasil mengelola usahanya karena menjadika keterampilan/hobbynya menjadi pekerjaannya. Dengan demikian dalam melaksanakan aktifitas pekerjaannya dengan suka cita tanpa terbebani. Berwirausaha menjadikan diri kita memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dengan menentukan dan mengontrol sendiri keuntungan yang ingin dicapai dengan tanpa batas. Dengan adanya penentuan keuntungan yang akan dicapai, kita juga memiliki kebebasan untuk mengambil tindakan dalam melakukan perubahan-perubahan yang menurut kita penting untuk dapat mencapainya.
2.         Memiliki peluang untuk berperan bagi masyarakat
Dengan berwirausaha, kita memiliki kesempatan untuk berperan bagi masyarakat. Wirausahawan menciptakan produk (barang dan/atau jasa) yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pemberian pelayanan kepada seluruh masyarakat terutama konsumen yang dilandasi dengan tanggung jawab sosial melalui penciptaan produk yang berkualitas akan berdampak pada adanya pengakuan dan kepercayaan pada
masyarakat yang dilayani. Adanya manfaat bagi diri sendiri dan masyarakat dalam berwirausaha dapat menjadi motivasi tersendiri bagi kita tergerak untuk mulai berwirausaha. Perlu disadari bahwa pada dasarnya kita bertindak sebagian besar dipengaruhi oleh motivasi, bukan karena terpaksa. Kesuksesan atau ketidaksuksesan seseorang dalam karirnya sangat tergantung dari motivasinya untuk menjalankan karirnya tersebut. Seandainya kita dapat memulai menanamkan dalam hati kita bahwa dengan berwirausaha akan memberikan manfaat bagi diri kita dan masyarakat, serta manfaat-manfaat lain yang akan diperoleh, mungkin kita akan termotivasi untuk memulai berwirausaha.
Memperbanyak alasan untuk tidak memulai sebenarnya adalah penghambat bagi kita untuk termotivasi. Terkait dengan motivasi untuk berwirausaha, setidaknya terdapat enam “tingkat” motivasi berwirausaha dan tentunya masing-masing memiliki indikator kesuksesan yang berbeda-beda, yaitu:
1.         Motivasi material, mencari nafkah untuk memperoleh pendapatan atau kekayaan.
2.         Motivasi rasional-intelektual, mengenali peluang dan potensialitas pasar, menggagas produk atau jasa untuk meresponnya.
3.         Motivasi emosional-ekosistemik, menciptakan nilai tambah serta memelihara kelestarian sumberdaya lingkungan.
4.         Motivasi emosional-sosial, menjalin hubungan dengan atau melayani kebutuhan sesama manusia.
5.         Motivasi emosional-intrapersonal (psiko-personal), aktualisasi jatidiri dan/atau potensipotensi diri dalam wujud suatu produk atau jasa yang layak pasar.
6.         Motivasi spiritual, mewujudkan dan menyebarkan nilai-nilai transendental, memaknainya sebagai modus beribadah kepada Tuhan.
Umumnya seseorang yang memulai berwirausaha termotivasi untuk mencari nafkah melalui perolehan pendapatan dan untuk memperoleh kekayaan. Motivasi ini tidak salah, namun jika fokus kita berwirausaha hanya untuk mengejar keuntungan dan kekayaan semata, bisa jadi kita akan melakukan apa saja tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip etika untuk mencapai keuntungan dan kekayaan. Kita perlu sepakat bahwa keuntungan dan kekayaan yang dapat kita raih hanyalah merupakan konsekuensi dari kemampuan kita untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada stakeholders kita. Inilah alasan yang mendasari motivasi material menempati tingkatan yang terendah.
Berbeda halnya jika kita memulai berwirausaha sebagai modus beribadah kepada Tuhan, apapun tindakan yang kita lakukan dalam berwirausaha senantiasa dilandasi dengan nilai ibadah yang kita peroleh. Dengan motivasi spiritual yang kita miliki, kita akan memaksimalkan pemanfaatan potensi diri kita sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat potensi yang diberikan tersebut sehingga kita tidak dikategorikan sebagai orang yang mubazir. Dengan motivasi spiritual kita akan memberikan pelayanan yang terbaik kepada
seluruh stakeholders dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan pelayanan terbaik yang kita berikan tersebut kita harus yakin akan memberikan keuntungan bagi kita. Dan bukankah dengan melakukan tindakan-tindakan terbaik bagi diri kita, orang lain dan lingkungan adalah perbuatan yang bernilai ibadah di sisi Tuhan? Inilah alasan yang mendasar sehingga motivasi spiritual ditempatkan pada tingkatan tertinggi.

1.5       Kewirausahaan Eksistensial
Konsep ini memfokuskan pemahaman kewirausahaan yang berorientasi pada aktualisasi jati diri dan potensi-potensi diri sebagai pembelajar kewirausahaan. Kata eksistensial dalam hal ini memiliki tiga arti, yaitu: (1) keberadaan manusia itu sendiri, atau, cara khusus manusia dalami menjalani hidupnya; (2) makna hidup; dan (3) perjuangan manusia untuk menemukan makna yang konkrit di dalam hidupnya, dengan kata lain, keinginan seseorang untuk mencari makna hidup.
Dalam mempelajari kewirausahaan, para pembelajar perlu menyadari bahwa keberadaan (eksistensi)nya selalu ditentukan oleh dirinya sendiri. Sebagai manusia dibutuhkan kesadaran akan diri, tahu diri dan tahu menepatkan dirinya baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakatnya. Setiap manusia memiliki kebebasan dalam memilih dari berbagai jenis pilihan yang dianggap benar untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Hidup tidak bisa diterima sebagaimana adanya, karena hidup belum selesai sehingga dapat diubah dan bahkan harus diubah ke arah yang lebih baik. Adanya kebebasan untuk berbuat dan menjadi sesuatu yang diinginkan harus diiringi dengan tanggung jawab atas kebebasan itu.
Di dalam kebebasannya, setiap manusia bertindak senantiasa berdasarkan karakter, kecenderungan, potensi dan pembawaannya masing-masing. Setiap manusia harus menyadari bahwa Tuhan telah memberikan kelebihan-kelebihan kepada dirinya yang bisa jadi tidak dimiliki oleh orang lain, dan jika kelebihan-kelebihan tersebut tidak digunakan secara maksimal, berarti manusia yang bersangkutan kurang mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.




BAB II
POTENSI DIRI DAN
KARAKTER WIRAUSAHAWAN POTENSIAL


2.1       Sasaran Pembelajaran
Setelah melalui proses pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah dapat mengenal potensi diri yang dimiliknya dan mampu memproyeksikan potensi diri dengan karakter wirausahawan potensial.

2.2       Mengenal Potensi Diri
Sebagai seorang manusia biasa sudah pastilah kita memiliki hasrat dan keinginan menunjukkan potensi-potensi diri yang kita miliki. Sebagai bentuk kesyukuran sebagai seorang hamba atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan adalah dengan mau belajar memahami segala bentuk karunia yang telah diberikan dan berupaya untuk meraih sukses dengan memanfaatkan potensi yang diberikan. Masih banyak dari kita mungkin tidak dapat mengenal bahwa di dalam diri terdapat potensi yang besar, karena kita tidak mampu memahami siapa diri kita sebenarnya.
 Cara berpikir yang terlalu sempit terhadap diri sendiri dengan selalu menilai bahwa diri kita sederhana, mungkin saja menjadi salah satu penyebab. Kalimat bahwa saya tidak mampu, saya tidak punya potensi untuk itu, dia bisa karena dia punya segalanya...sedangkan saya, dan kalimat-kalimat yang bernada meremehkan diri sendiri adalah contoh cara berpikir sempit terhadap diri sendiri. Jika kita ingin mengawali perjalanan hidup menuju kesuksesan, kita harus berani keluar dari cara berpikir yang terlalu sempit. Jangan kita menyangka bahwa seseorang yang mencapai sukses itu diraih dengan gampang, tanpa rintangan dan penuh suka cita.
Bisa jadi orang yang sukses tersebut ketika memulai karirnya, kehidupan yang dimiliki lebih memprihatinkan daripada diri kita atau mungkin saja dia memulai karirnya dari kondisi minus, bukan dimulai dari nol. Bagaimana situasi dan kondisi kekinian diri kita tidak terlepas dari apa yang telah kita lakukan dan terjadi di masa lalu, demikian pula bagaimana kita di masa depan akan ditentukan oleh apa yang kita lakukan di masa kini. Berangkat dari alasan tersebut, maka ada baiknya jika kita mencoba kembali memutar “rekaman” masa lalu kita, yaitu masa sejak lahir hingga dewasa seperti saat ini. Mungkin dengan cara ini, kita akan dapat menarik hikmah atau pelajaran-pelajaran penting dari berbagai pengalaman hidup (suka dan duka) yang pernah dialami di masa lalu.
Mengenang kembali masa lalu bukan berarti kita harus larut dengan suka maupun duka yang pernah dialami, tetapi setidaknya dari pengalaman tersebut kita dapat memahami bagaimana diri kita saat ini dan mengapa kita bisa seperti saat ini. Hidup akan terus kita jalani hingga batas akhir yang entah kita tidak tahu waktunya, namun yang pasti kita akan mencapai titik akhir dari kehidupan ini.
Demikian halnya dengan akhir kehidupan, apa yang akan terjadi terhadap diri kita di masa yang akan datang segalanya penuh dengan ketidakpastian. Masa lalu yang pernah kita jalani tidak mungkin terulang kembali, tetapi bukan berarti kita harus melupakannya. Bisa jadi apa yang pernah kita alami dapat menjadi pelajaran untuk meniti hidup ke masa depan. Hidup ini ibarat perjalanan dengan mengendarai kendaraan, sesekali kita harus menengok ke belakang (melalui kaca spion kendaraan) meskipun kita tetap melaju ke depan. Apa jadinya jika kita mengendarai kendaraan tanpa sesekali memperhatikan ada apa di belakang kita? Meskipun demikian, jangan pula perjalanan hidup menuju ke masa depan kita lakukan dengan selalu melihat ke masa lalu, hidup didominasi oleh masa lalu seakan-akan kita hidup di masa lalu.
Apa jadinya pula jika kita mengendarai kendaraan dengan perhatian selalu tertuju ke belakang? Ilustrasi perjalanan berkendaraan ini seperti apa yang dikatakan oleh Art Linkletter, seorang motivator kelahiran Kanada, bahwa: “Saya belajar dari kesalahan dan kegagalan saya, tapi setelah itu saya akan meninggalkan mereka di belakang dan menguburnya dalam-dalam, agar mereka tidak bisa menghalangi saya untuk maju di kemudian hari”.
Sebagai langkah awal untuk memutar “rekaman” masa lalu kita adalah dengan mempertanyakan pada diri kita sendiri dengan pertanyaan “Siapa Aku?”. Pertanyaan ini nampaknya singkat dan cukup sederhana, namun mungkin ketika kita ingin menjawabnya, kita mengalami kesulitan yang luar biasa. Tentu saja menjawab pertanyaan ini tidak hanya sekadar menyebutkan nama kita, nama orang tua kita, alamat domisili kita. Namun pertanyaan ini setidaknya dapat menjawab ada apa di balik diri kita dan diri kita lebih dari sekadar mewarisi sifat-sifat keturunan dari orang tua. Melalui pertanyaan ini kita harus menyadari bahwa diri kita terbentuk dari rangkaian peristiwa dan pengalaman sepanjang perjalanan hidup kita sejak lahir hingga menjadi dewasa seperti saat ini.
Sejak kita lahir, kita dibesarkan oleh keluarga yaitu kedua orang tua kita, ayah dan ibu kita. Namun tidak mustahil juga, ada di antara kita yang tidak dibesarkan oleh orang tua kandung. Siapa pun yang membesarkan dan mendidik kita, merekalah orang tua kita dalam fungsinya sebagai pengasuh dan pendidik kita. Siapa pun mereka, tidak dapat dipungkiri bahwa merekalah yang membesarkan, mengasuh, mendidik dan mempersiapkan diri kita agar suatu saat dapat melepaskan diri sebagai manusia yang dapat menentukan sendiri tindakan dan langkah apa yang dapat dilakukan untuki menuju ke masa depan dan tentunya bertanggung jawab terhadap diri kita sendiri sebagai manusia dewasa.
Kedua orang tua kitalah yang pertama kali memberikan pengalaman belajar dan pengalaman hidup kepada kita yang mungkin sebagian dari pengalaman tersebut ternyata berguna sebagai bekal dasar bagi pengembangan karir kewirausahaan yang akan kita pilih. Ketika kita sudah mulai dapat berjalan dan memiliki keberanian untuk keluar dari rumah, bergaul dengan anak-anak tetangga atau teman-teman sebaya kita di sekitar rumah, di saat itulah kita memulai memasuki pendidikan di luar rumah. Di masa-masa inilah kita menjalani
suatu proses pendidikan informal. Ketika kita sudah menginjak usia sekolah, kita mulai disekolahkan, mungkin dimulai dari taman bermain atau taman kanak-kanak, selanjutnya ke sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan atas hingga saat ini duduk di bangku perguruan tinggi. Masa pendidikan di sekolah ini merupakan masa pendidikan formal kita.
Di saat yang sama, mungkin kita mengikuti berbagai kegiatan ekstra kurikuler, semisal pramuka, palang merah, olah raga, seni dan sebagainya. Saat yang sama pula kita mengalami proses pembelajaran secara non-formal. Berbagai rentetan peristiwa-peristiwa yang telah kita lalui di masa pendidikan tersebut, bisa jadi kita dapat memperoleh pengalaman-pengalaman yang dapat membentuk karakter kita dan mungkin saja menjadi penguat tekat kita dalam memilih karir sebagai wirausaha.
Sebagian dari kita mungkin mulai bekerja mencari nafkah setelah lepas dari masamasa sekolah. Tetapi tidak jarang pula, ada di antara kita yang telah melakoni sebagai pekerja sambil bersekolah atau malah telah mulai bekerja sejak usia dini baik sekadar membantu orang tua atau pun bekerja secara mandiri. Bagi yang telah bekerja sambil bersekolah atau sejak usia dini, masa pengalaman mencari nafkah terjadi bersamaan atau menjadi bagian dari proses asuhan dalam keluarga pendidik maupun proses pendidikan di luar .

2.3       Karakter Wirausahawan Potensial
Pengertian kewirausahaan yang berbeda-beda oleh para ahli menyebabkan pula beragamnya pendapat terhadap karakter-karakter yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan sukses. Kao (1983) dalam Tunggal (2008) menuturkan bahwa terdapat 11 karakteristik seorang wirausahawan, yaitu:
1.       Total berkomitmen, menjadi penentu dan melindungi
2.       Memiliki dorongan untuk mendapatkan dan bertumbuh.
3.       Berorientasi kepada kesempatan dan tujuan.
4.       Mempunyai inisiatif dan tanggung jawab personal.
5.       Pemecah persoalan secara terus menerus.
6.       Memiliki realisme dan dapat berbicara denan selingan humor.
7.       Selalu mencari dan menggunakan umpan balik (feedback).
8.       Selalu berfokus pada internal.
9.       Menghitung dan mencari risiko.
10.     Memiliki kebutuhan yang kecil untuk status dan kekuasaan.
11.     Memiliki integritas dan reabilitas.
Alma (2007) dalam konteks karakter wirausahawan mengemukakan delapan anak tangga menuju puncak karir berwirausaha yang terdiri atas :
1.       (Mau kerja keras (capacity for hard work)
2.       Bekerjasama dengan orang lain (getting things done with and through people)
3.       Penampilan yang baik (good appearance)
4.       Yakin (self confidence)
5.       Pandai membuat keputusan (making sound decision)
6.       Mau menambah ilmu pengetahuan (college education)
7.       Ambisi untuk maju (ambition drive)
8.         Pandai berkomunikasi ability to communicate)
Sedangkan Gooffrey G. Meredith (2000) mengemukakan ciri dan watak wirausahawan, seperti berikut:
1.       Percaya diri dengan watak keyakinan, kemandirian, individualitas dan optimisme.
2.       Berorientasikan tugas dan hasil dengan watak kebutuhan akan prestasi, berorientasi pada laba, memiliki ketekunan dan ketabahan, memiliki tekad yang kuat, suka bekerja keras, energik dan memiliki inisiatif.
3.       Pengambil resiko dengan watak memiliki kemampuan mengambil resiko dan suka pada tantangan.
4.       Kepemimpinan dengan watak bertingkah laku sebagai pemimpin, bergaul dengan orang lain, suka terhadap[ kritik dan saran yang membangun.
5.       Keorisinilan dengan watak memiliki inovasi dan kreativitas tinggi, fleksibel, serta bisa dan memiliki jaringan bisnis yang luas.
6.       Berorientasi ke masa depan dengan watak persepsi dan memiliki cara pandang/carapikir yang berorientasi pada masa depan.
7.       Jujur dan tekun dengan watak memiliki keyakinan bahwa hidup itu sama dengan kerja.
Kasmir (2007) mengemukakan ciri-ciri wirausahawan yang berhasil, sebagaimana yang diuraikan berikut ini:
1.       Memiliki visi dan tujuan yang jelas. Hal ini berfungsi untuk menebak ke mana langkah dan arah yang dituju sehingga dapat diketahui langkah yang harus dilakukan oleh pengusaha tersebut
2.       Inisiatif dan selalu proaktif. Ini merupakan ciri mendasar di mana pengusaha tidak hanya menunggu sesuatu terjadi, tetapi terlebih dahulu memulai dan mencari peluang sebagai pelopor dalam berbagai kegiatan.
3.       Berorientasi pada prestasi. Pengusaha yang sukses selalu mengejar prestasi yang lebih baik daripada prestasi sebelumnya. Mutu produk, pelayanan yang diberikan, serta kepuasan pelanggan menjadi perhatian utama. Setiap waktu segala aktifitas usaha yang dijalankan selalu dievaluasi dan harus lebih baik dibanding sebelumnya.
4.       Berani mengambil risiko. Hal ini merupakan sifat yang harus dimiliki seorang pengusaha kapanpun dan dimanapun, baik dalam bentuk uang maupun waktu.
5.       Kerja keras. Jam kerja pengusaha tidak terbatas pada waktu, di mana ada peluang di situ dia datang. Kadang-kadang seorang pengusaha sulit untuk mengatur waktu kerjanya. Benaknya selalu memikirkan kemajuan usahanya. Ide-ide baru selalu mendorongnya untuk bekerja kerjas merealisasikannya. Tidak ada kata sulit dan tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan.
6.       Bertanggungjawab terhadap segala aktifitas yang dijalankannya, baik sekarang maupun yang akan datang. Tanggungjawab seorang pengusaha tidak hanya pada segi material, tetapi juga moral kepada berbagai pihak.
7.       Komitmen pada berbagai pihak merupakan ciri yang harus dipegang teguh dan harus ditepati. Komitmen untuk melakukan sesuatu memang merupakan kewajiban untuk segera ditepati dana direalisasikan.
8.       Mengembangkan dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak, baik yang berhubungan langsung dengan usaha yang dijalankan maupun tidak.
Hubungan baik yang perlu dlijalankan, antara lain kepada : para pelanggan, pemerintah, pemasok, serta masyarakat luas. Secara sederhana, seorang wirausahawan dapat didefenisikan sebagai orang yang menghasilkan suatu produk (barang/jasa) yang ditujukan bukan untuk digunakan sendiri, melainkan untuk ditawarkan kepada pihak lain yang membutuhkan dan bersedia untuk membelinya dengan tingkat harga tertentu. Dari hasil penjualan tersebut, ia berhasil memperoleh pendapatan untuk nafkah hidupnya serta memperoleh keuntungan untuk mengembangkan usahanya lebih lanjut. Dalam pengertian ini, wirausahawan adalah sebagai peranan sosial yang menjadikan ekonomi suatu komunitas dapat berputar.
Berdasarkan pendefenisian wirausahawan secara sederhana tersebut, dengan tanpa bermaksud mengabaikan pendapat para ahli mengenai karakter wirausahawan yang telah dikemukakan, pada pembelajaran kewirausahaan ini menggunakan pengelompokan ciri dan karakter wirausahawan sebagaimana yang dikemukakan oleh Suryana, A.S. (2007) yang diuraikan berikut ini.
1.       Percaya diri
Karakter yang masuk dalam ciri percaya diri adalah optimis, mandiri, jujur berintegritas, matang seimbang, berfokus pada diri, dan bertekad kuat. Dengan karakterkarakter tersebut, seorang wirausahawan percaya bahwa dirinya memiliki kemampuankemampuan tertentu yang dapat digunakan untuk mencapai sasaran-sasaran yang hendak dicapainya. Ia juga tidak akan gorah menghadapi gangguan-gangguan di tengah perjalanan untuk mencapai tujuan. Memiliki harga diri yang tinggi dan tidak mudah menyerah pada kegagalan. Pada saat mengalami kegagalan, ia menerimanya sebagai hambatan sementara dan sekaligus sebagai sumber belajar untuk menentukan upaya-upaya yang akan dilakukan selanjutnya.
2.       Berani Mengambil Resiko
Ciri berani mengambil resiko meliputi karakter pengambil resiko yang moderat dan dapat diperhitungkan, mampu belajar dari kegagalan, toleran terhadap ketidakpastian, menyukai tantangan dan agresif. Dengan karakter tersebut, seorang wirausahawan menyadari bahwa tidak semua faktor yang mempengaruhi tercapainya hasil berada dalam pengendaliannya. Karena itu, dalam setiap usaha untuk mencapai keberhasilan, padanya melekat kemungkinan untuk gagal yang sering disebut sebagai suatu resiko. Nilai resiko bagi seorang wirausahawan dapat diperhitungkan atau diperkirakan secara intuitif.
Bila nilai kerugian dari resiko terlalu kecil, bagi seorang wirausahawan tidak menarik untuk diambil, karena kurang menantang. Sebaliknya bila kemungkinan untuk berhasil terlalu kecil, ia pun tidak akan nekad untuk menghadapinya. Seorang wirausahawan hanya akan mengambil pilihan dengan resiko yang wajar dan realistis.
3.       Kreatif-Inovatif    
Energik, banyak akal (resourcefull), pengetahuan dan keterampilan luas (versatile), berdayacipta dan imajinatif dan luwes (fleksibel) adalah karakter yang menjadi ciri kreatif dan inovatifnya seorang wirausahawan. Tidak menyukai kerutinan maupun kemapanan yang menyebabkan seorang wirausahawan selalu kreatif menemukan hal-hal baru(inovatif). Ia tidak menyukai jalan buntu dan akan menghadapi segala situasi dan kondisi dengan sikap felksibel, serta selalu berupaya menemukan sumber-sumber alternatif sesuai dengan dasar wawasannya yang luas.
4.       Berorientasi Tugas dan Hasil
Karakter wirausahawan yang termasuk dalam ciri berorientasi tugas dan hasil meliputi butuh prestasi (need for Achievement/n-Ach), tekun dan teliti, berorientasi pada sasaran, efektif dan produktif, serta berorientasi laba. Seorang wirausahawan bila memiliki ide/gagasan senantiasa merasa perlu segera menentukan tindakan-tindakan untuk mewujudkannya. Begitu ia telah memulai tindakan, perhatiannya semata-mata tertuju kepada hasil yang hendak dicapainya. Dengan motivasi untuk berprestasi yang tinggi dan persediaan energi yang cukup ia berupaya untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkannya.
5.       Kepemimpinan
Ciri kepemimpinan pada seorang wirausahawan dapat dilihat dari berbagai karakter yang dimilikinya, yaitu: pengambil keputusan yang cepat dan sistematis, berinisiatif dan proaktif, dinamis, tanggap terhadap kritikan dan saran, kepribadian yang menarik dan mudah bergaul, kooperatif, bertanggung jawab, sadar pengaruh/kekuasaan serta berorientasi pada pelayanan. Seorang wirausahawan yang memiliki karakter-karakter tersebut dapat dilihat dari kemampuannya bergaul dan membangun jejaring yang memiliki prospek yang saling menguntungkan. Terhadap saran dan kritikan dari pemangku kepentingan (stakeholders) serta pihak-pihak lain ditanggapi secara positif, bahkan dijadikan sebagai salah satu sumber informasi yang dapat dimanfaatkan untuk pembentukan gagasan-gagasan dalam rangka perbaikan.
6.       Sadar Arus Waktu
Seorang wirausahawan harus sadar arus waktu yang ditandai dengan adanya karakter berupa memanfaatkan waktu dengan efisien, terarah ke masa depan, perspektif, menjalani waktu kronos dan menghayati waktu kairos. Dengan karakter tersebut, seorang wirausahawan dapat menggunakan kesempatan yang ada (kairos) sebaik mungkin, karena ia sadar bahwa waktu memiliki kurun obyektif (kronos) yang sama bagi setiap orang, tidak ada orang yang memiliki lebih dari 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu dan 52 minggu dalam per tahun.



BAB III
PELUANG-PELUANG USAHA


3.1       Sasaran Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kulia diharapkan mampu mengidentifikasi peluang-peluang usaha potensil yang ada disekitar lingkungannya dan menetapkan gagasan usaha/produk yang dapat meningkatkan kualitas hidup sesama manusia.

3.2       Peluang Usaha
Kewirausahaan dalam perspektif ekonomi dapat dijelaskan dari aspek peluang. Sebagaimana beberapa ahli mendefenisikan kewirausahaan sebagai tanggapan yang dilakukan seseorang terhadap peluang-peluang usaha yang diwujudkan dalam berbagai tindakan dengan berdirinya sebuah unit usaha sebagai suatu hasil dari tindakannya. Dalam perspektif sosiologi kemampuan menemukan peluang sangat tergantung pada interaksi antar-manusia untuk memperoleh dan mengakses informasi yang dibutuhkan terkait dengan peluang yang ada. Sedangkan dalam perspektif psikologi kemampuan seseorang dalam menemukan dan memanfaatkan peluang sangat tergantung dari karakter kepribadian yang dimilikinya.
Jelas kiranya bahwa salah satu faktor keberhasilan seorang wirausahawan adalah kemampuannya dalam jeli melihat peluang dan memanfaatkannya sebelum dimanfaatkan oleh orang lain. Kemampuan melihat peluang adalah modal dalam memunculkan ide awal untuk berwirausaha. Tidak semua orang mampu melihat peluang apalagi memanfaatkannya, demikian halnya kemampuan melihat peluang tidaklah sama antar setiap orang.
Seseorang yang telah mengenal potensi diri yang dimilikinya lebih cenderung memiliki kemampuan untuk melihat dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada.

3.3       Menemukan Peluang Usaha
Peluang usaha bersumber dari adanya kebutuhan dari individu atau masyarakat. Oleh karena itu jika ingin mulai mewujudkan berwirausaha, hendaknya terlebih dahulu menjawab pertanyaan” “Apakah yang menjadi kebutuhan masyarakat atau kebanyakan anggota masyarakat saat ini atau di masa yang akan datang?”.
 Untuk memahami kebutuhan masyarakat diperlukan suatu diagnosa terhadap lingkungan usaha secara keseluruhan, yang meliputi faktor ekonomi, politik, pasar, persaingan, pemasok, teknologi, sosial dan geografi. Lingkungan usaha senantiasa berubah setiap saat, bahkan perubahannya cukup pesat dan seiring dengan itu terjadi pula perubahan kebutuhan masyarakat. Untuk menemukan peluang usaha yang prospektif seharusnya kita sebagai wirausahawan senantiasa mencari informasi yang terkait dengan perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat.
Sumber informasi dapat diperoleh dari instansi/lembaga pemerintah, media
massa, pasar atau mungkin melalui wawancara dengan konsumen. Jadi, peluang senantiasa ada karena perubahan-perubahan terus berlangsung baik di tingkat individu, maupun ditingkat masyarakat. Kemampuan kita melihat peluang sangat tergantung dari informasi yang kita peroleh tentang faktor lingkungan usaha.
Berangkat dari pertanyaan di atas dengan memanfaatkan potensi diri kita, maka
dalam menemukan peluang usaha yang cocok, kita dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu:
1.         Pendekatan in-side-out (dari dalam ke luar) bahwa keberhasilan akan dapat diraih dengan memenuhi kebutuhan yang ada saat ini.
2.         Pendekatan out-side-in (dari luar ke dalam) bahwa keberhasilan akan dapat diraih dengan menciptakan kebutuhan

3.4       Memilih Lapangan Usaha dan Mengembangkan Gagasan Usaha
Setelah mengetahui kebutuhan masyarakat dan berhasil menemukan berbagai apangan usaha dan gagasan usaha, maka langkah berikutnya adalah menjawab pertanyaan: “Manakah di antara lapangan usaha dan gagasan-gagasan usaha tersebut yang paling tepat dan cocok untuk saya?” Pertanyaan ini sangat tepat, mengingat setiap orang memiliki potensi diri yang berbeda-beda. Tentunya dalam memilih lapangan usaha dan mengembangkan gagasan usaha, kita perlu menyesuaikan dengan potensi diri yang kita miliki.
Kekeliruan dalam memilih yang disebabkan karena ketidakcocokan atau ketidaksesuaian pada akhirnya akan mendatangkan kesulitan atau bahkan kegagalan di kemudian hari. Telah banyak fakta yang dapat dikemukakan, bahwa masih banyak wirausahawan yang memulai usahanya dengan melihat keberhasilan orang lain dalam menjalankan usahanya (latah atau ikut-ikutan). Pada hal belum tentu orang lain berhasil dalam suatu lapangan usaha, kita juga dapat berhasil dengan lapangan usaha yang sama.
Mungkin saja orang lain berhasil karena potensi diri yang dimilikinya cocok dengan lapangan usaha tersebut dan kemampuan dia untuk mengakses informasi terkait dengan usaha yang dijalankannya. Bisa saja kita mengikuti orang yang telah berhasil dalam suatu lapangan usaha, namun kita perlu memiliki nilai lebih dari aspek kualitas yang kita tawarkan kepada konsumen. Namun kemampuan menawarkan aspek kualitas yang lebih tetap juga terkait dengan potensi diri yang kita miliki. Olehnya itu, dalam memilih lapangan usaha yang akan kita geluti, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
1.         Lapangan usaha yang cocok untuk orang lain belum tentu cocok bagi kita.
2.         Lapangan usaha yang pada masa lalu menguntungkan, belum tentu pada saat ini masih menguntungkan, atau lapangan usaha yang menguntungkan saat ini belum tentu menguntungkan di masa yang akan datang.
3.         Lapangan usaha yang berkembang baik di suatu daerah, belum tentu dapat berkembang dengan baik pula di daerah lain, dan sebaliknya.
Berangkat dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dalam memilih lapangan usaha, kita perlu kembali melihat dan mengkaji kondisi internal kita dan kondisi eksternal dimana usaha kita jalankan, karena faktor internal dan eksternal ini akan sangat menentukan kesuksesan kita dalam menjalankan usaha. Faktor internal yang dimaksud seperti penguasaan sumberdaya (lahan, bangunan, peralatan dan finansial), penguasaan teknis atau keterampilan, penguasaan manajemen dan jejaring sosial yang kita miliki.
 faktor eksternal seperti peraturan pemerintah, tingkat permintaan dan penawaran, persaingan, resiko dan prospek ekonomi baik lokal, regional, nasional maupun global. Berdasarkan uraian di atas, maka langkah awal yang perlu kita lakukan adalah menginventarisir berbagai jenis lapangan usaha dan gagasan produk yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Kehidupan manusia dapat berkualitas ketika semua komponen kebutuhannya terpenuhi.  Mungkin dari langkah awal tadi, kita telah menemukan ratusan atau bahkan ribuan gagasan usaha. Untuk memperkecil pilihan dalam melakukan analisis berikutnya, maka kita harus menyeleksi berbagai jenis gagasan usaha yang telah kita lakukan pada langkah pertama tadi.
Gagasan usaha yang dipilih adalah gagasan yang memiliki prospek secara
ekonomi yang dapat berupa pertimbangan bahwa produk yang dihasilkan merupakan kebutuhan vital bagi manusia dengan tingkat permintaan dan harga yang relatif memadai. Selanjutnya alternatif pilihan lebih diperkecil lagi dengan memilih beberapa gagasan usaha dengan mempertimbangkan potensi diri (faktor internal) kita. Hasil akhir dari langkah-langkah yang telah kita lakukan akan diperoleh beberapa gagasan usaha yang telah terurut berdasarkan prioritasnya.
            Agar pilihan kita lebih aman dan dapat dikuasai dengan baik, maka perlu dilakukan analisis kembali dengan mempertimbangkan faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan yang kita miliki jika kita memilih gagasan usaha yang bersangkutan, dan dan faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang akan
dihadapi jika kita menjatuhkan pilihan pada gagasan usaha yang bersangkutan.



BAB IV
ASPEK PEMASARAN


4.1       Sasaran Pembelajaran
Setelah mengikuti proses pembelajaran ini diharapkan mahasiswa peserta mata kuliah mampu untuk merancang strategi pemasaran dari gagasan produk yang telah dihasilkan pada pembelajaran sebelumnya.

4.2       Defenisi Pemasaran
Berbagai literatur mengenai pemasaran akan ditemukan pula berbagai macam defenisi mengenai pemasaran. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan orang yang mendefenisikannya dalam memandang dan meninjau pemasaran. Dalam kegiatan pemasaran ini, aktivitas pertukaran merupakan hal sentral, olehnya itu secara sederhana, Soekartawi (1993) mendefenisikan pemasaran sebagai aliran barang dari produsen ke konsumen.
Dalam pengaliran barang tersebut tentunya bertujuan untuk memuaskan konsumen, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sukotjo (1991) yang mendefenisikan pemasaran sebagai suatu sistem keseluruhan dari suatu kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang atau jasa yang dapat memuaskan pembeli/konsumen.
Manusia harus menemukan kebutuhannya terlebih dahulu, sebelum ia memenuhinya. Usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengadakan suatu hubungan. Dengan demikian pemasaran bisa juga diartikan suatu usaha untuk memuaskan kebutuhan pembeli dan penjual (Swastha, 1996). Pemasaran memiliki konsep inti yang meliputi kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan permintaan (demands). Olehnya itu, Assauri (1996) mengemukakan bahwa pemasaran adalah kegiatan manusia yang diarahkan untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran. Pertukaran merupakan kegiatan pemasaran dimana seseorang berusaha menawarkan sejumlah barang atau jasa dengan sejumlah nilai keberbagai macam kelompok sosial untuk memenuhi kebutuhannya.
Pemasaran sebagai kegiatan manusia diarahkan untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan melalui proses pertukaran. Definisi yang sesuai dengan tujuan tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Kotler (1997) bahwa pemasaran sebagai suatu proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai di dalam pasar. Proses pemasaran merupakan kelanjutan dari proses produksi yang bertujuan agar apa yang telah diinvestasikan dalam kegiatan produksi dapat diperoleh kembali dengan memperoleh keuntungan dari hasil penjualan sebagai imbalan investasi yang telah dilakukan.
Pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen sebagai faktor kunci dalam pemasaran sangatlah tepat karena saat ini pemasaran sebuah produk akan diperhadapkan
pada tingkat persaingan yang sangat ketat. Olehnya itu Gitisudarmo (2000)
mengemukakan bahwa konsep pemasaran terbaru saat ini adalah konsep yang berorientasi pada persaingan, dimana pengusaha berpikir untuk memperoleh persaingan yang lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya dalam melayani konsumen. Konsep ini tidak hanya menekankan untuk melayani konsumen sebaik-baiknya, namun harus pula berusaha untuk tampil meyakinkan dan memuaskan di mata konsumen dibandingkan dengan pesaing.
Berangkat dari apa yang telah diuraikan, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya proses pemasaran dimulai dari menemukan apa yang diinginkan oleh konsumen. Atau dengan kata lain mengetahui apa yang diinginkan oleh konsumen yang berkenaan dengan produk, kinerja serta kualitas adalah tahap pertama yang sangat penting dari kegiatan pemasaran.

4.3       Tugas, Fungsi dan Orientasi Pemasaran
            Secara teoritis pemasaran mempunyai 9 (sembilan) fungsi, yang dapat diuraikan, sebagai berikut:
1.         Fungsi perdagangan (merchandising)
Perencanaan yang berkenaan dengan pemasaran produk (barang dan/atau jasa) yang tepat, dalam jumlah yang tepat, serta harga yang selaras, termasuk di dalamnya faktorfaktor lain seperti bentuk, ukuran, kemasan dan sebagainya.
2.         Fungsi Pembelian (buying)
Peranan perusahaan dalam pengadaan bahan sesuai dengan kebutuhannya.
3.         Fungsi Penjualan (selling)
Meyakinkan orang untuk membeli suatu produk (barang dan/atau jasa) yang mempunyai arti komersial baginya.
4.         Fungsi Transportasi (transportation)
Perencanaan, seleksi dan pengerahan semua alat pengangkutan untuk memudahkan produk (barang dan/atau jasa) dalam proses pemasaran.
5.         . Fungsi Pergudangan (storage)
Menyimpan barang selama waktu produk tersebut dihasilkan dan dijual.
6.         Fungsi Standarisasi (standardization)
Penetapan batas-batas elementer berupa perincian-perincian yang harus dipenuhi oleh produk, termasuk di dalamnya grading, yakni memilih kesatuan dari suatu produk yang dimasukkan ke dalam kelas-kelas dan derajat-derajat yang sudah ditetapkan dengan standarisasi.
7.         Fungsi Keuangan (financing)
Merupakan usaha untuk mencari dan mengurus modal dan kredit yang langsung bersangkutan dengan transaksi dalam mengalirkan produk (barang dan/atau jasa) dari produsen ke konsumen.
8.         Fungsi Komunikasi (communication)
Segala sesuatu yang dapat memperlancar hubungan di dalam perusahaan dan di luar         perusahaan.
9.         iFungsi Resiko (risk)
Fungsi untuk menangani atau menghadapi resiko kerugian karena kerusakan,         kehilangan atau anjloknya harga di pasaran.
Sesuai dengan fungsi sebagaimana telah diungkapkan, maka pemasaran memiliki 8 (delapan) tugas, yaitu:
1.         Mengubah orang yang tidak suka terhadap suatu produk menjadi suka (conversional marketing).
2.         Mendorong kebutuhan orang yang tidak berminat atau mengetahui (stimulational marketing).
3.         Mengembangkan pemenuhan kebutuhan yang belum terpenuhi (developmental marketing).
4.         Mengaktifkan keinginan atas produk yang stabil atau permintaan terhadap produk yang menurun (remarketing).
5.         Menyelaraskan pola permintaan agar sesuai dengan pola penawaran (synchromarketing).
6.         Memelihara tingkat penjualan yang sudah ada terhadap suatu produk (maintnence marketing).
7.         Mengurangi tingkat penjualan yang sudah ada terhadap suatu produk tertentu (demarketing).
8.         Merintangi permintaan atau keinginan terhadap suatu produk tertentu (counter marketing).
Orientasi terhadap pasar berbeda-beda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Tergantung konsep yang digunakan oleh perusahaan dalam melaksanakan kegiatan pemasarannya. Hal ini merupakan falsafah yang mendasari usaha pemasaran perusahaan terkait dengan bobot relatif antara kepentingan perusahaan sendiri, konsumen dan masyarakat umum. Kotler (1997) mengemukakan bahwa terdapat 5 (lima) konsep yang dapat dipilih oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan pemasarannya, yaitu:
1.         Konsep Produksi yang merupakan salah satu konsep tertua dalam bisnis. Konsep produksi menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang tersedia di banyak tempat dan ditawarkan dengan harga yang murah. Asumsi ini berlaku paling tidak dalam dua situasi. Pertama, jika permintaan atas produk melebihi penawaran, dimana konsumen lebih tertarik mendapatkan produk daripada keistimewaan produk tersebut. Kedua, ketika biaya produk tinggi dan harus diturunkan untuk memperluas pasar. Pusat perhatian perusahaan pada upaya untuk mencapai efisiensi produksi yang tinggi dan distribusi yang luas.
2.         Konsep Produk yang menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang menawarkan mutu, kinerja dan pelengkap inovatif yang terbaik. Dengan konsep ini, perusahaan memusatkan perhatian pada usaha untuk menghasilkan produk yang unggul dan terus menyempurnakannya.
3.         Konsep Penjualan yang menyatakan bahwa konsumen jika diabaikan, biasanya tidak akan membeli produk perusahaan dalam jumlah yang cukup. Olehnya itu, perusahaan harus melakukan upaya penjualan dan promosi yang agresif.
4.         Konsep Pemasaran merupakan konsep yang menentang tiga konsep sebelumnya. Konsep ini menyatakan bahwa kunci untuk meraih tujuan perusahaan adalah menjadi lebih efektif daripada pesaing dalam memadukan kegiatan pemasaran guna menetapkan dan memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen sebagai pasar sasaran.
5.         Konsep Pemasaran Berwawasan Sosial merupakan perluasan dari konsep pemasaran. Konsep ini menyatakan bahwa tugas perusahaan adalah menentukan kebutuhan, keinginan dan kepentingan pasar sasaran dan memberikan kepuasan yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien daripada pesaing dengan mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan konsumen dan masyarakat. Konsep ini mengajak para pemasar membangun pertimbangan sosial dan etika dalam praktek pemasaran mereka, karena sering terjadi konflik kepentingan antara kepentingan untuk meningkatkan laba perusahaan, kepentingan untuk memberikan kepuasan kepada konsumen, serta perhatian kepada kepentingan publik.

4.4       Sasaran dan Strategi Pemasaran
Sasaran pemasaran yang dimaksud adalah terkait dengan apa yang akan dicapai dalam kegiatan pemasaran. Umumnya perusahaan dalam menjalankan aktifitas pemasarannya memiliki sasaran yang tidak hanya satu, melainkan terdiri dari bauran berbagai sasaran, misalnya jumlah peningkatan keuntungan, volume penjualan dan pangsa pasar yang akan dituju serta pembatasan resiko dan kerugian. Agar manajemen perusahaan dapat bekerja dengan berorientasi pada sasaransasaran yang telah ditetapkan, maka sasaran-sasaran tersebut setidaknya memenuhi empat kriteria, sebagai berikut:
1.         Sasaran harus diurutkan secara hierarkis, dari yang paling penting hingga ke sasaran yang kurang penting untuk dicapai. Sebagai contoh, sasaran utama perusahaan dalam suatu periode tertentu adalah peningkatan tingkat pengemb,alian investasi. Hal ini dapat dicapai dengan peningkatan pendapatan dan/atau pengurangan jumlah modal yang diinvestasikan. Pendapatan dapat ditingkatkan dengan melakukan upaya peningkatan pangsa pasar dan/atau harga jual.
2.         Sasaran sedapat mungkin harus dinyatakan secara kuantitatif, misalnya peningkatan pendapatan sebesar 25% per tahun atau peningkatan volume penjualan sebanyak 15 ton per bulan.
3.         Sasaran yang ditetapkan harus realistis, tidak berdasarkan angan-angan saja. Kepemilikan dan kemampuan sumberdaya perusahaan dan kondisi lingkungan eksternal harus menjadi bahan pertimbangan. Tentunya harus dilengkapi dengan data dan fakta sebagai dasarnya.
4.         Sasaran harus konsisten, sebagai contoh tidak mungkin memaksimalkan penjualan dan laba secara serentak, tentunya laba hanya dapat ditingkatkan apabila telah mampu meningkatkan penjualan Sasaran pemasaran sebagaimana yang telah dikemukakan menunjukkan apa yang ingin dicapai perusahaan dalam hal pemasaran produknya, sedangkan untuk mencapainya dibutuhkan rencana yang disebut strategi pemasaran.
Meskipun banyak strategi yang dapat dilakukan dalam pemasaran, namun Michael Porter dalam Kotler (1997) telah merangkumnya menjadi tiga jenis umum yang memberikan awal yang baik untuk pemikiran strategis, yaitu:
1.         Keunggulan biaya secara keseluruhan, perusahaan berupaya untuk mencapai biaya produksi dan distribusi yang terendah, sehingga harga yang ditawarkan kepada konsumen lebih rendah dibandingkan dengan pesaing dan memperoleh pangsa pasar yang besar.
2.         Diferensiasi, upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen yang dinilai penting oleh sebagian besar pasar. Perusahaan harus menjadi yang terbaik dalam hal kualitas, pelayanan, gaya teknologi dan sebagainya atau memiliki kekuatan yang memberikan keunggulan kompetitif dalam satu atau lebih manfaat.
3.         Fokus, upaya perusahaan untuk memfokuskan diri pada satu atau lebih segmen pasar yang sempit daripada mengejar pasar yang lebih besar. Perusahaan harus memahami kebutuhan segmen pasarnya dan berupaya mencapai keunggulan biaya atau diferensiasi lainnya dalam segmen pasar yang menjadi sasarannya.

4.5       Segmentasi, Target dan Posisi Pasar
Pasar terdapat banyak konsumen yang berbeda-beda dalam banyak hal. Tidak semua konsumen dapat kita jangkau dan penuhi kebutuhan serta keinginannya. Misalnya, kebutuhan konsumen anak-anak mungkin berbeda dengan kebutuhan orang dewasa, demikian juga kebutuhan konsumen yang berpendapatan kecil berbeda dengan kebutuhan konsumen yang berpendapatan tinggi. Di sini kita sebagai wirausahawan diperhadapkan pada bagaimana menciptakan produk yang tepat sesuai dengan kebutuhan konsumen tertentu.
Kita mungkin perlu bertanya kepada siapa produk akan dijual? Apakah kepada semua orang ? apakah konsumen anak-anak atau dewasa? Dari mana konsumen berasal? Berapa daya beli atau penghasilan mereka? dan berbagai pertanyaan yang terkait dengan karakteristik konsumen yang akan kita tuju. Itulah sebabnya dibutuhkan adanya segmentasi pasar yang menurut Swasta (1996) diartikan sebagai kegiatan membagi-bagi pasar yang bersifat heterogen dari suatu produk ke dalam satuan-satuan pasar (segmen pasar) yang bersifat homogen. Segmentasi utama pasar konsumen dapat dibagi menjadi:
1.         Segmentasi Geografis yang dapat dikelompokkan menjadi segmen wilayah (di wilayah mana produk akan dijual?) dan segmen daerah (apakah kita akan memasarkan di daerah perdesaan atau perkotaan?).
2.         Segmentasi Demografis merupakan pengelompokan berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, agama, pendapatan, kelas sosial dan sebagainya.
3.         Segmentasi Psikografis yang meliputi pengelompokan konsumen berdasarkan gaya hidup, kepribadian dan sebagainya.
4.         Segmentasi Perilaku merupakan pengelompokan konsumen berdasarkan status pemakai, tingkat pemakaian, kesetiaan, sikap dan sebagainya.
Tidak semua segmen pasar yang ada efektif bagi suatu perusahaan. Segmen pasar yang baik, setidaknya memiliki ciri: dapat diukur derajat atau kemampuan membelinya, perusahaan mampu untuk mencapainya, jumlahnya cukup besar dan tentunya menguntungkan bagi perusahaan.
Setelah menentukan segmen pasar yang diinginkan, selanjutnya perlu ditetapkan berapa banyak dan segmen yang mana yang akan dibidik sebagai target pasar perusahaan. Menggarap target pasar, terdapat lima pola yang dapat dipilih, yaitu:
1.         Konsentrasi segmen tunggal, perusahaan hanya memilih satu segmen saja
2.         Spesialisasi selektif, perusahaan hanya memilih sejumlah segmen yang menarik secara obyektif.
3.         Spesialisasi produk, perusahaan hanya berkonsentrasi menghasilkan produk tertentu untuk segmen tertentu.
4.         Spesialisasi pasar, perusahaan berkonsentrasi memenuhi banyak kebutuhan untuk pasar tertentu.
5.         Cakupan seluruh pasar, perusahaan melayani semua kebutuhan pada seluruh kelompok pelanggan.
Strategi pemasaran harus disesuaikan dengan posisi perusahaan dalam persaingan, apakah memimpin, menantang, mengikuti atau hanya mengambil sebagian kecil dari pasar.
1.         Perusahaan pemimpin pasar (market leader)
Pemimpin pasar biasanya memiliki pangsa pasar yang besar dan posisi ini dapat
dipertahankan dengan cara:
a.   Mempertahankan jumlah pasarnya melalui upaya memperpanjang lini produknya, menambah lini produk dan diversifikasi produk.
b.   Meningkatkan pangsa pasar yang dimiliki melalui upaya memperoleh konsumen baru, mendapatkan kegunaan baru dari produk yang bersangkutan dan meningkatkan frekuensi penggunaan dari produk yang bersangkutan.
c.   Mempertahankan pangsa pasar yang ada saat ini.
2.         Perusahaan penantang pasar (market challenger)
Perusahaan yang tergolong penantang pasar adalah perusahaan yang memutuskan untuk melakukan konfrontasi langsung dengan pemimpin pasar dan lainnya dalam upaya untuk meningkatkan pangsa pasarnya. Upaya peningkatan pangsa pasar dapat dilakukan dengan cara:
a.   Menyerang langsung para pesaingnya
b.   Memanfaatkan daerah-daerah dimana para pesaingnya lemah
c.   Merebut pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan lain yang lebih kecil
Untuk meraih kesuksesan, perusahaan penantang pasar biasanya harus
mengembangkan lebih dari satu taktik, seperti: menghasilkan produk yang lebih rendah kualitasnya dengan harga yang lebih murah, melakukan potongan harga, memproduksi atau menawarkan produk yang berkualitas tinggi, memperpanjang lini produk, menyempurnakan produk, menekan biaya, menggiatkan promosi, menyempurnakan distribusi dan meningkatkan pelayanan.
3.         Perusahaan pengikut pasar (market followers)
Perusahan tipe ini adalah perusahaan yang merasa bahwa akan lebih banyak ruginya daripada untungnya bila menyerang para pesaing yang nyata-nyata lebih kuat dan dapat bertahan lebih lama dalam peperangan tersebut. Upaya dilakukan dengan cara:
a.   Mempertahankan pelanggan yang ada saat ini dan bila ada kesempatan akan berupaya untuk mendapatkan pelanggan baru
b.   Biaya yang digunakan dalam operasional diupayakan serendah mungkin, namun tetap mempertahankan kualitas
c.   Mengambil persfektif jangka panjang danmengabaikan pelanggan jangka pendek yang menggunakan kesempatan pada saat harga turun
4.         Perusahaan yang melayani satu pasar (market nicher)
Melayani suatu pangsa pasar tertentu merupakan pilihan yang baik bagi perusahaanperusahaan yang tidak menjadi pemimpin pasar dan memungkinkan mereka untuk meluaskan atau mempertahankan pangsa pasar yang mereka miliki.

4.6       Bauran Pemasaran
Menurut Maulana (1992) bahwa ruang lingkup pemasaran yang luas dapat disederhanakan menjadi empat kegiatan utama, yaitu produk, harga, tempat dan promosi. Kegiatan utama yang dimaksud adalah merupakan bidang keputusan yang penting yang diistilah kan oleh Kotler (1997) sebagai bauran pemasaran (marketing mix) yang didefenisikan sebagai perangkat alat pemasaran yang digunakan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan dalam pasar sasaran.
1.         Produk (product)
Produk merupakan sekumpulan atribut yang nampak maupun yang tidak nampak mencakup warna, bentuk, aroma, kemasan dan sebagainya yang diterima oleh konsumen dan dapat memenuhi kebutuhannya. Strategi produk dalam bauran pemasaran merupakan unsur yang paling penting, karena dapat mempengaruhi strategi pemasaran lainnya. Strategi produk yang dapat dilakukan mencakup keputusan tentang acuan bauran produk (product mix), merek dagang (brand), cara pengemasan atau kemasan produk (product packing), serta tingkat kualitas dari produk dan pelayanan (service) yang diberikan. Kulaitas produk memiliki peran yang cukup signifikan dalam upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Melakukan produksi tanpa memperhatikan kualitas dari produksi itu sendiri akan berakibat pada berpindahnya pelanggan ke produk perusahaan lain yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan perusahaan.
2.         Harga (price)
Harga menurut Kotler (1997) adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh konsumen untuk mendapatkan suatu barang atau dengan kata lain bahwa jumlah nilai yang ditukarkan oleh konsumen dengan manfaat atas menggunakan produk perusahaan. Salah satu kunci keberhasilan perusahaan dalam melaksanakan aktifitas pemasarannya adalah kebijaksanaan dalam penentuan harga. Hal ini penting, karena harga yang ditetapkan oleh perusahaan akan menjadi bahan pertimbangan bagi konsumen untuk mengambil keputusan dalam pembelian produk.
3.         Distribusi/Tempat (place)
Suatu komoditi dapat dikatakan sebagai sebuah produk apabila berada pada tempat saat dibutuhkan oleh konsumen. Olehnya itu, disinilah letak fungsi perusahaan untuk melakukan distribusi terhadap produk yang dihasilkannya agar produk tersebut menjadi wujud yang sebenarnya. Kegiatan distribusi merupakan kegiatan penyampaian produk agar sampai ke tangan konsumen pada waktu yang tepat. Oleh sebab itu, kebijakan distribusi merupakan salah satu strategi perencanaan pemasaran terpadu yang meliputi penentuan saluran pemasaran dan saluran distribusi. Saluran
distribusi merupakan jalur yang digunakan oleh perusahaan untuk menyalurkan produknya, baik secara langsung ke konsumen atau dengan menggunakan jasa lembaga pemasaran atau perantara. Dalam memilih saluran distribusi, perusahaan sedapat mungkin menyesuaikan dengan keadaannya, misalnya jenis produk yang digasilkan, biaya yang dikeluarkan, waktu, resiko, luas wilayah, mutu produk serta keuntungan yang akan diperoleh.
4.         Promosi (promotion)
Ketatnya persaingan dalam merebut pangsa pasar, maka promosi dapat dijadikan sebagai salah satu peralatan manajemen yang berguna untuk menjalin komunikasi kepada konsumen dengan maksud mempengaruhi dan mendorong konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan oleh perusahaan. Kegiatan promosi dapat dilakukan dengan cara langsung bertatap muka dengan (calon) konsumen atau sering dikenal dengan istilah personal selling ataupun melalui media cetak atau elektronik.

4.7       Menetapkan Nilai Pemasaran
Konsumen dalam membeli dan mengkonsumsi sesuatu bukan hanya mengharapkan sekedar barang saja, akan tetapi ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu sesuai dengan citra yang terbentuk dalam dirinya. Suatu perusahaan berkepentingan untuk memberikan informasi kepada publik agar dapat membentuk citra yang baik. Citra tidak dapat dibuat seperti barang dalam suatu pabrik, akan tetapi citra adalah kesan yang diperoleh sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap sesuatu.
Citra yang ada pada perusahaan terbentuk dari bagaimana perusahaan tersebut melakukan kegiatan operasionalnya yang mempunyai landasan utama pada segi pelayanan. Ciri-ciri pembentuk citra yang sering bersinggungan dengan kegiatan pemasaran, misalnya, merek, pelayanan, proses dan sebagainya. Program yang baik dalam suatu perencanaan dalam pengembangan produk atau jasa tidak akan lupa untuk mencantumkan kegiatan perusahaan yang mencakup ciri pembentuk citra untuk produk dan jasa atau perusahaannya.
Merek merupakan nilai yang berkaitan dengan nama atau perusahaan. Jika produk mudah ditiru oleh pesaing, maka merek memiliki keunikan yang sulit untuk ditiru. Merek yang baik adalah merek yang menggambarkan sesuatu mengenai manfaat produk, mudah diingat, memiliki ciri khas, serta dapat didaftarkan untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Selain merek, pelayanan merupakan nilai yang berkaitan dengan penyampaian produk kepada konsumen. Bentuk pelayanan ini setidaknya berbentuk Pelayanan yang dimulai jauh sebelum tatap muka secara fisik (reliability), cepat tanggap bila ditemukan adanya kelalaian (responsivenes), adanya jaminan keamanan (assurance), mau mengerti dan mau menangani (emphaty) serta nampak dan nyata (tangible).
Keterlibatan seluruh pihak yang terlibat dalam perusahaan dalam memiliki dan meningkatkan rasa tanggung jawabnya untuk memberikan kepuasan kepada konsumen juga sangat penting sebagai nilai yang prinsipil bagi perusahaan. Adanya rasa tanggung jawab seluruh pihak dalam perusahaan terhadap pencapaian kepuasan memungkinkan tercapainya kesuksesan perusahaan dalam pemasaran dan tentunya kesuksesan perusahaan secara menyeluruh.



BAB V
ASPEK PRODUKSI


5.1       Sasaran Pembelajaran
Setelah melalui proses pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah mampu untuk merancang kebutuhan dalam kegiatan produksi dan proses produksi gagasan produknya.

5.2       Defenisi Produksi
Berbagai literatur tentang produksi mendefenisikan produksi dengan gaya pengungkapan yang berbeda-beda. Istilah produksi sering digunakan dalam suatu organisasi untuk menghasilkan suatu keluaran atau output, baik berupa barang maupun jasa. Produksi dari sudut pandang kegiatan penciptaan produk seperti yang dikemukakan oleh Assauri (1993) bahwa produksi merupakan kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan barang atau jasa.
Demikian pula defenisi yang dikemukakan oleh Reksohadiprojo dan Gitosudarmo (2003) bahwa produksi adalah kegiatan untuk menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa sesuai dengan kehendak konsumen dalam hal jumlah, kualitas, harga serta waktu. Produksi tidak hanya menciptakan produk sebagai keluaran (output), namun juga menggunakan berbagai faktor produksi sebagai masukan (input). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prawirosentono (1997) bahwa produksi adalah membuat atau menghasilkan produksi suatu barang dari berbagai bahan lain. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sofyan (1999) bahwa produksi diartikan sebagai suatu kegiatan atau proses yang mentransformasikan masukan menjadi keluaran atau dengan pengertian bahwa produksi mencakup setiap proses yang mengubah masukan menjadi keluaran yang berupa barang dan jasa.
Produksi sebagai suatu proses, diartikan sebagai cara, metode ataupun teknik bagaimana produksi itu dilaksanakan atau suatu kegiatan untuk menciptakan dan menambah kegunaan (Utility) suatu barang dan jasa. Ahyari (1990) mengemukakan bahwa proses produksi adalah suatu cara, metode ataupun teknik menambah kegunaan suatu barang dan jasa dengan menggunakan faktor produksi yang ada.
Melihat berbagai definisi yang telah diungkapkan di atas, maka dapat dirumuskan bahwa proses produksi dalam konteks kewirausahaan adalah merupakan kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan menggunakan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, mesin, bahan baku dan dana, agar menghasilkan produk yang dibutuhkan dan sesuai dengan yang diharapkan oleh konsumen.

5.3       Kebutuhan Proses Produksi
Sebelum melaksanakan proses produksi terlebih dahulu perlu dirancang kebutuhan sarana dan prasarana yang akan digunakan dalam menghasilkan produk, sarana dan prasarana inilah yang sering disebut sebagai input produksi yang meliputi bahan, tenaga kerja, mesin/peralatan, lokasi dan biaya (uang).


1.         Bahan Baku
Dalam menyusun kebutuhan bahan baku untuk digunakan dalam proses produksi harus mengacu pada karakteristik produk yang akan dihasilkan. Misalnya saja, jika berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap pasar produk yang akan dihasilkan, konsumen menginginkan produk yang rasanya manis dan berwarna merah, tentunya bahan yang dibutuhkan dalam proses produksi adalah gula dan pewarna merah.
Dengan demikian, kualitas produk yang akan dihasilkan sesuai dengan permintaan konsumen, sangat ditentukan oleh kualitas bahan baku yang digunakan. Ini yang menjadi alasan mengapa perusahaan perlu melakukan penanganan bahan baku, terutama dalam mengendalikan kualitas untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Pengendalian dalam pengadaan bahan baku terutama pada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan hasil-hasil pertanian primer sebagai bahan bakunya sangat penting untuk dilakukan, karena hasil pertanian primer memiliki ciri yang apabila tidak dikendalikan akan mendatangkan kerugian bagi perusahaan.
Jenis bahan yang digunakan oleh perusahaan dalam proses produksinya dapat dibedakan menjadi bahan langsung dan bahan tak langsung. Bahan langsung adalah bahan yang digunakan dalam proses produksi dan terikat atau menjadi bagian dalam produk. Sedangkan bahan tak langsung adalah bahan yang bukan atau tidak menjadi bagian dalam produk, namun sangat diperlukan untuk mendukung produksi. Agar produksi dapat berjalan lancar, maka dalam pemilihan bahan baku yang akan digunakan setidaknya memenuhi syarat:
a. Kualitasnya Baik
Sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa untuk memperoleh kualitas produk yang baik, diperlukan bahan yang juga berkualitas baik. Selain itu, penggunaan bahan baku yang berkualitas memungkinkan untuk melakukan penyimpanan dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian, perusahaan dapat melakukan pembelian dalam jumlah yang besar, sehingga interval pembelian dapat diperjarang yang berarti perusahaan dapat menekan biaya pengangkutan. Selain itu, biasanya perusahaan akan mendapat harga bahan yang relatif rendah dari pemasok jika pembelian dilakukan dalam jumlah yang besar. Ini berarti perusahaan dapat menekan biaya pembelian.
b. Mudah diperoleh
Selain aspek kualitas, kelancaran proses produksi juga sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan baku dari aspek kuantitas dan kontinyuitasnya. Ini berarti bahwa bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi harus dapat diperoleh setiap saat dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.
c. Mudah diolah
Bahan baku yang digunakan sedapat mungkin mudah diolah, karena bahan baku yang sulit diolah biasanya memiliki konsekuensi terhadap biaya produksi dan pada akhirnya juga akan berpengaruh pada harga jual produk. Apabila bahan baku dapat diolah dengan mudah, kemungkinan besar biaya produksi akan lebih ringan ketimbang pengolahanbahan baku tersebut dilakukan dengan peralatan yang sulit dicari atau harganya mahal atau harus diolah di tempat/perusahaan lain. Sebagai contoh, apabila perusahaan menggunakan bahan baku tepung beras, maka lebih baik perusahaan membeli bahan yang telah berbentuk tepung beras daripada membeli beras yang kemudian diolah sendiri menjadi tepung beras.
d. Harga yang relatif murah
Bahan baku yang akan digunakan dalam proses produksi sedapat mungkin juga harus relatif murah. Dalam artian bahwa bahan baku yang dibutuhkan harganya tidak melebihi harga yang berlaku di pasara secara umum. Konsekuensi dari tingkat harga bahan baku yang murah tentunya pada tingkat biaya produksi yang rendah dan pada akhirnya harga jual dapat lebih rendah dibandingkan dengan pesaing.
2.         Tenaga Kerja
Tenaga kerja atau sumberdaya manusia merupakan asset penting perusahaan. Dalam proses produksi, tenaga kerja merupakan penggerak berjalannya proses produksi. Meskipun bahan baku yang digunakan telah memenuhi standar kualitas, peralatan yang digunakan telah memadai, jika tenaga kerja yang menjalankan operasional produksi tidaksesuai dalam hal jumlah dan kualifikasi yang diharapkan, maka mustahil perusahaan dapat menghasilkan produk yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan oleh konsumen dan perusahaan. Meskipun tenaga kerja dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam aktifitas proses produksi perusahaan, namun kadang dalam operasional perusahaan, hal ini sering dikesampingkan, terutama yang terkait dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Pertimbangan yang sering digunakan adalah mudahnya untuk mendapatkan tenaga kerja dengan alasan bahwa setiap orang dianggap membutuhkan pekerjaan.
Kondisi yang demikian menyebabkan banyaknya tenaga kerja produksi yang dipekerjakan pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki.
Ada dua jenis tenaga kerja ini memiliki karakteristik masing-masing, sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.         Tenaga kerja upahan
Tenaga kerja yang terikat hubungan kerja dengan perusahaan, dimana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban. Tenaga kerja upahan dapat digolongkan atas:
a.   Tenaga kerja tetap, merupakan tenaga kerja yang secara teratur memperoleh hakhaknya seperti upah dan cuti, meskipun mereka tidak bekerja karena sesuatu hal yang tidak melanggar ketentuan dalam perusahaan. Tenaga kerja golongan ini secara hukum memiliki kekuatan, olehnya itu perusahaan tidak dapat berlaku sewenang wenang terhadapnya, misalnya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.
b.   Tenaga kerja tidak tetap adalah tenaga kerja yang tidak memiliki hak dan kewajiban secara teratur, umumnya mereka akan kehilangan hak tertentu apabila tidak bekerja.
c.   Tenaga kerja borongan adalah tenaga kerja yang menjalankan pekerjaan tertentu atas perjanjian dengan ketentuan yang jelas mengenai volume, waktu dan harga pekerjaan.
2.         Tenaga kerja keluarga
Merupakan tenaga kerja yang berasal dari lingkungan keluarga yang umumnya dalam melaksanakan pekerjaannya tidak diupah. Tenaga kerja jenis ini banyak digunakan pada perusahaan-perusahaan kecil atau perusahaan yang masih berskala usaha rumah tangga. Umumnya tenaga kerja keluarga bekerja hanya sebatas tanggung jawab dalam membantu keluarga. Namun banyak juga dijumpai anggota keluarga yang bekerja di perusahaan mendapat upah, meskipun upah yang diberikan tidak sama dengan tenaga kerja yang bukan anggota keluarga. Kebutuhan tenaga kerja yang memiliki kemampuan, pengetahuan dan keahlian yang kompeten adalah kebutuhan yang fundamental bagi perusahaan.

5.4       Proses Produksi
Dihasilkannya produk sesuai dengan jumlah dan mutu yang diharapkan oleh pasar dan perusahaan, selain ditentukan oleh input sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, juga sangat ditentukan oleh kegiatan yang dilaksanakan selama proses pembuatan produk berlangsung yang dikenal dengan istilah proses produksi. Proses produksi melalui beberapa tahapan yang merupakan aktifitas menyeluruh yang dilakukan oleh tenaga kerja produksi yang membuat produk, tahapan-tahapan ini disebut tahapan produksi.
Tahapan-tahapan produksi yang tersusun secara teratur disebut aliran produksi. Penggolongan proses produksi berkaitan dengan sifat dan jenis masukan yang digunakan dan produk yang akan dihasilkan. Olehnya itu, proses produksi dapat dibedakan atas:
1.         Proses produksi berdasarkan wujudnya, terdiri atas:
a.   Proses kimiawi, yaitu proses pengolahan bahan menjadi produk dengan mendasarkan pada sifat kimiawi bahan yang diolah.
b.   Proses mengubah bentuk, yaitu proses pengolahan bahan menjadi produk jadi atau setengah jadi dengan cara mengubah bentuk bahan menjadi bentuk yang lebih bermanfaat.
c.   Proses perakitan, yaitu proses menggabungkan komponen-komponen produk menjadi produk yang lebih bermanfaat.
d.   Proses transportasi, yaitu proses memindahkan sumber atau produk dari tempat asal ke tempat dimana produk tersebut dibutuhkan.
2.         Proses produksi berdasarkan tipenya, terdiri atas:
a.    Proses berkesinambungan, dimana arus masukan berlangsung terus melalui sistem produksi yang telah distandarisasi untuk menghasilkan produk yang homogen. Bentuk produk yang dihasilkan bersifat standar dan tidak tergantung pada spesifikasi pemesan. Tujuan produksi umumnya untuk persediaan kemudian dipasarkan.
b.   Proses terputus-putus, proses yang biasanya menghasilkan produk yang berbedabeda, prosedur yang berbeda-beda dan bahkan kadang dengan masukan yang berbeda-beda. Bentuk produknya disesuaikan dengan pesanan konsumen. Tujuan produksi adalah untuk melayani pesanan konsumen.

5.5       Pengendalian Produksi
Setelah menentukan spesifikasi produk yang akan dihasilkan, merancang proses dan sistem produksi, maka perlu mengorganisasikan seluruh sumberdaya yang dimiliki oleh perusahaan untuk pengendalian produksi. Pengendalian produksi, meliputi:
1.         Pengendalian pembelian, agar pembelian yang dilakukan oleh perusahaan terkait dengan proses produksi lebih efisien (hemat biaya). Dalam pengendalian pembelian ini melibatkan beberapa faktor yang saling terkait, yaitu kuantitas, kualitas, harga, waktu dan pelayanan.
2.         Pengendalian Persediaan, perlu dilakukan agar biaya yang dikeluarkan untuk penyimpanan dapat dikendalikan.
3.         Pengendalian produksi, agar proses produksi dapat berjalan lancar, tepat waktu dan menghasilkan produk dalam kuantitas dan kualitas yang sesuai dengan yang direncanakan.
4.         Pengendalian Kualitas, yang dilakukan pada setiap tahapan proses yang bertujuan untuk mencegah adanya penyimpangan terhadap standar kualitas produk yang telah ditetapkan (quality control).





BAB VI
ASPEK PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


6.1       Sasaran Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah mampu merancang kebutuhan dan proses pengendalian dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat aktifitas perusahaan.

6.2       Ekonomi versus Lingkungan
Siapapun mungkin akan sepakat bahwa ekonomi selalu menekankan adanya pertumbuhan, karena ekonomi yang sehat adalah ekonomi yang bertumbuh. Predikat “baik” secara mikro dapat diberikan kepada perusahaan yang dapat memperoleh capaian laba yang lebih besar tahun ini dibanding tahun lalu, atau secara makro sebuah wilayah memperoleh capaian Product Domestic Bruto (PDB) tahun ini lebih besar dari tahun lalu.
Namun pertumbuhan ekonomi tidak dapat dibenarkan (mungkin juga oleh siapapun) dengan menjadikan lingkungan sebagai “tumbal” untuk mencapainya. Masalah lingkungan telah lama menjadi perhatian, sejak orang-orang Amerika memperbincangkan kegagalan pembangunan dalam mengantisipasi masalah lingkungan pada pertemuan berthema “Teknologi yang Tak Perduli” di tahun 60-an. Berlanjut dari keresahan-keresahan akan masalah lingkungan, pada tahun 1972 sebuah perkumpulan di Roma mengeluarkan suatu laporan bahwa pertumbuhan ekonomi tidaklah berjalan tanpa batas oleh karena adanya kendala penyediaan sumberdaya alam dan pencemaran. Gerakangerakan lingkungan menarik perhatian dunia saat itu, sehingga pada tanggal 5 – 16 Juni 1972 di Kota Stockholom diadakan pertemuan dunia yang khusus membicarakan lingkungan dan menghasilkan berbagai aturan yang berhubungan dengan lingkungan, termasuk penetapan 5 Juni sebagai hari lingkungan (environmental day).
Kualitas lingkungan yang semakin menurun saat ini telah mengancam
kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan dan pengelolaan yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh seluruh pihak. Lingkungan yang lestari adalah adalah hak asasi seluruh manusia, sehingga jangan karena dalih pembangunan ekonomi, kelestarian lingkungan menjadi terancam. Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 harus senantiasa diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Konsep pembangunan berkelanjutan ini menurut Bertens (2000) merupakan penengah antara kepentingan pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Konsep ini pertama kali di perkenalkan oleh World Commision on Enviroment and Development (WCED) pada tahun 1987 dengan mendefenisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari generasi sekarang tanpa membahayakan kesanggupan generasigenerasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi selalu harus memanfaatkan sumberdaya alam sedemikian rupa, sehingga generasi-generasi setelah kita dapat melanjutkan pembangunan yang kita jalankan sekarang. Implikasinya bahwa setiap generasi harus mewariskan lingkungan hidup yang sehat dan utuh dengan sumberdaya alam secukupnya kepada generasi berikutnya. Pertentangan antara mereka yang menomorsatukan lingkungan hidup (the environmentalists) dan mereka yang menomorsatukan ekonomi berdasarkan teknologi maju (the industrialists) dapat diperdamaikan dengan wawasan “pembangunan berkelanjutan”, sehingga yang satu tidak perlu dikorbankan kepada yang lain. Meskipun secara konseptual, pembangunan berkelanjutan menyediakan pegangan yang seimbang , secara praktis tetap menemui kesulitan, terutama berkaitan dengan adanya kepentingankepentingan nasional suatu negara. Namun, kesulitan tersebut dapat dirundingkan dengan tercapainya konsensus untuk bersama-sama melestarikan lingkungan hidup, demi masa depan bumi kita. Konsensus ini di wujudkan pada Konferensi Tingkat Tinggi/KTT Bumi (United Nations Confrence on Environment and Development) di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992 yang merupakan konfrensi PBB yang pertama kali dalam sejarah berhasil mengumpulkan 110 kepala negara untuk mewujudkan sustainable development.
KTT Bumi 1992 telah menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles dan Konvensi Perubahan Iklim (Climate Change) dan Keanekaragaman Hayati (Biodiversity). KTT Bumi juga menghasilkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan yang mengandung 3 pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yakni pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan hidup. Meskipun telah dirumuskan konsensus, namun menurut Keraf (2002) paradigma pembangunan berkelanjutan belum banyak diimplementasikan, bahkan belum luas dipahami dan diketahui sebagai memuat prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Krisis lingkungan masih tetap saja terjadi sebagai alasan untuk menilai bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan itu tidak jalan. Penyebabnya adalah karena paradigma tersebut kembali menegaskan ideologi developmentalisme. Lebih lanjut dikatakan bahwa apa yang dicapai pada KTT tersebut hanyalah merupakan sebuah kompromi yang mengunggulkan kembali pembangunan dengan fokus utama berupa pertumbuhan ekonomi.
Terlepas dari anggapan tersebut, suatu hal yang positif karena telah ada komitmen dan upaya yang dilakukan pemerintah di berbagai belahan dunia untuk mengatasi dampak lingkungan. Yang paling penting adalah dibutuhkan kedisiplinan baik dari pemerintah maupun masyarakat dunia. Perlu dicatat bahwa setelah KTT di Rio De Jeneiro, KTT Bumi dilaksanakan secara rutin yang dimulai di Berlin-Jerman (1995), Jenewa-Swiss (1996), Kyoto-Jepang (1997), Buenos Aires-Argentina (1998), Bonn-Jerman (1999), Hague- Belanda (2000), Marrakesh-Maroko (2001), New Delhi-India (2002), Milan-Italia (2003), Buenos Aires-Argentina (2004), Montreal-Kanada (2005), Nairobi-Kenya (2006), Bali- Indonesia (2007), Poznan-Polandia (2008), Kopenhagen-Denmark (2009), Nagoya-jepang (2010) dan Durban-Afrika Selatan (2011). Berbagai pertemuan tersebut telah berhasil merumuskan kesepakatan-kesepakatan yang tentunya dapat bermanfaat bagi kelestarian bumi.

6.3     Aktifitas Perusahaan dan Dampaknya Terhadap Lingkungan
Kegiatan berwirausaha merupakan kegiatan sosial dan sekaligus merupakan kegiatan ekonomi. Aktifitas perusahaan melibatkan interaksi antar-manusia dan interaksi manusia dengan alam melalui berbagai aktifitas seperti mengadakan input dari pemasok dan/atau langsung dari alam, melakukan produksi, mempekerjakan orang, melakukan transaksi dan berbagai aktifitas lainnya yang bertujuan untuk memperoleh laba.
Karena perusahaan dapat berjalan melalui interaksi manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, berarti perolehan laba dalam perusahaan tidak boleh bersifat sepihak, namun diadakan dalam konteks menguntungkan kedua belah pihak yang berinteraksi. Dampak yang paling nyata terlihat sebagai akibat dari aktifitas perusahaan (baik yang berskala besar, maupun kecil) adalah dampak bio-fisik berupa pencemaran. Adanya pencemaran terhadap lingkungan diakibatkan oleh pembuangan limbah sebagai bahan yang tidak terpakai dalam aktifitas perusahaan yang dapat berbentuk padat, cair ataupun gas. Malah ada yang berpendapat dengan menambahkan kebisingan yang ditimbulkan oleh aktifitas perusahaan sebagai limbah suara.
Dari berbagai jenis limbah yang dihasilkan oleh aktifitas perusahaan, limbah yang paling berbahaya bagi lingkungan hidup adalah limbah yang digolongkan mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah jenis B3 ini merupakan zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Pembuangan limbah hasil aktifitas perusahaan secara tidak bijaksana, mungkin tidak disadari oleh wirausahawan akan berdampak negatif terhadap lingkungan. Karena dampaknya tidak dapat dirasakan saat ini, namun umumnya akan dirasakan di masa yang akan datang. Mungkin juga tidak disadari bahwa adanya tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan, tidak hanya untuk kepentingan lingkungan itu sendiri, namun juga untuk kepentingan perusahaan dalam jangka panjang.
Cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa banyaknya perusahaan yang mengalami kerugian yang besar, bahkan dinyatakan failit, oleh karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti biaya kerugian yang diakibatkan oleh kekurangpeduliannya dalam mengantisipasi kemungkinan dampak lingkungan yang akan ditimbulkan dari aktifitas perusahaannya. Pembuangan limbah produksi ke alam secara tidak bijaksana dapat menyebabkan pencemaran air dan tanah serta polusi udara. Saat ini, berbagai masalah lingkungan biofisik sudah mencapai taraf global, dalam artian tidak hanya mencakup satu wilayah saja.
Ada beberapa masalah lingkungan yang menjadi ancaman global diantaranya akumulasi bahan beracun, efek rumah kaca, rusaknya lapisan ozon, hujan asam, penggurunan serta berkurangnya keanekaan hayati. Masalah-masalah tersebut timbul akibat aktifitas (umumnya ekonomi) yang terakumulasi dan sudah berlangsung sejak lama.
Dalam hal dampaknya terhadap lingkungan sosial budaya, biasanya aktifitas usaha juga memberikan pengaruh langsung maupun tidak langsung. Dalam operasional usaha, wirausahawan akan berhubungan dengan berbagai stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan), baik internal seperti karyawan, maupun eksternal seperti pemasok, pemasar, pemerintah, dan masyarakat konsumen. Keberhasilan mengelola usaha dapat diukur dengan melihat sampai sejauhmana hubungan perusahaan dengan para stakeholders tersebut.
Tentunya dalam menjalankan aktifitas usahanya, seorang pengusaha tidak hanya memikirkan keuntungan sendiri, namun juga harus memikirkan kepentingan pihak-pihak lain tersebut. Untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah perusahaan, seharusnya setiap perusahaan telah memiliki unit-unit pengolahan limbah sebelum limbah dibuang ke lingkungan. Undang-Undang No. No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah mengatur bahwa setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup, tetapi dengan persyaratan telah memenuhi baku mutu lingkungan hidup dan mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Undang-undang ini juga mengatur baku mutu lingkungan hidup untuk menentukan terjadinya pencemaran lingkungan yang diukur berdasarkan baku mutu air, air limbah, air laut, udara ambien, emisi, gangguan dan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

6.4     Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Lingkungan
Berbagai kasus lingkungan yang terjadi tidak dapat dipungkiri sebagian besar karena perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan diri sendiri. Jika ditinjau lebih jauh, terjadinya krisis lingkungan global pada dasarnya menurut Keraf (2002) bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang serta pola perilaku manusia mengenai dirinya, alam dan keseluruhan ekosistem.
Kesalahan cara pandang ini bermula dari etika antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta. Hanya manusia yang memiliki nilai, manusia adalah penguasa alam sehingga bebas melakukan apa saja, sementara alam dan segala isinya hanyalah sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.
Cara pandang ini melahirkan sikap perilaku eksploitatif tanpa memperdulikan alam dan segala isinya. Terdapat tiga kesalahan fundamental dari cara pandang ini: Pertama adalah manusia hanya dipahami sebagai mahluk sosial (social animal) yang eksistensi dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya dalam pengertian bahwa manusia berkembang menjadi dirinya dalam interaksi dengan sesama manusia di dalam komunitas sosialnya; Kedua, bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia atau dalam artian bahwa norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuannya bagi manusia, sementara bagi mahluk lain di luar manusia tidak berlaku; dan Ketiga, cara pandang ini diperkuat oleh paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang memisahkan alam sebagai obyek dan manusia sebagai subyek dan memisahkan secara tegas antara fakta dan nilai.
Cara pandang antroposentrisme dikritik tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme yang memiliki cara pandang bahwa manusia tidak hanya dipandang sebagai mahluk sosial. Manusia harus dipandang terlebih dahulu sebagai mahluk biologis dan ekologis. Kehidupan manusia tidak hanya tergantung pada sesamanya (komunitas sosial), tetapi juga terkait dengan semua kehidupan lain di alam semesta. Dari pemahaman kedua etika ini, sehingga tanggung jawab moral tidak lagi hanya dibatasi pada hubungan manusia dengan manusia lainnya dan komunitasnya, tetapi juga berlaku berlaku bagi semua mahluk hidup dan lingkungannya.
Pembahasan mengenai etika sebagaimana yang telah dikemukakan di atas terkait hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan mahluk lain serta lingkungannya. Bagaimana halnya dengan perusahaan, apakah perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral seperti manusia? Jika ada yang berpendapat bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab legal, mungkin jawabannya sudah pasti dan tidak diragukan lagi. Karena perusahaan sebagai badan hukum pastilah memiliki status legal, mempunyai hak dan kewajiban legal sebagaimana manusia dewasa seperti menuntut dan dituntut di pengadilan, memiliki, melakukan kontrak dan sebagainya. Seperti subyek hukum yang biasa (manusia perorangan), perusahaan pun harus menaati peraturan hukum.
Menurut George (1999), terdapat dua pandangan tentang status legal perusahaan, yaitu:, perusahaan sepenuhnya ciptaan hukum, karena itu ada hanya berdasarkan hukum (Legal-creator) dan pandangan bahwa suatu usaha bebas dan produktif (Legal-recognition). Namun jika dipertanyakan apakah perusahaan memiliki tanggung jawab moral, mungkin pertanyaan ini akan sulit untuk dijawab. Supaya memiliki tanggung jawab moral, perusahaan perlu berstatus moral atau merupakan pelaku moral yang bisa melakukan tindakan etis atau tidak etis. Apakah perusahaan dapat melakukan tindakan etis atau tidak etis sebagaimana manusia? Jika manusia sebagai pelaku moral memiliki hati nurani, apakah perusahaan juga demikian? Dalam menjawab pertanyaan ini, ada argumen pro dan kontra.
Di satu pihak harus diakui bahwa hanya manusia perorangan yang memiliki
kebebasan untuk mengambil keputusan, dan akibatnya hanya manusia peroranganlah yang dapat memikul tanggung jawab. Di lain pihak, sulit juga menerima pandangan bahwa perusahaan hanyalah semacam benda mati yang dikemudikan oleh para manajer. Terdapat banyak pertanda yang menunjukkan bahwa perusahaan juga memiliki “kepribadian” tersendiri, perusahaan bisa tumbuh, bisa menjalankan pengaruh atas politik lokal, dan pertanda lainnya yang tidak dimiliki oleh benda mati.
Seluruh perdebatan pro-kontra tidaklah begitu penting dibahas karena hanya memiliki makna teoritis saja dan tidak memiliki konsekuensi untuk praktek berwirausaha. Seandainya perusahaan --tidak termasuk orang-orang yang terlibat di dalamnya—tidak merupakan pelaku moral dan karena itu tidak dapat memikul tanggung jawab moral, namun masih terdapat wirausahawan sebagai pimpinan perusahaan dan pastilah sebagai manusia mereka merupakan pelaku moral dan tentunya memikul tanggung jawab moral atas keputusan yang mereka ambil. Ada baiknya kita sepakati bahwa karena perusahaan dijalankan oleh manusia, maka kita dapat berkesimpulan bahwa perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral. Segala keputusan yang diambil dalam perusahaan, tentunya memiliki konsekuensi tanggung jawab oleh wirausahawan sebagai manusia yang menjalankannya.
Kembali ke pembahasan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan bio-fisik dan sosial sosial budaya adalah terkait pada upaya yang dilakukan wirausahawan dalam mengendalikan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Upaya-upaya tersebut meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Salah satu bentuk tanggung jawab perusahaan –t erutama yang memiliki kecenderungan berdampak penting terhadap lingkungan-- dalam melakukan upaya pencegahan sebelum menjalankan aktifitasnya adalah memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal). Sebagaimana yang diatur dalam undang-undang bahwa setiap perusahaan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
Amdal merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dampak penting yang dimaksud ditentukan berdasarkan kriteria: besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan, luas wilayah penyebaran dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung, banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak, sifat kumulatif dampak, berbalik atau tidak berbaliknya dampak, dan/atau kriteria lain sesuai denga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kriteria usaha dan/atau kegiatan berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas:
1.         pengubahan bentuk lahan dan bentang alam
2.         eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan
3.         Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya
4.         Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya
5.          Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya
6.         Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik
7.         Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati
8.          Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara
9.         dan/atau penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
















BAB VII
ASPEK ORGANISASI DAN MANAJEMEN


7.1       Sasaran Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah akan dapat merancang kebutuhan organisasi dan manajemen perusahaan.

7.2       Defenisi Organisasi dan Manajemen
Organisasi adalah sekelompok orang (dua atau lebih) yang secara formal dipersatukan dalam suatu bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dari defenisi tersebut dapat disebutkan bahwa organisai mengandung berbagai unsur yang terdiri dari dua orang atau lebih, ada kerjasama diantara orang-orang yang tergabung di dalamnya, dan memiliki tujuan bersama. Sedangkan manajemen merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan kerjasama di antara semua sumberdaya yang terlibat dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jika membaca berbagai literatur manajemen, defenisi manajemen oleh para ahli cukup beragam. Namun jika ditelusuri lebih jauh, maka akan ditemukan bahwa istilah manajemen mengandung tiga pengertian yaitu:
1.         Manajemen sebagai suatu proses
2.         Manajemen sebagai kolektivitas orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen
3.         Manajemen sebagai suatu seni (art) dan sebagai suatu ilmu pengetahuan (science)
Meskipun demikian, dari berbagai defenisi mengenai manajemen yang dikemukakan oleh ahli, hampir semua menekankan pada pengendalian dan pendayagunaan berbagai sumberdaya organisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Dari uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dikatakan bahwa hal yang berbeda antara organisasi dan manajemen adalah organisasi sebagai alat atau wadah sekelompok orang dalam mencapai tujuan tertentu, sedangkan manajemen lebih mengarah kepada pengaturan atau pengelolaan untuk mencapai tujuan tersebut.
Pada dasarnya penerapan manajemen dalam organisasi adalah terkait dengan fungsi-fungsi manajemen. Berbagai pendapat ahli juga berbeda-beda mengenai jenis fungsi-fungsi manajemen, diantaranya dikemukakan, sebagai berikut:
1.         George R. Terry : planning, organizing, staffing, motivating, dan controlling.
2.         Henry Fayol : planning, organizing, commanding, coordinating, dan controlling.
3.         Luther Gullich : planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting.
4.         Ernest Dale : planning, organizing, staffing, directing, innovating, representing, dan controling
Tanpa bermaksud mengabaikan pendapat para ahli tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya fungsi-fungsi manajemen terdiri dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan (controlling). Secara garis besarnya fungsi-fungsi manajemen ini dapat disederhanakan lagi menjadi tiga kelompok fungsi utama, yakni perencanaan (planning), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan (controlling).

7.3       Organisasi Perusahaan
Terkait dengan kebutuhan organisasi perusahaan, beberapa hal yang perlu
dirancang, yakni visi dan misi perusahaan, struktur organisasi perusahaan, bentuk organisasi perusahaan, serta perizinan organisasi perusahaan, sebagaimana yang diuraikan berikut ini.
1.         Visi dan Misi Perusahaan
Lingkungan di mana perusahaan berada dan segala aktifitasnya dilaksanakan senantiasa berubah, dan untuk mampu bertahan di lingkungan tersebut, seorang wirausahawan dituntut untuk harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan tersebut. Perusahaan sebagai unit bisnis, harus fleksibel dan senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungannya. Semakin dinamis lingkungan sebuah perusahaan, maka semakin sulit untuk mengetahui dan mengantisipasi perubahan yang diperlukan. Pertumbuhan dan perkembangan sebuah perusahaan dapat diketahui apabila perusahaan tersebut memiliki arah tertentu yang akan dicapai dan secara berkala dilakukan pengukuran capaian. Dari hasil pengukuran tersebut dapat diketahui persoalan dan kendala yang dihadapi setiap saat, sehingga dengan demikian yang dilakukan dalam upaya mengatasi persoalan dan kendala dapat lebih spesifik dan terarah.
2.         Struktur Organisasi Perusahaan
melaksanakan fungsi pengorganisasian sebagai fungsi manajemen perusahaan, wirausahawan mengalokasikan keseluruhan sumberdaya perusahaan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat berdasarkan kerangka kerja yang dinamakan desain organisasi perusahaan. Bentuk Spesifik dari desain organisasi sebuah perusahaan dapat dilihat dari struktur organisasi perusahaan tersebut. Dengan demikian, stuktur organisasi pada dasarnya merupakan desain organisasi dimana wirausahawan sebagai manajer melakukan alokasi sumberdaya perusahaan, terutama yang terkait dengan pembagian kerja dan sumberdaya yang dimiliki, serta pengkoordinasian dan pengkomunikasiannya.
Berbagai literatur manajemen mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) pilar dalam yang perlu di perhatikan dalam penyusunan struktur oganisasi, yakni:
1.       Pembagian kerja (division of work), sebagai upaya untuk menyederhanakan dari keseluruhan kegiatan dan pekerjaan sebagaiman yang telah disusun dalam proses perencanaan menjadi lebih sederhana dan spesifik dimana setiap orang akan ditempatkan dan ditugaskan untuk setiap kegiatan pekerjaan. Kadangkala pembagian kerja disebut pula dengan pembagian tenaga kerja, namun lebih sering digunakan dengan istilah pembagian kerja, karena yang dibagi-bagi adalah pekerjaannya, bukan orangnya. Sebagai contoh, pembagian kerja pada perusahaan perdagangan hasil pertanian, dapat dibagi menjadi pekerjaan pengadaan/pembelian, grading, penyimpanan/pergudangan, kontrol kualitas, pengemasan, penyaluran, bagian yang menangani keuangan, dan sebagainya.
2.       Pengelompokan pekerjaan (departementalization), merupakan proses pembagian dan penamaan bagian atau kelompok pekerjaan berdasarkan kriteria tertentu. Ini dapat dilakukan apabila jenis-jenis pekerjaan telah dispesifikkan. Sebagai contoh, untuk perusahaan perdagangan hasil pertanian, pekerjaan pengadaan/pembelian dan grading dikelompokkan menjadi Bagian Pengadaan Bahan, pekerjaan penyimpanan/pergudangan dan kontrol kualitas dikelompokkan menjadi bagian Prosessing, bagian pengemasan dan penyaluran dikelompokkan menjadi bagian pemasaran, dan seterusnya.
3.       Penentuan relasi antar-bagian dalam organisasi (hierarchy), merupakan proses penentuan relasi antar bagian dalam organisasi, baik secara vertikal maupun secara horisontal. Terdapat dua konsep penting dalam hal ini, yaitu: 1) Span of management terkait dengan jumlah orang atau bagian di bawah suatu bagian yang akan bertanggung jawab kepada bagian tertentu, dan 2) Chain of command yang menunjukkan garis perintah dalam sebuah organisasi dari hierarki yang paling tinggi hingga hirarki yang paling rendah, dan juga menjelaskan bagaimana batasan kewenangan dibuat dan siapa dan bagian mana akan melapor ke bagian mana.
4.       Kordinasi (coordination), proses dalam mengintegrasikan seluruh aktifitas dari berbagai bagian dalam organisasi agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif.
         
Struktur organisasi yang dirancang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, bagian-bagian mana yang perlu ada dan bagian-bagian mana yang tidak perlu dibentuk. Bentuk strukturnya pun bisa dibuat sesuai kebutuhan perusahaan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi struktur organisasi, yaitu:
1.         Strategi Perusahaan
Untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan, maka disusun strategi yang perlu dilakukan oleh perusahaan untuk mencapainya. Strategi ini selanjutnya dijabarkan dalam berbagai sasaran perusahaan. Untuk mencapai sasaran-sasaran perusahaan yang telah ditetapkan tersebut, salah satu sarananya adalah melalui struktur organisasi perusahaan. Oleh karenanya, struktur organisasi perusahaan harus sesuai dengan sasaran perusahaan. Jika wirausahawan hendak melakukan perubahan yang signifikan dalam strategi perusahaannya, struktur organisasi perlu juga dimodifikasi menyesuaikan perubahan strategi.
2.         Ukuran Organisasi Perusahaan
Semakin besar organisasi sebuah perusahaan, semakin besar pula jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, semakin luas cakupan wilayah yang dijangkau, dan bisa jadi membutuhkan bermacam-macam spesialisasi pekerjaan. Dengan demikian struktur organisasinya dibuat semakin kompleks mengikuti perkembangan ukuran perusahaan.



3.         Teknologi
Teknologi yang dimaksudkan adalah cara perusahaan mengubah masukan (input) menjadi keluaran (output). Perusahaan yang menggunakan teknologi tradisional dan sederhana, struktur organisasi yang dibutuhkan tidak sama dengan perusahaan yang telah menggunakan teknologi moderen yang serba mekanis dan elektrik.
4.         Lingkungan Perusahaan
Perkembangan sebuah perusahaan tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada lingkungan internal dan eksternal perusahaan itu sendiri. Sebagaimana yang sering diutarakan pada bagian lain proses pembelajaran ini bahwa perusahaan menjalankan aktifitasnya tidak semata-mata untuk mengejar laba, namun lebih daripada itu adalah memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh stakeholdersnya. Perlu disa dari bahwa setiap stakeholders, baik internal (manajemen dan tenaga kerja), maupun ekternal (pesaing, pelanggan, pemasok, pemerintah, masyarakat dan sebagainya), memiliki kekuatan serta berpengaruh terhadap pelaksanaan kinerja dan perkembangan perusahaan.

7.4       Manajemen Perusahaan
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada awal pembahasan materi pembelajaran ini bahwa manajemen merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan kerjasama di antara semua sumberdaya yang terlibat dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini juga berlaku pada sebuah perusahaan sebagai sebuah organisasi. Manajemen perusahaan merupakan upaya pengendalian dan pendayagunaan berbagai sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan perusahaan. Sumberdaya perusahaan dari penjelasan di atas adalah merupakan sarana manajemen perusahaan yang dikenal dengan istilah 6M, yakni Man (manusia), Money (uang), Material (bahan), Machine (mesin/peralatan), Method (cara kerja) dan Market (pasar).
 Pemanfaatan sarana manajemen perusahaan ini dibutuhkan teknik-teknik manajemen. Berikut ini diuraikan beberapa teknik manajemen moderen dan penting untuk diketahui oleh seorang wirausahawan, yaitu:
1.         Management by Delegation
Teknik manajemen ini digunakan bila perusahaan semakin berkembang, dimana jumlah tenaga kerja sudah cukup banyak, Bagian-bagian perusahaan agak banyak, telah memiliki banyak cabang yang tidak hanya melayani pasar lokal saja. Kondisi ini memungkinkan wirausahawan akan menghadapi kesulitan untuk melakukan pengawasan secara langsung, meskipun pengawasan dan pengaturan perusahaan harus tetap dilakukan. Teknik manajemen ini dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip pendelegasian dan pengawasan pekerjaan dengan menggunakan asas perimbangan antara tugas, kekuasaan dan tanggung jawab yang pendelegasiannya jelas dan tegas. Kaderisasi pimpinan sangat diperlukan, karena apabila berhasil, maka perusahaan akan memiliki tim manajemen yang efektif. Beberapa syarat operasional yang harus dipenuhi untuk menjalankan teknik manajemen ini, yaitu:
a.   Penugasan yang jelas dan tegas, agar tidak terjadi keragu-raguan
b.   Pelimpahan kekuasaan (delegation authority) yang jelas batasannya, terutamayang berkaitan dengan pengambilan keputusan
c.   Pelimpahan tanggung jawab yang jelas, dalam artian bahwa bidang usaha apadan stani pengecdar hasil yang bagaimana yang diinginkan oleh pemberi delegasi.
2.         Management by Exception
Teknik ini merupakan kelanjutan dari management by delegation, namun penekanannya pada penguasaan teknis pekerjaan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, manajer bagian harus mampu memimpin, memiliki mentalitas dan tanggung jawab, memenuhi syarat teknis keahlian. Pengembangan struktur organisasi perusahaan ditekankan pada prinsip komunikasi dan pada asas pertukaran informasi, karena dalam menjalankan teknik manajemen ini, biasanya yang menjadi masalah pelik adalah komunikasi dan kontrol.
3.         Management by Objective
Cara yang ditempuh dalam penerapan teknik manajemen ini adalah manajer berunding dengan para bawahannya mengenai tujuan yang akan dicapai hingga dapat ditetapkan sebagai sasaran perusahaan. Sasaran tersebut dapat berupa target penjualan atau produksi yang selanjutnya dapat dipakai sebagai pedoman yang harus dicapai oleh para manajer bawahan dan sekaligus dapat pula dipakai oleh manajer untuk menilai prestasi bawahannya. Ada 3 (tiga) hal yang biasanya menjadi ukuran prestasi, yaitu prodiktivitas kerja bawahan secara individu, efisiensi perusahaan dan efektivitas pimpinan.
Penerapan teknik manajemen ini biasanya akan menghasilkan prestasi yang meningkat karena tujuan yang telah diterapkan jelas dan diketahui dengan baik oleh para manajer bawahan, namun dengan peningkatan prestasi, timbul pula masalah yang menyangkut penghargaan (remunerasi) yang tidak sesuai dengan prestasi yang tentunya akan menimbulkan kekecewaan dari bawahan yang bersangkutan.
4.         Management by Results
Teknik manajemen ini dapat dilakukan oleh perusahaan dalam bentuk apa pun, asalkan pimpinan perusahaan secara sadar menghadapkan dirinya pada tri-tugas ekonomi, yaitu:
a.    Perusahaan yang sekarang harus dibuat seefektif mungkin, gaya prestasinya harus ditingkatkan secara maksimal.
b.    Hal-hal yang potensial harus ditemukan dan dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya.
c.    Perusahaan harus menjadi unggulan di masa yang akan datang. Disamping itu, wirausahawan harus benar-benar memahami bahwa perusahaannya sebagai suatu sistem ekonomi yang mampu berprestasi ekonomi, dan hubungan antara sumber-sumber yang tersedia dan hasil yang dimungkinkan.
5.         Management by System
Teknik manajemen ini mengembangkan struktur organisasi menjadi suatu tata sistem, dimana setiap sistem akan merupakan suatu kelompok aktifitas perusahaan yang diikat satu sama lain melalui metode dan prosedur tata urutan dalam mengerjakan atau menjalankan aktifitas tertentu. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan cara ini adalah prosedur aktifitas organisasi dapat dikuasai dan ditertibkan. Begitu pula efisiensi dapat ditingkatkan melalui penyeragaman normalisasi dan standardisasi.
6.         Management by Participation
Teknik manajemen ini menekankan unsur partisipasi seluruh pihak yang ada pada perusahaan. Teknik ini sering dikenal dengan istilah Total Quality Control (TQC), karena dalam penerapannya banyak berorientasi pada perbaikan kualitas. Manajemen partisipatif ini dapat dirumuskan sebagai suatu sistem untuk mengikutsertakan seluruh pihak secara gotong royong dan musyawarah untuk mufakat dalam rangka meningkatkan kualitas proses dan hasil kerja. Wujud nyata dari teknik ini adalah dibentuknya gugus kendali mutu (Quality Control Circle/QCC di tiap-tiap unit kerja yang ada dalam perusahaan. Dengan adanya kelompok gugus tersebut, karyawan dapat berpartisipasi secara langsung dalam setiap pertemuan untuk membahas dan memecahkan permasalahan yang menyangkut perbaikan kualitas dan peningkatan produktivitas, kemudian hasilnya dipresentasikan kepada pimpinan perusahaan. Penerapan teknik-teknik manajemen dalam perusahaan senantiasa mengalam perkembangan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.






BAB VIII
ASPEK KEUANGAN


8.1       Sasaran Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah akan dapat merancang kebutuhan investasi dan sumber-sumbernya serta menyusun rencana profitabilitas perusahaan.

8.2      Aspek Keuangan
Keuangan adalah kegiatan yang berhubungan dengan penentuan investasi jangka panjang sebuah perusahaan, mendapatkan dana untuk membayar, dan memimpin kegiatan keuangan harian sebuah perusahaan.
A.         Komponen-komponen Biaya
Secara umum dalam pelaksanaan proyek, komponen biaya dibagi atas:
1.         Biaya personil adalah komponen-komponen biaya yang dikeluarkan untuk membayar honor dan gaji tim kerja yang bekerja dengan kita. Hitung komponen biaya berdasarkan kesepakatan dengan anggota tim, apakah akan berdasarkan orang-jam/man-hour, oranghari/man-day atau orang-bulan/man-month. Masukkan seluruh anggota tim kerja dari mulai Manajer Proyek sampai Office-boy yang membantu kelancaran pekerjaan tim.
2.         Biaya nonpersonil adalah komponen-komponen biaya yang harus dikeluarkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan proyek. Komponen-komponen biaya tersebut antara lain:
a.         Biaya Transportasi, Hitung kebutuhan transportasi baik untuk di dalam kota maupun luar kota. Untuk transportasi dalam kota dapat menggunakan perhitungan estimasi harga per liter premium untuk per lima kilometer jarak.
b.         Biaya Allowance Penugasan Luar Kantor, Pada saat berangkat untuk penugasan luar kota tentunya ada biaya tambahan untuk kita maupun tim kerja yang ditugaskan. Untuk menghitung biaya allowance ini dapat menggunakan contoh sebagai berikut:+ Uang makan 3 kali sehari Rp 90.000,- (jika penugasan luar kota) + Biaya komunikasi sehari Rp 15.000,-
c.         Biaya Rutin adalah ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan rutin selama kegiatan berlangsung seperti telepon, sambungan internet, korespondensi, listrik, air, gas, keamanan, pemeliharaan, dan sebagainya.
d.         Biaya Pemanfaatan Peralatan dan Sewa adalah ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan seperti sewa ruangan (kerja/produksi, presentasi dan pelatihan), komputer, printer, kendaraan, dan sebagainya. Masukkan seluruh komponen tersebut sekalipun tidak disampaikan kepada klien karena biasanya mereka menolak untuk membayar beban-beban tersebut.
e.         Biaya Belanja Barang Pakai Habis adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli barang-barang seperti kertas, alat tulis kantor, tinta printer, disket, CD/DVD, dan sebagainya.
f.          Biaya Penyusunan Laporan adalah biaya yang harus dikeluarkan dalam penyusunan laporan kegiatan dan modul user manual dari misalnya: proyek aplikasi perangkat lunak yang kita bangun. Perkirakan berapa biaya yang habis untuk kerja orang yang mengetik dan mengeditnya, pencetakan, pemaketan dan pengirimannya.
B.        Estimasi biaya
Definisi perkiraan biaya adalah seni memperkirakan kemungkinan jumlah biaya yang diperlukan untuk suatu kegiatan yang didasarkan pada informasi yang tersedia pada waktu itu (Iman Soeharto_National Estimating Society USA), berdasarkan definisi, tersebut maka perkiraan biaya mempunyai pengertian sebagai berikut :
1.         Perkiraan biaya yaitu melihat, memperhitungkan dan mengadakan perkiraan atas hal-hal yang akan terjadi selanjutnya
2.         Analisis biaya yang berarti pengkajian dan pembahasan biaya yang pernah ada yang digunakan sebagai informasi yang penting
C.        Dasar-dasar Penyusunan Anggaran
Budget (Anggaran) ialah suatu rencana yang disusun secara sistematis, yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan (yang menimbulkan penerimaan/hak dan juga pengeluaran/kewajiban), yang dinyatakan dalam unit (kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka waktu / periode tertentu yang akan datang.
1.         Rencana tersebut memiliki spesifikasi- spesifikasi tertentu, seperti;
a.    disusun secara sistematis,
b.    mencakup seluruh kegiatan perusahaan, dan dinyatakan dalam satuan moneter/uang
2.       Meliputi seluruh kegiatan perusahaan :
a.   Fungsi produksi
b.   Fungsi pembelanjaan/keuangan
c.   Fungsi administrasi
d.   Fungsi pemasaran
e.   Fungsi personalia

8.3       Kebutuhan Modal Perusahaan
Dalam memulai sebuah bisnis tentunya dibutuhkan modal berupa uang tunai (kas) yang nantinya akan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan di masa pra-operasi dan masa komersial sebagaimana yang telah dirancang pada pembelajaran-pembelajaran sebelumnya. Persoalan yang sering dihadapi oleh calon wirausahawan adalah kesulitan dalam memperoleh modal awal yang akan diinvestasikan untuk mewujudkan perusahaan yang dirancangnya.
Modal yang digunakan dalam menjalankan perusahaan terdiri dari modal investasi dan modal kerja yang penjelasannya akan diuraikan, sebagai berikut:
1.         Modal Investasi
Modal investasi adalah modal yang digunakan untuk pengadaan dan perbaikan sumberdaya yang meliputi harta tetap perusahaan, seperti pembelian lahan dan bangunan, peralatan dan mesin produksi, alat transportasi, perekrutan dan seleksi tenaga kerja, dan sebagainya. Pada dasarnya, semua biaya yang dikeluarkan selama perusahaan belum beroperasi dapat digolongkan ke dalam modal investasi, sepanjang biaya tersebut terikat dalam harta tetap perusahaan untuk jangka waktu yang lama (>1 tahun). Selama masa terikatnya modal pada harta tetap perusahaan, modal tersebut tidak dapat dicairkan kembali tanpa mengganggu jalannya operasional perusahaan.
Besar kecilnya kebutuhan modal investasi perusahaan sangat tergantung dari bentuk dan ukuran perusahaan, serta bidang usaha yang dikelolanya. Kebutuhan modal investasi bagi perusahaan kecil tentu akan lebih sedikit dibandingkan kebutuhan modal investasi bagi perusahaan menengah dan besar. Dari sisi bidang usaha, secara umum dapat dikatakan bahwa perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, relatif tidak banyak membutuhkan modal investasi. Perusahaan perdagangan cenderung tidak membutuhkan lahan dan bangunan yang luas, bangunan pabrik, mesin dan peralatan untuk sarana operasional perusahaan sehari-hari. Berbeda dengan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan/industri manufaktur, jasa angkutan, perhotelan dan lainnya yang membutuhkan modal investasi yang cukup besar. Karena modal investasi terikat pada harta tetap perusahaan, maka perputaran modal investasi dari uang tunai menjadi uang tunai kembali dalam jangka waktu yang cukup lama, dan pengembaliannya juga berangsur-angsur dalam bentuk penyusutan (depresiasi). Olehnya itu, jumlah modal yang diinvestasikan jumlahnya tidak tetap selama periode investasi atau selama umur ekonomis penggunaan aktiva tetap tersebut. Jumlah modal yang terikat dalam harta tetap tersebut akan berangsur-angsur berkurang sesuai dengan metode perhitungan penyusutan yang digunakan. Setelah umur ekonomisnya berakhir, maka nilai buku harta tetap tersebut menjadi = 0 (nol).

2.         Modal Kerja
Modal kerja adalah modal yang digunakan untuk membiayai operasionalperusahaan sehari-hari, seperti biaya untuk pembelian bahan, pembayaran upah/gaji tenaga kerja, biaya sewa, biaya pemasaran, dan sebagainya. Modal kerja yang dialokasikan untuk membiayai operasional perusahaan tersebut diharapkan akan kembali menjadi kas (uang tunai) dalam waktu yang singkat melalui proses penjualan produk. Dan uang tunai yang telah masuk ke perusahaan, selanjutnya dimanfaatkan lagi untuk membiayai operasional perusahaan selanjutnya. Dengan demikian, modal tersebut akan terus berputar setiap periode selama perusahaan berjalan. Jika modal investasi terikat pada harta tetap perusahaan, modal kerja ini terlihat sebagai modal yang terikat dalam harta lancar perusahaan dan disebut sebagai modal kerja keseluruhan. Namun demikian, sebagian dari harta lancar ini harus disediakan untuk memenuhi kewajiban finansial yang segera harus dilakukan, seperti membayar utang kepada pemasok, membayar utang gaji, membayar utang pajak dan sebagainya. Olehnya itu, besarnya modal kerja yang bisa digunakan untuk membiayai operasional perusahaan adalah selisih antara harta lancar dengan utang lancar. Modal yang benarbenar dapat digunakan ini disebut modal kerja bersih (net working capital). Modal kerja dapat bertambah atau berkurang, seperti tercermin pada besarnya unsur- unsur harta lancar dan utang lancar.




BAB IX
RANCANGAN USAHA


9.1       Sasaran Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah akan dapat menyusun laporan rancangan usaha sesuai dengan gagasan usaha yang dipilihnya.

9.2       Arti dan Pentingnya Rancangan Usaha
Rancangan usaha merupakan dokumen tertulis yang disusun oleh calon wirausahawan yang memuat seluruh aspek-aspek yang terkait dengan aktifitas yang direncanakan dalam merintis dan menjalankan gagasan perusahaan. Penyusunan rancangan usaha dimaksudkan untuk menentukan sendiri tingkat kelayakan gagasan perusahaan yang dirancang dengan maksud untuk menghindari adanya investasi yang tidak menguntungkan atau dengan kata lain menghindari kerugian di kemudian hari. Setidaknya terdapat beberapa manfaat dari rancangan usaha, yaitu:
1.         Sebagai wadah untuk menampung rencana usaha
2.       Alat kontrol segala kegiatan yang (akan) dilaksanakan ketika gagasan usaha diimplementasikan
3.       Menyampaikan kepada pihak lain akan maksud dan tujuan penyusunan rancangan            usaha
4.         Memperoleh perhatian dan keterlibatan pihak lain untuk membantu t          erutama dalam mewujudkannya menjadi perusahaan yang nyata
Berangkat dari manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan rancangan usaha tersebut, sehingga dapat diidentifikasi pihak-pihak yang mungkin akan membacanya, yaitu investor, perbankan, pelanggan, konsultan dan pemerintah. Rancangan usaha harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat memberikan manfaat terutama dalam mewujudkan gagasan merintis berdirinya perusahaan. Olehnya itu sebuah rancangan usaha perlu disusun agar dapat diperoleh dan mudah dimengerti oleh pembacanya.
Bukankan rancangan usaha kita susun juga bertujuan untuk menarik perhatian pihak lain?
Untuk itu, sebuah rancangan usaha harus mengandung unsur-unsur:
1.       Rencana, bahwa rancangan usaha harus memuat sesuatu rencana berikut maksud dan tujuan dari rencana tersebut.
2.       Usulan, bahwa rancangan usaha harus diusulkan kepada pihak lain untuk diketahui dan dipertimbangkan oleh pihak lain.
3.       Sistematis, bahwa hal-hal yang dimuat dalam rancangan usaha tersebut harus disusun mulai dari yang sifatnya makro sampai kepada yang bersifat mikro; atau yang bersifat umum sampai ke yang bersifat khusus/spesifik.
4.       Tentatif, bahwa isi dari rancangan usaha tersebut masih dapat diubah sebelum memperoleh persetujuan dari penerima atau pembaca rancangan usaha.


9.3       Format Rancangan Usaha
Sebuah rancangan usaha harus disusun dengan baik sebagaimana unsur-unsur yang harus dimuat di dalamnya. Untuk memudahkan dalam penyusunan, perlu adanya format dan tata aturan yang jelas bagi penyusunnya. Format rancangan usaha pada dasarnya terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu bagian pendahuluan yang memuat alasan-alasan penyusunan, isi yang memuat aspek-aspek perusahaan yang dirancang dan penutup yang memuat pelajaran-pelajaran penting yang diperoleh dari proses pembelajaran ini. Jika melihat struktur rancangan usaha tersebut, memang agak berbeda dengan proposal bisnis yang umumnya dibuat, namun setidaknya apa yang tertuang dalam rancangan usaha yang disusun dapat disarikan menjadi sebuah proposal bisnis, karena semua aspek-aspek yang dibutuhkan dalam penyusunan proposal bisnis tertuang dalam rancangan usaha (terutama aspek-aspek perusahaan yang dirancang).
Hal yang lain yang membedakan format rancangan usaha yang dibahas pada pembelajaran ini dengan proposal bisnis adalah bahwa pada rancangan usaha, pembelajar diminta untuk menarik hikmah sebagai sebuah refleksi selama mengikuti pembelajaran







BAB X
TEKNIK PRESENTASI


10.1     Sasaran Pembelajaran
Setelah mengikuti proses pembelajaran ini, mahasiswa peserta mata kuliah akan dapat mempresentasikan dan meyakinkan pihak lain akan gagasan usaha yang telah disusun dalam bentuk rancangan usaha.

10.2     Defenisi dan Unsur-unsur Presentasi
Presentasi dapat didefenisikan sebagai komunikasi langsung antara penyaji dengan sekelompok pendengar dalam situasi teknis, saintifik atau professional untuk satu tujuan tertentu dengan menggunakan teknik sajian dan media yang terencana. Presentasi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan untuk menyampaikan, memperkenalkan, menuntun, meyakinkan atau dengan kata lain mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain.
Dalam konteks pembelajaran kewirausahaan-1, selain tujuan menyampaikan dan mengkomunikasikan ide/gagasan perusahaan yang dirancang, presentasi juga dimaksudkan untuk mengetahui dan memberikan evaluasi terhadap kemampuan mahasiswa peserta dalam menguasai ide/gagasan yang telah dituangkan dalam rancangan usaha yang telah disusunnya.
Sebagai salah satu cara mengkomunikasikan sesuatu (pengetahuan, keterampilan, ide/gagasan dan sebagainya), presentasi memiliki 4 (empat) unsur penting. Unsur-unsur ini sangat menentukan keberhasilan dalam proses presentasi, yakni:
1.          Presenter
Merupakan orang yang menyampaikan sesuatu yang akan dikomunikasikan kepada pihak lain (audiens) secara langsung.
2.          Materi
Merupakan bahan yang akan dikomunikasikan kepada audiens.
3.         Media
Terdiri dari sarana yang digunakan untuk mengemas materi sehingga menarik audiens serta peralatan yang digunakan untuk menyampaikan materi. Syarat media untuk efektif digunakan adalah mudah, murah, praktis, aman, sesuai bahan dengan metode penyajian, sesuai media dengan karakteristik peserta, tepat dan tersedia.
4.         Audiens
Merupakan pihak yang menerima sesuatu yang akan dikomunikasikan. Berhasil tidaknya suatu presentasi dapat dilihat dari reaksi yang ditunjukkan oleh audiens.

10.3     Mempersiapkan Presentasi
Keberhasilan presentasi sangat ditentukan oleh berbagai hal, baik yang berasal dari diri sendiri, maupun dari luar. Presentasi dapat berhasil apabila kita dapat melakukan halhal berikut:
1.          Menentukan sasaran yang ingin dicapai
Penentuan sasaran presentasi sangat menentukan keberhasilan presentasi. Presentasi yang tidak jelas sasarannya akan membuat kegiatan presentasi menjadi tidak terarah dan membuat audien menjadi bingung dan malah presentasi yang kita lakukan terkesan membosankan. Untuk itu, perlu ditentukan sasaran-sasaran presentasi lalu dibuat kerangka sasarannya. Ajukan pertanyaan-pertanyaan berikut pada diri masing-masing:
a.    Mengapa saya memberikan presentasi ini?
b.   Mengapa mesti saya yang mempresentasikan?
c.   Apa yang ingin saya capai dari presentasi ini?
d.   Bagaimana saya dapat membuat presentasi yang menarik?
e.   Seberapa banyak yang telah diketahui audiens tentang pokok permasalahan yang akan dipresentasikan?
f.    Apakah audiens memiliki latar belakang pengetahuan yang diperlukan terkait dengan materi presentasi?
2.         Menyusun kerangka presentasi
Penyajian presentasi seharusnya terstruktur, agar audiens tertarik mendengarkan apa yang kita presentasikan. Olehnya itu, presenter sebaiknya menyusun pokok-pokok yang disampaikan beserta hubungan logis di antara pokok-pokok tersebut. Pokok-pokok materi dapat diperoleh dengan memecah sasaran yang telah ditetapkan menjadi sebuah daftar sasaran-sasaran, dan daftar inilah yang menjadi kerangka presentasi. Kerangka presentasi merupakan serangkaian bagian yang saling terjalin dan secara logis dapat berdiri sendiri. Bagian-bagian yang saling terjalin, pada akhirnya harus saling berkaitan dengan sasaran yang ingin dicapai. Olehnya itu, dalam menyusun struktur presentasi, hal-hal yang perlu direncanakan adalah:
a. Struktur pokok pembahasan
Pembicaraan pada presentasi akan lebih efektif apabila presenter menyampaikan tema tunggal yang konsisten, sasarannya jelas, serta bagian-bagiannya dapat didefenisikan dan dapat dipahami oleh audiens. Untuk itu, sebelum melakukan presentasi, presenter perlu membuat skema yang terkait dengan pokok pembahasan. Skema dapat dibuat dengan pola mind mapping atau garis besar (outlining). Lakukan diskusi dengan diri sendiri dan bantuan rekan-rekan untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu dalam pembuatan skema.
b. Struktur bagaimana mempresentasikannya
Sebelum melakukan presentasi, presenter perlu pula menyusun rencana presentasi dengan struktur:
a)  Introduksi (awal), meliputi cara kontak dengan audiens, mengintroduksikan pokok pembicaraan dan menyatakan tema utama.
b)  Pengembangan (tengah), meliputi cara menyampaikan dan menjelaskan tema utama dan argumen-argumennya.
c)  Kesimpulan (akhir), meliputi mcara merangkum tema utama dan jika perlu cara memberikan rekomendasi.


2.          Mengenal audiens
Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh presenter dalammenghadapi audiens, yakni suasana hati dan keterbukaan serta hubungan sosial dengan audiens.
a. Suasana hati
Audiens yang hadir mengikuti presentasi memiliki tipe yang berbeda-beda, ada yang hadir dengan kesadaran sendiri, ada pula yang hadir karena terpaksa, atau malah kombinasi dari keduanya. Olehnya itu, sebagai seorang presenter perlu mengetahui kategori yang mana yang mendominasi tipe audiens yang hadir. Teknik yang dapat digunakan untuk memahami tipe audiens, adalah:
a)         Gunakan menit-menit awal untuk memahami audiens
b)  Gunakan pendekatan yang berbeda-beda untuk mengetahui respon audiens
c)         Memancing pertanyaan atau komentar audiens
d)         Lanjutkan presentasi berdasarkan umpan balik
b. Hubungan Sosial
Menyangkut pertimbangan merbagai kelompok orang yang mungkin menjadi audien presentasi. Kelompok-kelompok tersebut dapat dikategorikan, sebagai berikut: atasan, sejawat, bawahan.
4.         Menentukan pendekatan presentasi
Pendekatan yang digunakan dalam presentasi perlu pula direncanakan sebelum presentasi dilaksanakan. Pendekatan yang digunakan tergantung kondisi audiensnya, namun yang umum adalah bersikap wajar dan tulus, jangan bersikap sebagai orang lain, berbicaralah berdasarkan pengalaman pribadi, bersikap antusias, bersikap menyenangkan dan bersahabat, dan gunakan humor pada tempatnya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menyangkut waktu presentasi, komentar yang diperlukan, informasi data statistik yang mendukung, penggunaan kalimat pembuka yang efektif, bahasa dan gaya bahasa, pilihan kata, serta adanya keterkaitan antara data yang disajikan dengan fakta. Untuk itu, sebelum melakukan presentasi, presenter perlu membuat catatan-catatan kecil dan terus berlatih.

10.4     Sebelum Melakukan Presentasi
Pada hari dimana presentasi akan dilaksanakan, seorang presenter perlu melakukan persiapan-persiapan. Apa saja yang perlu dipersiapkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka berikut ini diuraikan beberapa tips yang perlu diperhatikan:
1.         Sebelum berangkat ke lokasi presentasi
a.   Perjelas alamat tempat/lokasi presentasi
b.    Persiapkan naskah presentasi dan catatan-catatan penting lainnya
c.   Persiapkan perlengkapan yang perlu di bawa dari rumah
d.   Penampilan, meskipun presenter tidak dinilai dari penampilannya, namun sering
kata-kata yang diucapkan akan didengar dan diterima tergantung bagaimana presenter berpenampilan. Olehnya itu, gunakan pakaian yang nyaman sesuai dengan situasi, bersih dan rapih, tidak menggunakan sesuatu yang dapat membuyarkan perhatian audiens (seperti assesoris yang berlebihan, parfum yang menyengat, pakaian yang menyolok), serta tidak menggunakan sesuatu yang dapat menimbulkan bahwa presenter mempunyai kebiasaan buruk dalam sesuatu hal.
2.         Setelah sampai di lokasi presentasi
Adalah sangat penting memberikan suasana nyaman dalam ruangan tempat melakukan presentasi, olehnya itu perlu diperiksa suhu dan sirkulasi udara ruangan, pengaturan tempat duduk (terkait dengan jumlah, letak, dan kenyamanan), pencahayaan ruangan, gangguan dari suara lain, serta media audio visual yang akan digunakan. Sebelum melakukan presentasi, sering presenter diliputi oleh kegelisahan dan kecemasan yang luar biasa. Olehnya itu kegelisahan dan kecemasan perlu dikendalikan. Pada dasarnya kegelisahan dan kecemasan adalah hal yang wajar, karena kelenjar adrenalin bekerja yang berarti bahwa pikiran dan tubuh bekerja dengan baik. Justru yang menjadi masalah ketika tidak ada kegelisahan dan kecemasan, karena ini berarti bahwa tidak ada kesungguhan dalam melaksanakan tugas presentasi. Sebaliknya kegelisahan dan kecemasan yang berlebihan membuat presenter terganggu pada saat presentasi yang dapat dilihat dari penampilan fisik berupa tangan gemetar, suara serak, kering dan tidak meyakinkan, salah tingkah pikiran kosong dan kadang lupa diri. Olehnya itu, kegelisahan dan kecemasan ini perlu dikendalikan, karena padadasarnya kegelisahan dan kecemasan akan meningkatkan kualitas apa yang akan diucapkan dan bagaimana mengucapkannya. Beberapa tips mengendalikan kecemasan dan kegelisahan:
a.    Sebelum berdiri menyajikan presentasi, cobalah mengatakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan presentasi
b.    Aturlah pernapasan
c.     Hilangkan rasa tegang pada leher dan wajah
d.    Pandanglah sekeliling, bangun kontak mata dan tersenyumlah
e.    Berlatih

10.5     Melaksanakan Presentasi
Pada saat presentasi dilaksanakan, beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh presenter, yaitu:
1.         Penyajian Informasi Visual
Penyajian informasi yang jelas dan ringkas akan memudahkan audiens memahami apa yang disampaikan oleh presenter. Informasi visual dapat menggunakan bentuk tampilan berupa tulisan dan gambar. Gambar yang ditampilkan dapat berupa tabel, diagram, grafik, peta atau karikatur terkait dengan materi yang disampaikan. Informasi visual yang disajikan sebaiknya bersifat informatif (relevan dengan keterangannya, sesuatu hal yang baru, dan menonjolkan sesuatu yang ingin ditekankan), manusiawi (menjaga perasaan siapa saja yang hadir) dan konsisten (materi yang dibagikan kepada audiens sama dengan yang disajikan). Penyajian secara visual akan memberikan nilai lebih kepada presentasi melalui beberapa cara, yaitu:
• Memperkuat komentar
• Mempertahankan fokus perhatian audiens dengan memberi variasi
• Membuat kata-kata mudah dimengerti
• Mengurangi jumlah kata yang harus diucapkan
2.         Penggunaan Media audio Visual
Kegiatan presentasi sebaiknya memanfaatkan sarana media audio visual yang tersedia. Media audio visual dapat berupa OHP, LCD, flipchart, papan tulis, maket dan sebagainya. Penggunaan sarana presentasi akan memudahkan presenter dalam menyajikan materinya, mengkomunikasikan konsep-konsep yang sulit, memperluas jangkauan pokok bahasan, memberi nilai tambah bagi informasi, disamping itu akan memudahkan audiens dalam memahami apa yang disampaikan oleh presenter dan tentunya dapat mempersingkat waktu. Dalam penggunaan media audio visual, perlu diperhatikan jumlah dan kompleksitas informasi yang akan disajikan, jumlah dan komposisi audiens, serta fasilitas yang tersedia di tempat presentasi.
3.         Penampilan
Penampilan pada saat melaksanakan presentasi juga sangat mempengaruhi kesuksesan pelaksanaan presentasi. Olehnya itu, kembangkanlah gaya atau npenampilan diri sendiri dengan segala cara, namun tetap berpedoman pada aturan main untuk bersikap profesional yang telah diterima umum. Hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.    Berdiri dan tataplah audiens
b.   Jika melakukan aktifitas membalikkan badan (menulis atau menatap ke tempat lain), jangan melakukannya sambil berbicara lancar.
c.    Usahakan tidak membungkuk, bersandar dan menggerakkan tangan/lengan bila tidak perlu
d.    Hindari gerakan-gerakan yang akan mengganggu perhatian audiens
e.   Tataplah mata audiens satu per satu secara bergantian
4.         Bahasa Tubuh
Bahasa tubuh meliputi ekspresi wajah yang dapat menggambarkan perasaan, postur tubuh yang dapat menggambarkan kecenderungan sikap dan keadaan emosi, serta gerakan anggota tubuh yang dapat menggambarkan tekanan pada apa yang ingin disampaikan. Perhatikan bahasa tubuh audiens, karena bahasa tubuh audiens akan memberitahu apakah sikap berkomunikasi yang kita lakukan efektif atau tidak. Beberapa contoh bahasa tubuh dan artinya diuraikan, sebagai berikut:
a.    Bersedekap = santai sekaligus angkuh, tinggi rasa percaya diri
b.   Kedua tangan di samping = sigap, memberi kesan siap menerima perintah
c.   Alis terangkat = ramah dan gembira mengajak orang bicara dan meminta respon
d.   Jari telunjuk menyentuh ibu jari = mengkomunikasikan sesuatu yang penting
e.   Gerakan tangan seolah-olah memukul bagian sisi telapak tangan = menegaskan yang harus dilakukan
f.    Menganggukkan dan menggelengkan kepala = setuju/tidak setuju
g.   Mengusap-usap wajah/menggaruk-garuk kepala/mengusap-usap dagu = perasaan terancam/kurang percaya diri/kehabisan kata-kata
h.   Bola mata bergerak ke atas = berkonsentrasi untuk memberi jawaban
i.    kedua tangan di meja = sikap yang tidak bisa ditawar mengenaipokok pembicaraan
5.         Suara
Suara presenter juga mempengaruhi keberhasilan presentasi.



















DAFTAR PUSTAKA




Hisrich, Robert D, Peters, Michael P, dan Sheperd, Dean A, 2008.Kewirausahaan, New York: McGraw-Hill, Penerbit Salemba Empat.

Inpres No. 4 Tahun 1995 Tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Kemitraan UMKM Perlu Waktu. Harian Media Indonesia Kamis 12 Juni 2008/No. 1003/ Tahun XXXIX, halaman 17.

Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja RI, Jakarta.

Suryana, A.S. Kewirausahaan Eksistensial untuk Wirausahawan Masa Depan. Materi pada Workshop on Improving of Students’ Intention on Entrepreneurship and Practical Skill di Makassar, 30 September 2005.

Suryana, A.S. Peta Jalan Pembelajaran Kewirausahaan untuk Melahirkan Pelaku Agribisnis Genre Baru. Disajikan sebagai Gagasan-gagasan Retrospektif untuk Penyempurnaan Kurikulum pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin di Makassar, 13 Juli 2009.

Trout, J. With Steve R, 2000. Differentiate or Die: Survival in Our Era of Killer Competition. Published by John and Sons, Inc., New York. Tunggal, A.W., 2008. Pengantar Kewirausahaan (Edisi Revisi). Harvarindo, Jakarta.

Wennekers, Sander, and Roy Thurik (1999). Linking entrepreneurship and economic growth. Small Business Economics 13: 27–55.

Alma, B., 2007, Kewirausahaan (Edisi Revisi), Penerbit Alfabeta, Bandung.

Kasmir, 2007. Kewirausahaan. Penerbit PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Meredith, G.G., 2000. Kewirausahaan: Teori dan Praktek. Penerbit Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R., 1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir Kewirausahaan Anda. Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung Internationales Institut.

Syamsuddin, A.S., 2007. Mencipta Produk, Membangun Usaha Mandiri. Paket Pelatihan Kewirausahaan untuk Alumni Unhas, Kerjasa Ikatan alumni Universitas
Hasanuddin dengan Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur Indonesia (PUKTI), Januari – April 2007 di Makassar.

Tunggal, A.W., 2008. Pengantar Kewirausahaan (Edisi Revisi). Harvarindo, Jakarta

Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R.,1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir Kewirausahaan Anda. Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung Internationales Institut.

Syamsuddin, A.S., 2007. Mencipta Produk, Membangun Usaha Mandiri. Paket Pelatihan Kewirausahaan untuk Alumni Unhas, Kerjasa Ikatan alumni Universitas Hasanuddin dengan Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur Indonesia (PUKTI), Januari – April 2007 di Makassar.

Assauri, S., 2002. Manajemen Pemasaran: Dasar, Konsep dan Strategi. Rajawali Press, Jakarta.

Kotler, Philip, 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Kontrol (Edisi Bahasa Indonesia-Jilid 1). PT Prenhallindo, Jakarta.

Maulana, A., 1992. Manajemen Pemasaran. Penerbit Erlangga, Jakarta.Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja RI, Jakarta.

Soekartawi. 1993. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sukotjo, 1991. Studi Kelayakan Proyek: Teori dan Praktek. Pustaka Binaman Presindo, Jakarta.

Swastha, B., 1996. Azas-Azas Marketing, Edisi 3. Liberty, Yogyakarta. Ahyari, A., 1990. Manajemen Produksi: Pengendalian Produksi (Buku 2, Edisi Keempat, Cetakan Kedua). Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Assauri, S., 1993. Manajemen Produksi dan Operasi (Edisi Empat). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Prawirosentono, S., 1997. Manajemen Produksi dan Operasi. Bumi Akasara, Jakarta.

Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja RI, Jakarta.
Reksohadiprojo, S. dan I. Gitosudarmo, 2003. Manajemen Produksi. Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Rukka, R. M., 1993. Pengelolaan Industri Kecil Perusahaan Makanan. Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Ujungpandang.

Sofyan, A., 1996. Manajemen Produksi dan Operasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R., 1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir Kewirausahaan Anda. Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung Internationales Institut.

Bertens, K., 2000. Pengantar Etika Bisnis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

George, R.T.D, 1999. Business Ethics. Prentice Hall Publishing, New York.

Keraf, S.A., 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R., 1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir Kewirausahaan Anda. Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung Internationales Institut.

Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Widodo, M, 2001. KTT Dunia Pembangunan Berkelanjutan 2002 Peluang dan Tantangan bagi Indonesia Baru. Paparan Dalam rangka sosialisasi persiapan World Summit on Sustainable Development, 8 September 2001 di Yogyakarta.

Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja RI, Jakarta.

Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R., 1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir Kewirausahaan Anda. Pusat Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung Internationales Institut.

Jusup, A.H., 1994. Dasar-dasar Akuntansi, Jilid 1. Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta.

Pusat Pembinaan Usaha Kecil Universitas Hasanuddin, 1994. Sistem Informasi Usaha (Bidang Keuangan). Materi Pelatihan Pengusaha Kecil di Ujungpandang.

Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja RI, Jakarta.

Simamora, H. 1999. Akuntansi Manajemen. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Syamsuddin, A.S., Imelda R.I, Idris S., Agus A., Eymal B.D., Suardi B. dan Rusli M.R.,1995. Mulai dari Usaha Kecil Merintis Karir Kewirausahaan Anda. Pusa Pengembangan Usaha Kecil Kawasan Timur Indonesia (PUKTI) kerjasama Kondrad Adenauer Stiftung Internationales Institut.

Rajagukguk, Z., Eryanti P dan Nurmia S., 1998. Modul Pelatihan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional. Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja RI, Jakarta.

Basyuni, A. 2009. Teknik Presentasi Efektif. Materi yang disampaikan pada Diklatpim IV RRI pada tanggal 19 Februari 2009 di Jakarta. (www.elearningrri. net/materipimiv/pres_efektif.pp)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar